Tuesday, October 22, 2013

Mbak Yu HIROMI Sinden Wayang Asal Jepang

SINDEN JEPANG GORO GORO


--
Siapa Hiromi.
HROMI KANO FROM JAPAN FOR SINDEN


HIROMI1
Foto: Ganug Nugroho Adi
GENDING “Ketawang Kinanthi Sandhung Pelog Barang” itu terdengar  bening. Lantunan sandhung pelog barang-nya terdengar panjang  dan      bulat. Diselingi suwuk, suara jernih perempuan itu kembali meliuk melantunkan macapat dhudhuk wuluh “Ayak-ayakan Mijil Sulastri Wolak-walik, beralih ke srepeg slendro manyura (jenis laras nada pentatonis). Ketika sampai pada bagian cengkok miring, penonton seperti menahan napas, terkesima lantunan nada-nada pentantonis yang dibawakan dengan sempurna oleh perempuan bertubuh mungil yang duduk di dekat dalang Ki Manteb Soedharsono di panggung pentas wayang kulit lebar tapi pendek  itu.  Perempuan itu Hiromi Kano, salah satu pesinden yang sering tampil bersama “dalang setan” Ki Manteb Soedharsono. Dari namanya sudah bisa ditebak ia perempuan Jepang. Namun kecuali nama yang menjadi tanda “kejepangannya” itu, sepintas memang hampir tak tampak lagi tanda-tanda lain bahwa ia berasal dari Negeri Sakura, meski kulit perempuan itu putih dan matanya sipit. Sosoknyanya sebagai orang Jepang seperti menguap, terlebih ketika ia nyinden dengan busana kebesarannya; kebaya lengkap dan sanggul besar khas Jawa.
Hiromi Kano namanya. Lahir di Chiba, Jepang, 31 Januari 1967. Sejak kecil ia menyukai musik. Ia belajar piano klasik sejak duduk di sekolah dasar. Tahun 1991, Hiromi adalah mahasiswa seni jurusan musik barat dan piano di Tokyo Ongaku Daigaku (Universitas Musik Tokyo).

