Wednesday, August 21, 2013

(perjalanan) TELUK LAMPUNG, ANUGERAH TERINDAH


GARIS pantai sepanjang 200-an kilometer di Teluk Lampung itu anugerah Tuhan. Aneka hajat, pariwisata, industri, dan kehidupan bertumpu.

Teluk Lampung
Lampu-lampu di ujung garis pantai itu seperti berkelip-kelip. Warnanya serupa kuning matahari yang mulai tenggelam di ufuk dan membias ke mana-mana. Suasana itu mengirimkan pesan romantis setiap sore yang hangat di seputaran Teluk Lampung.

Ceruk laut yang menjorok ke darat itu memang menjadi keunggulan Kota Bandar Lampung. Dalam peta, letak Kota Tapis Berseri ini memang berada pada pucis laut yang menjorok ke daratan. Posisi itu adalah kemurahan Tuhan yang seolah menawarkan spektakulasi samudera lebih dekat dengan keramaian kota.
Dinding-dinding laut Selat Sunda di bilangan ini terpacak gunung dan perbukitan. Jika dilintasi, Teluk Lampung ini memang dimulai dari Bakauheni.

Disusuri terus, garis pantai akan melintasi pesisir Kalianda, Katibung, lalu masuk Bandar Lampung di Panjang. Pinggir laut menyentuh kota dengan keramaian dan kepadatan penduduk di Telukbetung. Lalu, dinding mulai naik ke arah Lempasing dan Padangcerming, Kabupaten Pesawaran. Di sepanjang garis pantai yang umumnya landai dan berpasir putih ini, puluhan tempat wisata menjanjikan kesegaran suasana.

Saturday, August 10, 2013

(FOKUS) MEWARISI KUE TRADISIONAL LAMPUNG

[

KUE lapis legit berharga Rp700 ribu seloyang itu dibuat oleh nenek tua. Padahal, di toko kue, nama yang sama harganya tidak separuhnya. Mengapa?

Loyang-loyang itu berjejer di dalam oven besar. Sesekali Nenek Hanim (70) melongok ke dalam oven untuk memastikan kue lapis legit yang dibuatnya tak gosong.

Sejak sepekan terakhir, nenek ini hanya berkutat di dapurnya, dari pagi hingga malam hari. Ia baru akan berhenti saat waktu salat dan berbuka puasa saja. "Pesanan legit dan engkak ketan sedang banyak," kata dia di dapur kerjanya di bilangan Jalan Pagaralam, Bandar Lampung, Rabu lalu.

Ia hanya dibantu dua orang tetangganya yang sengaja dibayar untuk membantunya. Tugasnya pun hanya sekadar mengadon dan menyiapkan bahan-bahannya saja. Urusan takaran bahan sampai memasaknya di oven mutlak menjadi kewenangan Nenek Hanim.

Ia khawatir jika semuanya diserahkan ke dua pembantunya itu akan membuat kue-kue itu tak jadi. "Pinggang pegal sekali setiap hari," ujarnya.

Setiap loyang legit atau engkak ketan dijual seharga Rp700 ribu untuk loyang besar dan Rp400 ribu untuk loyang kecil. "Semua harga bahan sudah pada mahal. Telur, gula harganya naik semua karena bensin naik jadi ikut-ikutan naik. Apalagi mau Lebaran.?

Demikian halnya dengan kue segubal. Ia mengaku bisa membuat kue berbahan ketan yang dibungkus dengan daun pisang ini. Biasanya disandingkan dengan tapai ketan.

Harga segubal lumayan murah, hanya Rp10 ribu per gulungnya. Tetapi ia mengaku membatasi pesanan segubal ini karena ia kesulitan mencari daun pisang untuk membungkus ketan itu. "Kalau tidak dibungkus dengan daun pisang rasanya tidak enak. Sekarang cari daun pisang susah, kalau ada yang jual harganya mahal. Makanya saya cuma buat 30 kilo ketan saja untuk segubal, takut nanti malah nombok," ujar dia.

Saat menjelang Lebaran seperti sekarang ini, dia mengakui pesanan sangat banyak. Dalam sehari, ia harus menyelesaikan sedikitnya 6 loyang. Sampai dengan sehari sebelum Lebaran, pesanan sebanyak 49 loyang harus sudah selesai.

Pemesannya tersebar dari mana-mana. Bahkan ada yang dari Jakarta, yang sengaja memesan kepadanya untuk dibawa ke Jakarta.

Ia bahkan terpaksa menolak jika ada pesanan baru karena khawatir tak selesai."Ini saja buat orang semua. Buat di rumah saya sendiri aja belum tahu kapan buatnya.?

