Monday, January 31, 2011

Rencana Pembangunan Kota Baru di Lampung Terancam gagal

Bandar Lampung, Pelita

Rencana pembangunan kota baru yang digagas oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung terancam gagal, ini dibuktikan dengan adanya aksi demontrasi yang dilakukan ratusan petani yang tergabung dalam Gabungan Petani Lampung (GPL). Para petani tersebut kemarin mendatangi kantor DPRD Provinsi Lampung dengan berjalan kaki untuk menyampaikan keberatan mereka terhadap rencana pembangunan kota baru yang lokasinya berada di Kecamatan Jati Agung Kabupaten Lampung Selatan.


Koordinator lapangan GPL Ali Akbar, menyerukan bahwa selain menolak pembangunan kota baru, GPL juga menolak Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan berikan sertifikat hak milik tanah rakyat.


Ali menilai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kaum tani itu sangat merugikan warga yang tinggal di delapan desa yang ada di kecamatan tersebut. Dengan dalih untuk membangun kota baru, 1.500 hektar tanah garapan petani yang merupakan satu-satunya penopang kehidupan 5.000-an petani miskin, sebentar lagi akan berganti rupa menjadi bangunan dan gedung sebagai pusat pemerintahan kota baru Lampung.


Tanah eks.LIPI dahulunya adalah tanah yang dikelola PT Mitsgoro yaitu seluas 7.000 hektar pasca tutupnya PT Mitsgoro (pailit) pada tahun 1982, lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) mengambil alih kepemilikan tanah tersebut seluas 1.500 hektar untuk ditanami kayu lamtorogung, ujarnya. Kota baru membuat resah, belum lagi rakyat tahu kapan kota baru akan mulai dibangun, rakyat/petani sudah mengalami banyak kerugian, seperti pemasangan patok-patok besi yang dilakukan entah oleh siapa di tanah-tanah eks LIPI dan kini rasa takut akan kehilangan tanah garapannya, sudah terbayang oleh petani dan keluarganya.


Keresahan petani semakin menjadi-jadi ketika oknum Pemda Lampung menyatakan bahwa pemerintah hanya akan mengganti rugi Rp2 juta/hektar kepada petani dan tidak hanya tanah eks LIPI saja yang akan diambil tapi seluruh register 40 seluas 43 ribu hektar yang akan dihutankan kembali (HTR). Bahkan masyarakat pun dilarang mendirikan bangunan baru disana, ujarnya.
Setelah berorasi setengah jam, akhirnya para petani diterima kedatangannya oleh Komisi I DPRD yang dijumpai Ketut Erawan, Sri Dahlianty, Faraouk Daniel dan Bastari. Hasilnya wakil DPRD ini akan merapatkan ini di forum dan akan ditindak lanjuti. (bdl)

Hikmahnya Gelar 'Adok' Marga Punduh.




PUNDUHPIDADA—Prosesi pemberian gelar adat (adok) Marga Punduh merupakan upacara adat yang sarat makna. Upacara ini menjadi event menarik karena sudah sangat jarang dilakukan.

Suasana meriah dan hikmat menyelimuti suasana di Desa Punduhpidada, Pesawaran, Sabtu (21-11). Panji-panji kebesaran adat Marga Punduh, satu klan Lampung Pesisir Saibatin, yang didominasi warna merah dan emas didirikan. Tetabuhan cetik berdentang mengudara dan mendominasi suara-suara yang terdengar.

Lalu, syair-syair kearifan tua dikumandangkan oleh tetua adat yang mengerti dan memegang teguh adat dengan rima berulang dan nada puitis.

Kham jama-jama dukung kalau ya tetap jaya, sifatni ya panulung, jalma khedik jak agama. Minak Inton dang bingung, tutukh goh Khadin Jaya, ya jalma ne panghubung khek monekh bijaksana. (Kita sama mendukung kejayaannya, sifatnya yang penolong dan dekat dengan agama. Minak Intan jangan bingung, ikuti saja Raden Jaya, dia manusia penghubung yang bijaksana.)

Syair itu berkumandang saat dua orang terpilih, yakni Tommy Muhamad Nur dan istrinya, Rusnayati, dianugerahi gelar adat. Tommy mendapat gelar Raden Mas Jaya di Lampung, sedangkan Rusnayati mendapat gelar Minak Intan Berlian. Pemberian gelar ini amat langka sebab Marga Punduh baru dua kali mengangkat gelar ini.

