Wednesday, December 26, 2012

Konflik Horizontal, Catatan Kelam Lampung Selatan



Oleh Kristian Ali



RIBUAN warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno Kecamatan Waypanji Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, saat ini masih tinggal di tenda-tenda darurat, sementara ratusan rumah mereka sedang diperbaiki. Kerusuhan horizontal melanda kedua desa itu pada akhir 0ktober lalu.

Meski kerusuhan itu sudah berlalu lebih dari satu bulan, masyarakat masih menyimpan kesedihan mendalam karena 12 warga tewas dalam peristiwa itu, yakni sembilan orang dari warga Desa Balinuraga dan Sidoreno dan tiga orang dari massa gabungan seperti dari Kecamatan Kalianda.

Peritiwa memilukan ini menyita begitu banyak perhatian dari publik di seluruh penjuru negeri ini karena berdampak luas terhadap semua sendi kehidupan bermasyarakat.

Kapolres Lampung Selatan pada saat itu, AKBP Tatar Nugroho memastikan, jumlah korban tewas akibat dalam bentrokan antarwarga selama dua hari itu sebanyak 12 orang, yakni hari pertama, Minggu (28/10) sebanyak tiga orang dari massa gabungan Kalianda dan hari kedua, Senin (29/10), korban tewas sebanyak 9 orang, semuanya dari Desa Balinuraga dan Sidoreno Waypanji.

Bentrokan itu juga mengakibatkan 345 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa dan rusak, 11 unit sepeda motor dibakar, dan dua gedung sekolah ikut dibakar massa.

Sebanyak 1.588 orang, yaitu 787 laki-laki, 787 perempuan, dan 365 anak-anak diungsikan ke Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling di Kota Bandarlampung, untuk mencegah jatuh korban lagi.

Kerusuhan selalu menyisakan kerugian dan kesedihan mendalam bagi warga, terutama bagi anak-anak. Mereka masih trauma dengan peristiwa yang terjadi di desa itu, apalagi mereka menyaksikan langsung kebrutalan saat konflik berlangsung.

Tidak hanya itu, ratusan siswa sekolah dasar juga harus belajar seadannya tanpa seragam, tanpa alat tulis dan perlengkapan lainnya, karena sudah habis terbakar bersama rumah orang tua mereka.

Konflik horizontal itu juga menyita tenaga dan biaya. Ribuan aparat gabungan dari Mabes Polri, Polda Lampung, Polda Banten, Polda Sumatera Selatan, dan Jawa Tengah harus bertahan di lokasi kerusuhan selama 21 hari. Selain melakukan pengamanan, mereka juga ikut membersihkan puing-puing rumah warga yang hancur, mengajar dan menghibur anak-anak sampai memberi pakan ternak warga yang terlantar dan kelaparan.

Setelah konflik di Desa Balinurga, sepekan kemudian (8/11) konflik antarwarga juga pecah yang melibatkan Kampung Buyut, Kecamatan Gunung Sugih dengan warga Kusumadadi, Kecamatan Bekri, Lampung Tengah hingga konsentrasi aparat terpecah di Lampung Selatan dan Lampung Tengah.

Kabid Humas Poda Lampung AKBP Sulistyaningsih mengatakan sekitar seribuan warga Kampung Buyut menyerang Desa Kusumadadi yang menyebabkan sedikitnya 13 rumah warga hangus terbakar yang juga dipicu masalah sepele yakni kesalahpahaman kedua pihak yang terlibat konflik itu.

Konflik horizontal di daerah ini laksana bom waktu karena pada sekitar awal tahun 2012 juga terjadi peristiwa serupa dengan dua kelompok suku yang berbeda.

Sekitar 60 rumah warga Desa Napal hangus terbakar dan 23 lainnya rusak berat dan ringan akibat kerusuhan itu, meski tidak sampai merenggut korban jiwa

Tahun sebelumnya juga beberapa kali konflik serupa terjadi di Kecamatan Palas yang menimbulkan belasan rumah hancur terbakar dan beberapa korban mengalami luka-luka, bahkan ada yang tewas di rumah sakit akibat lukanya.