Soal kue-kue klasik Lampung yang dijual di toko-toko kue, Nenek Hanim mengatakan tidak sama. Kue lapis legit yang banyak dijual di toko-toko kue umumnya sudah banyak mengalami modifikasi yang citarasanya jelas jauh dari kue lapis legit yang asli.

"Kue legit atau engkak ketan yang asli itu seperti basah, karena ada margarin dan gulanya dan tahan sampai berbulan-bulan. Tidak seperti legit-legit yang dijual sekarang," kata Nenek Hanim.

Karena itu, jangan pernah menawar harga seloyang lapis legit yang ukuran besarnya bisa mencapai Rp700 ribu. Karena membuat legit bukan seperti membuat kue-kue biasa.

Demikian halnya, Ny.Tan, spesialis pembuat kue, mengakui tingginya pemesan kue basah meski masih didominasi pelanggan-pelanggan lamanya. "Banyak pesanan, walaupun kebanyakan pelanggan-pelanggan lama saya. Dari nenek sampai cucunya sekarang masih pesan ke saya," kata Ny. Tan.

Situasi perekonomian saat ini yang membuat semua harga kebutuhan melonjak naik memang memaksa Ny. Tan untuk memodifikasi kue-kue lapis legit dan engkak ketannya seperti ukuran kue. "Karena itu harga kue yang saya jual tidak pernah naik, hanya ukurannya saja yang saya kurangi."

Ia juga tak melulu menjual kue-kue itu dalam bentuk loyang. Kemampuannya membuat kue akhirnya memodifikasi kue legit dan engkak ketan dalam bentuk gulungan dan berbagai motif tak hanya berbentuk lapis saja tapi juga berbentuk anyaman, sulam bahkan tapis.

"Kalau satu loyang itu sama dengan empat gulung, dengan motif yang berbeda. Piring-piring kue meski hanya satu jenis kue legit tapi motifnya berbeda-beda." (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)

Sumber: Lampung Post, Mingggu, 4 Agustus 2013

(fokus) SEGUBAL SALAH SATU KUE PIIL


MESKI hanya berupa kue ketan yang dibungkus dengan daun pisang, segubal punya makna dalam masyarakat Lampung. Ia menjadi semacam simbol dan bagian dari tradisi adat yang penting dalam masyarakat Lampung.

Segubal, kue khas Lebaran Lampung
Kue ini sejajar dengan kue lapis legit dan engkak ketan sebagai sajian ?wajib? masyarakat Lampung. Buat orang Lampung, kue-kue ini adalah piil mereka yang mungkin saja membedakan dengan masyarakat lainnya.

Kue-kue ini menciptakan ?kekangenan? tersendiri, karena hanya ada saat Lebaran dan acara-acara adat. "Lidah orang Lampung itu sudah familiar dengan kue-kue ini. Kalau enggak ada dicari, tapi enggak ada yang mau melestarikan. Akhirnya, kue orang Lampung ini dibuat sama yang bukan orang Lampung. Rasanya jadi aneh-aneh," kata Nenek Hanim, salah satu dari sedikit orang Lampung yang bisa membuat kue-kue ini.

Dulu, saat gawi-gawi adat di helat di daerah-daerah kantong masyarakat Lampung yang masih kental dengan adat istiadatnya, tiga jenis penganan ini harus ada. Saat pemilik gawi menyajikan penganan ke tokoh-tokoh adat maupun tetamunya, jika tidak ada tiga kue ini akan jadi omongan bahkan cibiran. Atau, ketika tiga jenis kue ini ada, tetapi rasanya tak sesuai, maka ini menjadi seperti aib.

Karena itu, kue-kue ini sering dijadikan sebagai sesan (buah tangan, red) saat orang Lampung akan melamar atau mengantar calon pengantin menikah. "Waktu manjau mengian (pengantin pria Lampung bertandang ke rumah kerabat istrinya, red), kue ini juga harus ada dan jadi sajian sebelum nyeruit," kata Nenek Hanim.

Namun, lambat laun, kue-kue ini semakin tergerus dengan gempuran berbagai macam kue-kue modern. Segubal dan legit dianggap sebagai kue jadul yang dianggap tak penting-penting amat dalam sajian.

"Anak dan cucung saya aja enggak bisa buat legit. Enggak usah buat legit, disuruh buat segubal aja enggak pernah bisa.?

Karena itu, ia miris saat kue-kue itu dibuat dengan rupa yang aneh-aneh. Ironisnya, kue-kue itu justru dilestarikan oleh orang yang bersuku non-Lampung. "Ada orang China yang malah lebih jago buat legit daripada orang Lampung. Nyocaro amun kak gehijo? (Bagaimana kalau sudah seperti ini, red).?