Marga Punduh merupakan salah satu marga tertua di Lampung. Keberadaannya ditandai dengan kehadiran Saibatin Purbaningrat dari Kerajaan Skalabrak pada 1420, yang tinggal dan menempati daerah pesisir di Pesawaran ini.

Meskipun kini Marga Punduh lebur bersama dua marga lainnya—Marga Pedada dan Marga Bawang—yang membentuk sebuah daerah administratif Kecamatan Punduhpidada melalui proses musyawarah para pemuka adat tiga marga—akhirnya menyimpulkan pemberian nama daerah dengan mengambil nama dua marga.

Kedua marga yakni Marga Punduh dan Marga Pedada, yang disatukan menjadi nama daerah Kecamatan Punduhpedada dengan ibu kota di wilayah Marga Bawang.

Eksistensi marga ini tetap lekat, keturunan marga tetap tunduk pada derajat gelar. Marga ini dipimpin oleh Saibatin secara turun-temurun dan kini tampuk pimpinan kemargaan Punduh diwarisi oleh Saibatin Nurdiansyah.

Menurut Raden Dulu, salah satu pemuka adat Marga Punduh, hingga kini warisan kemargaan masih tetap ada. Selain adat istiadat khas Lampung pesisir, juga ada pedang perak. Pedang itu terbuat dari perak milik Saibatin Purbaningrat, sebagai kepala marga pertama.

Beberapa warisan marga, seperti baju zirah dan beberapa tulisan beraksara Lampung, tak bisa diselamatkan karena dimakan usia. "Kami tidak bisa merawatnya karena lapuk dimakan rayap. Yang tersisa hanya pedang perak saja," kata Raden Dulu.

Raden Dulu juga menyebut Marga Punduh melingkupi tujuh desa dengan Desa Maja sebagai desa adat tertua. Beberapa desa lainnya yang sempat menjadi bagian dari Marga Punduh lambat laun mulai kehilangan tanda-tanda kemargaannya karena terjadinya pembauran budaya dengan suku lain.

Sepintas tak ada yang membedakan marga ini dengan marga-marga lainnya, khususnya bagi masyarakat Lampung pesisir. Yang membedakan justru proses pemberian gelar adat. Marga ini terbilang ketat dalam memberikan gelar adat, apalagi untuk orang dari luar kemargaannya.

"Apa pun kesiapannya, jika pemuka-pemuka adat tidak menghendaki, pemberian gelar adat tak akan pernah ada."

Karena itu, sepanjang keberadaannya, Marga Punduh baru dua kali melakukan prosesi pemberian gelar adat. Satu gelar diberikan kepada warga dari luar Marga Punduh. Pemberian gelar ini pun bukan sembarangan karena gelar itu diberikan atas jasa warga yang dinilai telah memajukan dunia pendidikan, khususnya di tujuh desa yang menjadi bagian dari Marga Punduh, dengan ditandai keberadaan SMA Negeri 1 Punduhpedada di Desa Maja.

"Ini gelar penghormatan," ujar Raden Dulu.

Sementara itu, gelar kedua diberikan kepada Tommy Muhammad Nur, pengusaha yang masih memiliki darah Marga Punduh dari nenek moyangnya, yang juga dianggap berjasa dalam penyebaran Islam di Punduh, yakni Syekh Abdul Fatah Naqsa'bandiah dan Syekh Abdul Rauf Naqsa'bandiah.

"Ini (pemberian gelar, red) sebenarnya gelar turun-temurun karena Tommy sudah dianggap sebagai bagian dari Marga Punduh,” kata Raden Dulu.

Demikian halnya Tommy Muhammad Nur yang menganggap dirinya merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat adat Punduh. "Ini kampung saya dan bagian dari diri saya walaupun pemberian gelar ini saya rasakan sangat berat," kata Tommy Muhammad Nur yang mendapat gelar Raden Mas Jaya Di Lampung.

Perlambangan gelar ini, menurut Raden Dulu, menjadi kebanggaan bagi masyarakat Marga Punduh atas keberhasilan Tommy Muhammad Nur dalam mengangkat citra Marga Punduh di luar daerahnya, khususnya di bidang usaha.