Konflik yang terjadi beberapa kali di Kabupaten Lampung Selatan ini sebagian besar hanya dipicu oleh masalah sepele yang seharusnya tidak perlu sampai merenggut korban jiwa dan menimbulkan kerusakan serta menyisakan trauma mendalam bagi warga.

Membutuhkan waktu lama untuk mengembalikan trauma dan memulihkan perekonomian mereka, bahkan peristiwa itu akan menjadi catatan kelam anak cucu mereka secara turun temurun.


Perdamaian abadi

Sejumlah tokoh adat dari kedua belah pihak mengharapkan peristiwa memilukan ini tidak terulang kembali sampai generasi berikutnya, agar mereka bisa hidup damai.

Salah satu tokoh adat Bali di Lampung Selatan, I Made Pasti, menyatakan peristiwa ini semestinya tidak perlu sampai terjadi, apalagi merenggut belasan korban jiwa.

"Kami ingin semua hidup damai berdampingan selama-lamanya tanpa permusuhan," kata dia, sambil menahan isak tangis.

Dia mengakui, sangat menyesalkan peristiwa itu, mengingat sudah 41 tahun di tinggal di daerah tersebut dan menjadi tokoh adat setempat.

"Bentrokan ini merupakan sebuah kegagalan bersama bagi semua pihak, bukan hanya satu golongan saja," ujar dia.

Ia menyayangkan, sebelum peristiwa itu terjadi di Desa Balinuraga , kenapa tidak ada tokoh masyarakat, aparat pemerintah, dan bupati yang langsung terjun untuk menanganinya agar tidak membesar.

"Walau bagaimana pun juga keadaannya, kami tidak dapat pergi kemana-mana, Lampung sudah menjadi ibu pertiwi kami," kata dia pula.

Dia berharap, situasi kembali tenang dan damai, anak-anak bisa sekolah dan warga bisa beraktivitas kembali seperti sediakala tanpa diselimuti rasa takut.

Ketua Himpunan Lima Adat Saibatin Lampung Selatan, Tumenggung Rajasa, menegaskan pihaknya pun menginginkan penyelesaian secara damai atas kasus bentrokan tersebut.

"Kami pun ingin hidup damai dan tenteram secara berdampingan tanpa ada permusuhan," kata dia lagi.

Dia juga mengaku merasakan kesedihan yang mendalam atas 12 orang warga yang tewas akibat pertikaian itu, dan sekarang berharap anak-anak dapat hidup tenang, damai, dan tenteram secara berdampingan saling menghormati dan menghargai dengan penuh kasih sayang.

Akhirnya pada 21 November 2012 tercetuslah kesepakatan damai yang dideklarasikan di lapangan Desa Agom Kecamatan Kalianda yang melibatkan ribuan masyarakat yang terlibat bentrok bersama tokoh adat masing-masing dan berjanji secara tertulis untuk hidup damai berdampingan.

Komandan Korem 043/Garuda Hitam Kolonel Czi Amalsyah Tarmizi mengingatkan bahwa perdamaian itu mesti dirasakan dan diperjuangkan bersama-sama.

"Damai itu indah, dan harus diperjuangkan oleh kita semua, baik untuk dirinya, kesatuannya, maupun untuk pedoman seluruh lapisan masyarakat agar hidup dengan keadaan tenang dan penuh rasa aman," katanya.

Dia berharap, setiap masalah dalam masyarakat semestinya dapat diselesaikan secara baik-baik.

Ia juga mengharapkan setiap warga harus menyadari dalam hati hal pemersatu, yakni satu bangsa yang disatukan oleh empat pilar bangsa yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Sila pertama sampai kelima Pancasila bila dipegang teguh akan menghindarkan kita dari konflik horizontal, seperti kerusuhan di Balinuraga itu," kata dia.

Sementara itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, baru-baru ini menyebutkan Indonesia butuh penguatan masyarakat sipil untuk mencegah terjadinya konflik horizontal.

"Salah satu upaya itu adalah membangkitkan rasa cinta terhadap Tanah Air atau Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata dia.

Ia mengatakan, untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap Tanah Air perlu penguatan nilai-nilai kebangsaan di kalangan masyarakat yang diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga tercipta kehidupan yang rukun dan damai.

Sumber: Antara, Selasa, 18 Desember 2012

No comments:

Post a Comment