Monday, September 24, 2012

Pulung Berseni Kembali

Sunday, 16 September 2012 00:00


SETELAH pensiun dari sebagai birokrat, Pulung Suwandaru bisa kembali menekuni dunia perupa yang sudah lebih dahulu dia geluti. Ada perasaan lebih bebas untuk berkarya setelah lepas dari jabatan sebagai abdi negara.
Pulung pensiun dengan posisi terakhir sebagai Kepala Museum Lampung. Jabatan itu dia pegang selama hampir empat tahun hingga 2010. Kini, dia hanya melakukan dua hal, berkarya dan mengajar.
Sebagai pelukis, goresan Pulung dikenal khas dengan gaya realis yang kental dengan kritik sosial. Kini goresannya merambah untuk keperluan fashion. Dia menggambar ornamen khas Lampung yang selanjutnya akan dijadikan sebagai desain batik Lampung.
Menurut Pulung, secara sosilogis historis nenek moyang masyarakat Lampung tidak mengenal dan memakai batik. Orang Lampung zaman dahulu lebih mengenal tenun, sulam, dan tapis. Kain yang dikenal dan banyak dipakai adalah sulam dan tapis. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang memang lebih dahulu sudah memakai batik sebagai pakaiannya.
Meskipun tidak mengenal batik, kata Pulung, orang Lampung kaya akan ragam hias. Berbagai ornamen khas diukir di rumah-rumah dan berbagai peralatan yang terbuat dari kayu. “Jika saat ini masyarakat ingin membuat batik yang khas Lampung perlu mengetahui seperti apa ragam hias terdahulu,” katanya.
Itulah aktivitas yang digeluti kakek satu cucu ini. Melukis ornamen khas Lampung yang nantinya dijadikan motif batik. Tempat melukis di samping rumahnya, di Jalan Panglima Polim, Bandar Lampung, menumpuk desain batik hasil goresan Pulung. Beberapa desain terkumpul rapi dalam map, dan sisanya ditempel di tembok.


Menurut Pulung, ornamen khas Lampung sangat kaya. Namun, yang selalu ditampilkan hanyalah siger dan kapal. Masyarakat Lampung dahulu membuat ornamen dengan melihat dari alam. Alam sebagai sumber ilmu pengetahuan
sudah dimanfaatkan sejak dahulu. “Padahal kaya ornamen, tapi yang selalu ditonjolkan hanya siger dan kapal. Lama-lama bosan, orang memakainya. Bandingkan dengan ragam batik Jawa yang juga sangat kaya,” kata dia.


Pulung mencontohkan beberapa ornamen Lampung yang justru jarang dipakai, bunga kopi, bunga manggis, kayu ara, buah, dan kembang nanas. Selain flora, fauna pun bisa menjadi motif, selain dari gajah, misalnya kerbau. “Untuk motif binatang pun jangan dibuat menyerupai gambar sebenarnya. Untuk ragam hias batik, perlu dibuat desain yang lebih simetris dua dimensi. Misalnya kerbau hanya digambar dengan bentuk kepala segitiga dan diberi tanduk,” kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember ini.
Dia mengingatkan agar para pembuat desain batik tahu filosofi ornamen Lampung sehingga tidak keliru dalam menempatkannya. Misalnya ornamen yang harusnya ditempatkan pada badan bagian bawah, jangan diletakkan pada pakaian untuk di kepala. “Dalam pembuatan orneman memang tidak ada salah dan benar. Tapi yang perlu diperhatikan adalah filosfinya,” ujar Pulung.
Museum Lampung, kata dia, merupakan tempat belajar tentang ragam ornamen yang pernah dibuat oleh masyarakat zaman dahulu. Dengan melihat referensi dan literatur yang ada dalam museum, pembuat batik tidak akan melakukan kekeliruan. Ornamen yang dibuat hari ini bertujuan melestarikan karya nenek moyang dengan mempertimbangkan keberlangsungannya hingga hari esok. “Jangan hanya asal-asalan membuat ornamen karena inginmendapat keuntungan. Jadi batik bukan bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, tapi juga untuk melestarikan ornamen zaman dahulu,” katanya.



Guna mengenalkan kekayaan ornamen khas Lampung, Pulung mengajarkannya pada anak-anak TK dan TPA. Anak-anak diminta untuk mewarnai berbagai ornamen sederhana supaya tahu bahwa bahwa ornamen tersebut bukan hanya siger dan kapal. Beberapa anak di sekitar rumahnya pun bisa belajar melukis dengan datang langsung ke sanggarnya pada hari Minggu. Semua ilmu tentang melukis akan diberikan Pulung secara cuma-cuma.