"Mudah-mudahan ia tetap berjaya di Lampung ini," ujar Raden Dulu.

(MEZA SWASTIKA/M-1)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 Nov 2010

WARGA AKAN DIRELOKASI

Bandar Lampung Lampost : Selasa, 1 Februari 2011

Pembangunan Kota Baru di Lampung.

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Pemprov Lampung akan merelokasi masyarakat yang berada di area hutan Register 40 yang lahan perkebunannya dijadikan calon lokasi kota baru.

Hal ini dijanjikan Kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Lampung Warsito usai mengikuti paripurna di Gedung DPRD Provinsi, Senin (31-1).

Menurut Warsito, pihaknya memahami kecemasan warga karena harus pindah dari lokasi garapan tersebut. Sebab itu, masyarakat yang kebanyakan tinggal di Desa Purwotani tersebut akan diakomodasi pemerintah melalui program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) di luar lokasi calon kota baru.

Namun, program ini, menurut dia, tidak berlaku bagi masyarakat yang berkebun di luar wilayah Register 40. "Kalau memang tinggal di Register 40, pasti akan kami akomodasi. Tapi yang memiliki kebun di lokasi kota baru, tapi di luar Register 40, ya silakan pergi saja," ujarnya.

Saat ini, menurut dia, pihak Dishut sedang mendata dan menginventarisasi masyarakat yang ada di Register 40 untuk kemudian disiapkan lokasi hutan tanaman rakyat untuk mereka. Lokasi itu sendiri kini masih dalam proses pembahasan pihak-pihak terkait, dan pada saatnaya nanti akan diinformasikan ke masyarakat.

Sebelumnya ratusan petani di Jatiagung, Lampung Selatan, berunjuk rasa untuk meminta direlokasi atau dinaikkan besaran uang tali asih yang diberikan Pemprov.

Bagi yang berada di luar kawasan hutan, tapi memiliki lahan pertanian di sekitar calon lokasi kota baru, Pemprov hanya akan memberikan uang tali asih senilai Rp5 juta/ha.

Sejak tahun lalu hingga 2011, Pemprov menargetkan pemberian tali asih untuk penggarap di lahan seluas 1.300 ha, di lokasi calon kota baru.

Seluas 350 ha sudah diselesaikan tahun lalu, dan pada tahun 2011 Pemprov sudah menyiapkan anggaran Rp4,75 miliar untuk penggarap lahan seluas 950 ha di sana.

Terkait dengan keinginan warga agar nilai ganti rugi dinaikkan, Pemprov tetap berkukuh tidak akan menaikkannya. "Saya rasa tidak bisa untuk menaikkan nilai tali asih," kata Kepala Biro Aset dan Perlengkapan Sekprov Ali Subaidi, Jumat (28-1), terkait dengan tuntutan kenaikan ganti rugi yang diajukan para petani dalam unjuk rasa di Jatiagung, dua hari lalu.

Menurut dia, Pemprov tetap akan memberi ganti rugi berupa tali asih senilai Rp5 juta/ha kepada warga yang menanami wilayah hutan produksi itu karena nilai tersebut dirasa sudah cukup. Apalagi, ujarnya, lahan tersebut bukan milik petani, melainkan milik pemerintah.

Menurut Koordinator Biro Propaganda Gabungan Petani Lampung Antonius, ganti rugi yang pantas diberikan pada lahan yang banyak ditanami pohon karet, sawit, singkong, dan kayu-kayuan lainnya itu mencapai Rp30 juta lebih/ha.

"Petani mendukung dibangunnya kota baru di Jatiagung. Tapi pemerintah harus memikirkan nasib petani yang mencari nafkah dari tanam-tanaman mereka. Seperti tanaman sawit atau karet. Apa pantas kalau digantinya hanya Rp5 juta/ha," kata Antoniyus melalui ponselnya, Jumat (28-1). (MG3/D-1)

Liwa Gratiskan Pelayanan Kelas Tiga

Ruwa Jurai Lampost : Selasa, 1 Februari 2011

LIWA (Lampost): Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Liwa, Lampung Barat, mulai Januari 2011 memberlakukan program pelayanan kesehatan masyarakat gratis (PKMG). Biaya pengobatan dan perawatan akan ditanggung pemerintah melalui APBD 2011 yang telah dianggarkan Rp2,2 miliar.