Hal ini diakui pula oleh pakar kue Ny. Tan. Ia menyebut generasi sekarang cenderung memilih sesuatu yang gampang dan tak perlu repot, apalagi sampai harus berjam-jam membuat kue di dapur. "Mereka tinggal pesan saja, masalahnya sekarang tak semua orang bisa membuat kue-kue itu," kata Ny. Tan.

Akibatnya, rasa pun menjadi bervariasi, tak lagi mengikuti pakemnya. Ia sendiri mengaku memodifikasi kue-kue legit itu mulai dari motif sampai rasa. Legit tak melulu manis, tapi juga ada yang rasa keju.  (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 4 Agustus 2013

[Fokus] Lebaran Bernuansa Lampung


LEBARAN identik dengan penganan dan hidangan istimewa. Uniknya, kue-kue istimewa itu justru yang bernuansa tradisional, bahkan yang berbau primitif.

Penganan khas Lampung yang hanya ada saat Lebaran atau acara-acara adat kini menjadi barang yang mahal dan langka. Di perkotaan, harganya bisa mencapai ratusan ribu rupiah.

Keengganan masyarakat untuk melestarikan penganan-penganan, seperti segubal, lapis legit, dan engkak ketan, menjadikan penganan ini kurang kondang. Hal tersebut membuat hidangan ini jarang sekali terlihat di rumah-rumah, termasuk rumah orang Lampung sekalipun saat Lebaran, apalagi di daerah perkotaan.

Segubal misalnya. Salah satu penganan khas Lampung yang berbahan ketan ini tak semua orang bisa membuatnya. Hanya orang-orang khusus. Itu pun biasanya sudah berumur, yang benar-benar bisa membuatnya sehingga rasanya pas.

Pakar kue dan makanan, Ny. Tan, mengakui hal itu. Menurutnya, masyarakat tak memiliki keinginan untuk melestarikan penganan-penganan khas itu. "Mereka maunya yang simpel-simpel saja. Pesan langsung, karena tak bisa membuat sendiri," kata Ny. Tan.

Akibatnya, harga penganan-penganan ini menjadi sangat mahal sebab tak semua orang bisa membuatnya. Dibutuhkan kepekaan dalam semua prosesnya. Dari takaran bahan baku, urutan memasukkan bahan, lamanya waktu mengaduk atau memanggang, hingga perlakuan usai makanan matang dan menyimpannya.

Hanim (70), salah seorang pembuat segubal dan lapis legit yang tinggal di Jalan Pagaralam, Bandar Lampung, menyebutkan membuat kue-kue itu tak sederhana. Tidak seperti membuat kue-kue yang terkenal, seperti black forest atau bolu.

"Lapis legit itu kalau enggak tahu ukurannya bisa hancur, lapisannya acak-acakan atau malah kemanisan dan rasanya jadi enek. Akhirnya tak ada yang makan," kata dia.

Dulu, kata Nenek Hanim yang bergaris suku Lampung Abung ini, menyajikan lapis legit atau segubal menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang Lampung khususnya. Karena membuat kue-kue ini tak semua orang bisa. Selain itu, bahan bakunya yang banyak membuat modal untuk membuat kue ini sangat mahal.

"Saat Lebaran bagi orang Lampung ada tradisi. Ketika datang bersilaturahmi ke salah seorang kerabat yang pandai membuat lapis legit dan engkak ketan, ia pasti akan meminta dibekali saat pulang, meskipun hanya empat atau lima iris untuk disajikan di rumah mereka. Tetapi tidak untuk dimakan, cuma untuk menghias piring-piring kue saja. Karena itu, kue lapis legit, engkak ketan, atau segubal hanya ada dan harus ada saat Lebaran atau acara-acara adat saja. Selain acara-acara itu, tidak boleh karena ini tradisi.?

Hal ini juga diakui Ny. Tan. Menurutnya, Lampung kaya akan keragaman penganannya. Masyarakat memiliki kecenderungan makanan yang manis-manis, seperti kue lapis legit.

Sayang memang, lambat laun makanan khas ini mulai tergerus dengan kue-kue yang lebih modern, seperti bolu, kue lapis atau agar-agar. Sementara kue-kue ini tetap bertahan di daerah-daerah perkampungan Lampung yang masih memegang tradisi-tradisi lama tanpa pernah ada yang berniat mewarisinya.

"Saya tidak tahu apakah orang tua yang salah karena tidak mau mewarisi kemampuan membuat kue lapis legit atau engkak ketan kepada anak-anaknya sehingga kue-kue ini sangat jarang, apalagi di daerah perkotaan. Kalau di kampung-kampung mungkin masih ada,? ujarnya.

(MEZA SWASTIKA/M1)

Sumber: Lampung Post, Mingggu, 4 Agustus 2013