Thursday, June 25, 2015

BAHASA DAERAH

Harmoko.

INDONESIA memiliki 726 bahasa daerah, namun baru 456 yang berhasil dipetakan. Bahasa daerah yang belum berhasil dipetakan itu kemungkinan telah punah karena tidak ada penuturnya lagi.
Sebagaimana data di Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dari 456 bahasa daerah yang berhasil dipetakan tersebut, jumlah pemakai yang lebih dari satu juta orang hanya 13 bahasa, antara lain bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis, bahasa Minang, dan bahasa Bali.

Kepunahan bahasa daerah antara lain disebabkan oleh pemakainya yang semakin sedikit. Biasanya, bahasa daerah itu hanya dikuasai oleh para orang tua. Sedangkan anak-anak dan cucunya rata-rata menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa asing.


Bisa dipahami, mengingat secara konseptual bahasa akan bertahan apabila memiliki sistem penulisan sebagai fasilitas untuk merekamnya dalam media selain lisan. Ketika bahasa hanya dituturkan, tidak direkam pada media selain lisan, sedangkan penuturnya semakin berkurang, maka kepunahannya pun tinggal menunggu waktu.


Bahasa daerah adalah simbol kebhinnekatunggalikaan Indonesia. Mengingat hal itu, kepunahan bahasa daerah tentu saja tidak boleh dibiarkan. Pembiaran atas kepunahan bahasa-bahasa daerah adalah pengingkaran atas kemajemukan yang sesungguhnya merupakan sakaguru keindonesiaan.
Apa yang harus dilakukan? Perlu ada strategi untuk mempertahankannya. Melalui jalur pendidikan, misalnya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan perlu mewajibkan setiap murid menguasai setidaknya satu bahasa daerah. Kegiatan festival seni dan budaya secara reguler, juga bisa dijadikan ajang untuk mempertahankan bahasa daerah.

Kehadiran stasiun televisi lokal dan media cetak di daerah-daerah yang semakin membiak bisa juga dimanfaatkan untuk kepentingan tersebut. Semakin banyaknya stasiun televisi lokal dan media cetak, diharapkan bisa mengangkat lebih banyak lagi ekspresi seni dan budaya yang hidup di masyarakat. Dengan demikian bahasa daerah bisa ikut terpelihara.

Pemerintah bisa merangsang media massa cetak maupun elektronik itu untuk turut andil dalam melestarikan dan mengembangkan bahasa daerah. Selain memberikan penghargaan bagi media yang menyediakan ruang uhtuk kepentingan tersebut, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk pengelolaan rubrik atau tayangan berbahasa daerah.
Dengan adanya alokasi dana dari pemerintah, problem klasik tentang tiadanya biaya untuk mengemas rubrik maupun tayangan mengenai kearifan lokal pun bisa teratasi. Kenapa pemerintah harus turun tangan? Iya, karena bahasa daerah merupakan pilar penting dalam upaya memperkokoh watak dan jati diri bangsa.

Hal itu selaras juga dengan amanat UU Penyiaran No 32/2001 pasal 3: “Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.” ( * )

No comments:

Post a Comment