Pelayanan kesehatan gratis diberlakukan khusus bagi masyarakat Lambar yang ingin berobat di RSUD Liwa. Pelayanan kesehatan digratiskan secara penuh, meliputi pelayanan kesehatan di UGD, poliklinik, kesehatan gigi, rawat jalan, maupun rawat inap di kelas tiga.

Sekretaris RSUD Liwa, Abdul Kadir, Senin (31-1), menjelaskan semua pelayanan digratiskan, kecuali pelayanan kesehatan yang ada kaitannya dengan kosmetika/perawatan wajah dan pelayanan kesehatan di kelas I, II, atau kelas VIV.

"Program pelayanan kesehatan, baik yang ada di UGD, poliklinik, poli gigi, rawat jalan, dan rawat inap di kelas tiga mulai Januari 2011 ini digratiskan," kata Abdul Kadir.

Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di RSUD Liwa, kata dia, hanya cukup membawa kartu keluarga/KTP bagi yang sudah memiliki KTP. Selain itu, rujukan dari puskesmas setempat.

Program pelayanan kesehatan gratis, lanjut Abdul, hanya berlaku bagi masyarakat Lambar. Sedangkan warga yang tidak memiliki KTP dan KK Lambar harus tetap membayar.

Untuk menyukseskan program PKMG di RSUD Liwa ini, kata Abdul, pihaknya akan terus melakukan sosialisasi, baik melalui media cetak, elektronik, puskesmas, aparat pekon, maupun orang perorangan. Bahkan, saat ini pihaknya akan membuat stiker yang isinya soal pelayanan kesehatan gratis.

Abdul berharap kepada seluruh aparatur pemerintah di lingkungan Pemkab Lambar, aparatur pekon, maupun masyarakat, untuk ikut mendukung dan menyosialisasikan program ini. "Tujuannya agar masyarakat mengetahui adanya program PKMG di RSUD Liwa," kata dia. (ELI/D-3)

Saturday, January 22, 2011

"PERANGKAP (MATA RANTAI) KEMISKINAN"



"Perangkap kemiskinan" mempunyai pengertian yang jauh lebih kompleks dari pada "kemiskinan" itu sendiri."

" Kemiskinan" hanya merupakan salah satu dimensi dari "perangkap kemiskinan". Menurut Robert Chambers, selain "kemiskinan" itu sendiri, unsur-unsur yang terkandung dalam "perangkap kemiskinan" adalah kerentanan, kelemahan jasmani, ketidak-berdayaan dan derajad isolasi.

"Kemiskinan", merupakan faktor yang paling menentukan dibandingkan faktor-faktor lainnya. "Kemiskinan" mengakibatkan kelemahan jasmani karena kekurangan makan, yang pada gilirannya menghasilkan ukuran tubuh yang lebih kecil, kekurangan gizi menjadikan daya tahan tubuh rendah dan mudah terserang penyakit, padahal tidak ada uang untuk berobat; orangpun tersisih, karena tidak mampu membiayai sekolah, membeli pesawat radio atau sepeda, menyediakan ongkos untuk mencari kerja; orang menjadi rentan terhadap keadaan darurat atau kebutuhan mendesak karena tidak mempunyai kekayaan; dan menjadi tidak berdaya karena kehilangan kesejahteraan dan mempunyai kedudukan yang rendah; orang miskin, tidak mempunyai suara.

Kelemahan jasmani suatu rumah tangga mendorong orang ke arah "kemiskinan"; tingkat produktivitas rendah; tidak mampu bekerja lebih lama; dan sebagainya. Tubuh yang lemah juga sering membuat seseorang tersisih karena tidak ada waktu atau tidak kuat mengikuti pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan baru yang bermanfaat. Jasmani yang lemah memperpanjang kerentanan seseorang karena terbatasnya kemampuan untuk mengatasi krisis. Tubuh yang lemah menjadikan orang merasa tidak berdaya, karena kekurangan tenaga dan waktu untuk berorganisasi dan berpolitik; orang yang kelaparan dan sakit-sakitan tidak akan berani berbuat macam-macam.