Ketika menginjak semester akhir, Hiromi takjub ketika seorang dosennya memainkan gamelan Jawa. Sebenarnya kekagumannya tertuju pada gamelan Bali, yaitu saat masih SMA. Ketika itu ia secara tak sengaja menemukan sebuah gelombang radio yang khusus menyiarkan musik tradisional Indonesia.
“Sejak itu saya tergila-gila dengan gamelan , tapi di kampus tidak ada jurusan itu. Ketika semester akhir ada mata kuliah pilihan gamelan Jawa, saya langsung masuk kelas itu. Tidak ada gamelan Bali, gamelan Jawa juga boleh,” kata Hiromi dengan logat Jawa.
Tahun 1988 ia mengisi liburan semesterannya dengan datang ke Indonesia, khusus untuk melihat gamelan Jawa lengkap, saat ada perhelatan Pekan Wayang di Jakarta. Selama dua bulan ia keliling Jawa Tengah untuk belajar gamelan. Hiromi bahkan sempat nyantrik (belajar) nyinden antara lain   pada dalang Ki Sutarman (almarhum) dan Supadmi (sinden dan dosen Insititut Seni Indonesia, ISI, Surakarta).
“Delapan tahun setelah itu saya baru bisa kuliah di ISI dengan beasiswa Pemerintah Indonesia. Sebelumnya saya mencari beasiswa ke mana-mana, tapi selalu gagal. Orang tua tidak setuju, tapi saya nekat berangkat. Saya benar-benar jatuh cinta dengan gamelan. Piano saya tinggalkan, ” tutur Hiromi.
Tak hanya gamelan, di Jurusan Karawitan ISI Surakarta, Hiromi sekaligus  belajar beberapa seni-budaya Jawa lain, seperti sinden dan pewayangan. Secara otomatis  perempuan itu juga  belajar berbahasa Jawa.
“Di Solo saya kembali bertemu Nyi Supadmi, kemudian Nyi Sudarti dan KRT Prajanegara yang mengajari nyinden secara privat,” ujar Hiromi sambil merapikan kertas-kertas berisi jadwal pentas nyinden di meja ruang tamu rumahnya.
Ada cerita menarik mengenai kursus sinden itu. Awalnya, satu-satunya alasan Hiromi menjadi sinden adalah agar bisa diajak dalang yang mendapat tanggapan pentas. Honor dari nyinden itu digunakan untuk biaya hidup sehari-hari di Solo.
“Uang beasiswa tidak besar dan hanya untuk setahun. Saya harus mencari tambahan untuk menutup yang empat tahun. Kalau bisa nembang gending Jawa kan bisa untuk mendari uang,” kata perempuan berperawakan kecil itu.
Sinden Supadmi, menurut Hiromi, sangat berperan mempromosikan dirinya ke para dalang. Hingga akhirnya ajakan dalang Ki Purbo Asmoro merupakan pengalaman pertama Hiromi menjadi sinden profesional.  Sejak pengalaman pertama itu, Hiromi menjadi langganan nyinden oleh dalang-dalang kondang. Saat masih kuliah, Hiromi terpaksa menolak beberapa ajakan dalang, karena waktu pentas sering kali bertabrakan dengan jadwal kuliah.
“Saya tidak ingin kuliah berantakan. Saya ke Indonesia untuk kuliah. Saya malu kalau kuliah tidak selesai.”
Hiromi benar-benar mempunyai banyak waktu setelah kuliahnya rampung.  Tawaran menjadi sinden pun semakin banyak. Selama 13 tahun terakhir, ia malang melintang dari panggung ke panggung pertunjukan wayang di hampir seluruh wilayah Indonesia bersama dalang-dalang kelas satu, seperti   Anom Suroto, Manteb Soedharsono, Purbo Asmoro, Slamet Gundono (Solo), Gito Purbo Carito (Banyumas), Enthus Susmono (Tegal), Sokron Sowondo (Blitar), Suparno Wonokromo (Sumatera). Jadwal tanggapan nyinden Hiromi memang cukup padat. Dalam sebulan setidaknya ada 10 undangan pentas yang sebagian besar di luar kota Solo. Untuk bulan Juli ini, misalnya, ia hanya sekali pentas di Solo, yaitu pada 29 Juli  mendatang. Beberapa undangan lainnya datang dari luar kota, seperti Semarang, Yogyakarta, Tegal, serta sejumlah kota di Jawa Timur dan Sumatera.
Hiromi mengakui, sinden -termasuk gamelan dan pewayangan- telah menjadikan kehidupannya lebih baik. Namun kecintaan perempuan Jepang itu terhadap seni sinden kini bukan semata-mata karena uang.  Hiromi juga selektif dalam menerima tawaran pentas.
“Saya tidak mau kalau musik campursari. Bukan menyepelekan, tapi nada campursari itu diatonik, sehingga bisa merusak nada pentatonik yang masih saya pelajari,” kilahnya.
Sejurus kemudian, Hiromi melantunkan beberapa potong lirik tembang macapat Pocung, yang berisi pesan bahwa segala ilmu baru akan bisa bermanfaat jika di amalkan. Ilmu hendaknya digunakan untuk kebaikan, bukan untuk kejahatan.
Ngelmu iku kalakone kanthi laku/Lekase lawankas/
Tegese kas nyantosani/Setya budya pangekese dur angkara..

“Saya suka nadanya yang unik (pentatonik). Apalagi lirik tembangnya mengandung banyak kearifan budaya, piwulang (ajaran) tentang nilai-nilai moral. Ini kesenian Jawa yang luar biasa,” kata perempuan yang pernah tampil dalam Festival Sinden Internasional 2009 di TMII Jakarta.
Dengan belajar sinden, lanjut Hiromi, otomatis akan belajar juga mengenal dunia pewayangan, tembang-tembang macapat, gendhing dan gamelan yang menyimpan banyak falsafah kehidupan Jawa. Di rumahnya yang sederhana di kawasan Mojosongo, Solo, kini Hiromi tinggal bersama suaminya, Wiyono, yang menikahinya tahun 2002. Meski bersuamikan orang Indonesia, namun Hiromi tetap memilih kewarganegaraan Jepang. “Bagaimana pun leluhur saya ada di sana. Saya masih punya adik di Jepang, sehingga kalau sewaktu-waktu ingin menengok gampang,” kata perempuan santun dan ramah itu. (Ganug Nugroho Adi)

1 comment:

  1. Salut banget dgn Hiromi semoga makin berhasil nanti nya,terus benar banget kalo Campur sari itu merusak tatanan gending jawa

    ReplyDelete