Dia pun mengajar narapidana. Menurutnya, beberapa narapidana yang masih sangat muda perlu diberikan keterampilan. Para pemuda yang masuk penjara ini masih memiliki keinginan kuat untuk berubah dan memperbaiki dari. Selain mengajarkan tekni melukis, Pulung pun mengajarkan keterampilan mengolah buah brenuk atau buah maja menjadi menjadi barang yang laku dijual. Di tangan Pulung brenuk bisa dibuat berbagai hiasan, seperti lampu, kotak tisu, dan alat musik.
Pulung adalah pelukis yang memperkenal tentang pengolahan brenuk menjadi barang kerajinan. Dia pun dipercaya Pemprov Lampung untuk menjadikan brenuk sebagai salah satu barang kerajinan khas dari Sai Bumi Ruwa Jurai.
Usai memang sudah tidak lagi muda, tapi Pulung masih produktif melukis di kanvas.
Minimal dia menargetkan dua sketsa lukisan dalam satu bulan.
Menuangkan ide awal dalam bentuk sketsa untuk kemudian dikerjakan jadi lukisan utuh.
Pria kelahiran Lampung 58 tahun silam ini masih aktif mengikuti berbagai pameran skala nasional. Pada Juni lalu, lukisannya ditampilkan dalam pameran manifesto 2012. Dia pun berencana akan terlibat dalam pameran lukisan yang akan digelar beberapa bulan ke depan. Pameran ini khusus diikuti oleh pelukis senior yang usianya di atas 50 tahun.

Menurut Pulung, pameran ini diadakan untuk memberikan inspirasi dan semangat bagi para pelukis muda untuk terus berkarya. “Yang tua-tua saja masih aktif, masak yang muda tidak,” ujarnya.
Awalnya, Pulung lebih sering melukis alam berupa, flora dan fauna. Namun, menjelang reformasi 1997, lukisannya mulai berubah aliran. Karyanya lebih dikontekskan pada kondisi sosial masyarakat dan politik yang terjadi menjelang dan pascareformasi. Lukisannya pun menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi pada saat terjadi krisis moneter.
Ketika Departemen Penerangan dibubarkan oleh Presiden Gusdur, Pulung pun membuat lukisan. Lukisan yang menggambarkan kekecewaannya pada kebijakan presiden ke-4 tersebut. Pulung mengawali karier sebagai PNS di Kanwil Departemen Penerangan di Lampung. Setelah dibubarkan, dia pun masuk ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Ada sebuah lukisan karya Pulung yang menggambarkan bagaimana pertarungan Gubernur Lampung Sjachroedin ketika berkonflik dengan DPRD yang mengakibatkan terhambatnya APBD. Dalam lukisan itu digambarkan dua ayam jantan bersama satu bola basket yang berada dalam sangkar. Lukisan dua dimensi digabungkan dengan sangkar ayam tiga dimensi. Di sangkar terebut digantungkan kipas dan peluit.

“Meskipun saya adalah PNS Pemprov, karya tetap bebas dan tidak ada tekanan. Apalagi setelah pensiun ini bisa lebih bebas lagi,” kata suami dari Wahyu Endang Yuniati ini. (PADLI RAMDAN/M-1)

1 comment:

  1. Pulung Swandaru yang saya kenal memang lebih sebagai seniman ketimbang musiolog sekalipun beliau sempat menjadi kepala Museum lampung Rua Jurai. Sebagai pelukis sering sekali beliau duduk duduk mencari inspirasi di bagian belakang komplek museum dan untuk itu beliau bisa menghabiskan waktu berjam jam untuk menginspirasikan sketsa lukisannya, tidak sia sia beliau yang konon juga pengopi itu menorehkan lukisan kopi di karya karyanya.

    Sebenarnya kalau Pak Pulung berkenan menyediakan waktu, beliau bisa melihat lihat koleksi museum, di sana terdapat kain kain tua, yang memang kalah tua dengan aneka kain tapis. Ada persaratan untuk dijadikan koleksi museum, antara lain barang itu bersejarah, sudah tua (lama) diproduksi dan juga langka. Kain itu adalah kain batik yang dikenal dengan Batik Sebagi, menjadi tandatanya akan kesamaan dengan Batik 'Sembagi' yang berkembang pada abad ke XVII di Jawa.

    Seingat saya munculnya batik sebagi lampung itu diantar sendiri oleh siempunya, dia mengatakan bahwa dia takut kain ini akan menjadi buruk ditangannya, oleh karenanya sudah menjadi ketetapan hasil musyawarah bersama untuk menyerahkan kain sebagi ini kepada museum untuk dapat dirawat dan dipamerkan, agar orang orang tahu bahwa nenek moyang kita dahulu juga mengenal batik, yaitu batuik sebagio namanya.

    ReplyDelete