Isolasi (karena tidak berpendidikan, tempat tinggal yang jauh terpencil atau di luar jangkauan komunikasi), menopang "kemiskinan". Bantuan sulit menjangkau mereka; orang yang buta huruf menjauhkan mereka dari informasi yang mempunyai nilai ekonomi serta menutup kemungkinan masuk dalam daftar penerima kredit. Isolasi bergandengan dengan kelemahan jasmani; rumah tangga yang hidup jauh terpencil mungkin ditinggal pergi oleh anggota keluarga dewasa untuk mencari kerja ke kota atau desa lain. Isolasi memperkuat kerentanan. Isolasi berarti kurang hubungan dengan para pemimpin politik atau bantuan hukum, serta tidak tahu apa yang dilakukan penguasa.

Kerentanan adalah salah satu mata rantai yang paling banyak mempunyai jalinan. Faktor ini berkaitan dengan "kemiskinan" karena orang terpaksa menjual atau menggadaikan kekayaan; berkaitan dengan kelemahan jasmani untuk menangani keadaan darurat; waktu dan tenaga ditukarkan dengan uang; kaitannya dengan isolasi berupa sikap menyingkirkan diri baik secara fisik (menyingkir ke tempat yang jauh) maupun secara sosial (menjauhi pergaulan), serta ketergantungan terhadap majikan atau orang yang dijadikan gantungan hidupnya.

Ketidakberdayaan mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain yang terpenting adalah pemerasan oleh kaum yang lebih kuat. Orang yang tidak berdaya menempatkan dirinya selalu pada pihak yang dirugikan. Faktor inipun mendorong kelemahan jasmani, karena waktu dan tenaga dicurahkan untuk memperoleh akses. Isolasi berkaitan dengan ketidakberdayaan melalui ketidakmampuan mereka menarik bantuan pemerintah. Orang yang tidak berdaya juga membuat orang miskin lebih rentan terhadap tuntutan untuk membayar hutang, terhadap ancaman hukuman atau denda, atau terhadap penyalah-gunaan wewenang yang merugikan dirinya.

Kelima mata rantai di atas oleh Robert Chambers disebut lingkaran setan, sindrom "kemiskinan" atau "perangkap kemiskinan". Antara unsur yang satu dengan unsur yang lain saling mempengaruhi.(Sumber : Hidup Itu Indah Blog)

"PERSPEKTIF TENTANG KEMISKINAN"



"Kemiskinan" kultural bukanlah bawaan, melainkan akibat dari ketidak-mampuan menghadapi "kemiskinan" yang berkepanjangan."
Menurut Abdul Syani, "kemiskinan" dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupi dirinya atau keluarganya sendiri, seperti layaknya kehidupan orang lain, kelompok lain atau anggota-anggota "masyarakat" pada umumnya.
Penganut teori fungsional, Herbert Gans, menilai "kemiskinan" mempunyai fungsi dalam suatu sosial sistem, yaitu fungsi ekonomi, sosial, kultural dan politik.

Fungsi ekonomi dari "kemiskinan" meliputi:

a. Menyediakan tenaga untuk pekerjaan kotor dalam" masyarakat".
b. Menimbulkan dana-dana sosial (finds).
c. Membuka lapangan kerja baru karena dikehendaki oleh orang "miskin".
d. Pemanfaatan barang bekas yang tak dimanfaatkan oleh orang kaya.


Fungsi sosial dari "kemiskinan" meliputi:

a. "Kemiskinan" menguatkan norma-norma sosial utama dalam "masyarakat".
b. Menimbulkan altruisme terutama terhadap orang-orang "miskin" yang sangat memerlukan santunan.
c. Si kaya dapat merasakan kesusahan hidup miskin tanpa perlu mengalaminya sendiri dengan membayangkan kehidupan si "miskin".
d. Orang miskin menyediakan ukuran kemajuan (Rod) bagi kelas yang lain.
e. Membantu kelompok lain yang sedang berusaha sebagai anak tangganya.
f. "Kemiskinan" menyediakan alasan untuk munculnya kalangan orang kaya yang membantu orang miskin dengan berbagai badan amal.


Fungsi kultural dari "kemiskinan" meliputi:

a. "Kemiskinan" menyediakan tenaga fisik yang diperlukan untuk pembangunan monumen-monumen kebudayaan.
b. Kultur orang "miskin" sering diterima pula oleh strata sosial yang berada di atas mereka.



Fungsi Politik dari "kemiskinan" meliputi:

a. Orang miskin berjasa sebagai kelompok gelisah atau menjadi musuh bagi kelompok politik tertentu.
b. Pokok isu mengenai perubahan dan pertumbuhan dalam "masyarakat" (terutama di AS) selalu diletakkan di atas masalah bagaimana membantu orang "miskin".
c. "Kemiskinan" menyebabkan sistem politik (di AS) menjadi lebih centrist dan lebih stabis.

Meskipun Gans mengemukakan sejumlah fungsi "kemiskinan", tapi itu tidak berarti bahwa ia setuju dengan institusi tersebut.

Implikasi dari pendapat Gans ini adalah bahwa jika orang ingin menyingkirkan "kemiskinan", maka orang harus mampu mencari alternatif untuk orang "miskin" berupa aneka macam fungsi baru. Alternatif yang diusulkan oleh Gans adalah otomatisasi. Otomatisasi dapat menggantikan fungsi si "miskin" yang semula mengerjakan pekerjaan kotor, utnuk kemudian dapat dialihkan kepada fungsi yang lain yang memberikan upah yang lebih tinggi.

Gans menyimpulkan adanya tiga alasan yang menyebabkan "kemiskinan" itu tetap berlangsung dalam "masyarakat":

a. "Kemiskinan" masih tetap fungsional terhadap berbagai unit dalam "masyarakat".
b. Belum adanya alternatif lain atau baru untuk berbagai pelaksanaan fungsi bagi orang "miskin".
c. Alternatif yang ada masih saja lebih mahal dari pada imbalan kesenangan yang diberikannya.


"Kemiskinan" akan lenyap melalui dua syarat:
a. Bila "kemiskinan" itu sudah sedemikian tidak berfungsi lagi bagi kemakmuran.
b. Bila orang "miskin" berusaha sekuat tenaga untuk mengubah sistem yang dominan dalam stratifikasi sosial.

"Kemiskinan" antara lain ditandai dengan keterbatasan/kurangnya kemampuan ekonomi, keterampilan, pendidikan, rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya keadaan gizi keluarga, terbatasnya lapangan dan kesempatan kerja.

Apabila kondisi-kondisi tersebut dilihat dari pola hubungan sebab akibat, maka orang "miskin" adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkaran ketidak-berdayaan. Rendahnya pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas. Masalah mereka yang paling menonjol berkisar pada keterbatasan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar manusia.

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa orang yang mengalami "kemiskinan" tidaklah akan banyak berdaya. Jangankan utnuk mengembangkan diri (jasmani maupun rohani), untuk bertahan menegakkan hidup fisiknya pada taraf yang subsisten saja terkadang tidak mampu. Kian "miskin" dan kian diper"miskin" hidup seseorang akan kian rendah dan menurun pulalah tingkat keberdayaannya. Kebeerdayaan ini merupakan fungsi kebudayaan. Artinya, berdaya tidaknya seseorang dalam kehidupan ber"masyarakat"nya itu dalam kenyataan akan banyak ditentukan dan dipengaruhi oleh determinan-determinan sosial budayanya (seperti misalnya posisi, status dan wawasan yang dipunyainya); dan sebaliknya, semua fasilitas sosial budaya yang teraih dan dapat didayagunakan olehnya itu akan pula menentukan keberdayaannya kelak di dalam pengembangan dirinya di tengah "masyarakat". Ini merupakan suatu lingkaran setan, dimana orang-orang "miskin" yang tak berdaya acapkali terjebak di dalamnya, dan karena itu sulit melepaskan diri dari nasib buruknya itu. Maka, dari itu lahirlah sinyalemen yang menyatakan bahwa "kemiskinan": itu menghasilkan "kemiskinan", dan bahwa seseorang yang miskin itu "miskin" karena miskin.


Sedangkan menurut Ramlan Surbakti, "kemiskinan" ditinjau dari sifatnya dibedakan menjadi "kemiskinan" absolut dan "kemiskinan" relatif. "kemiskinan" suka rela dan "kemiskinan" terpaksa.


"Kemiskinan" absolut muncul dari nilai-nilai kemanusiaan (menyangkut harkat dan martabat manusia), sedanagkan "kemiskinan" relatif lebih menyangkut persepsi diri sebagai orang miskin karena adanya kesenjangan yang lebar dalam pemikiran dan/atau penguasaan harta benda dan dalam cara dan kecepatan memperolehnya. "Kemiskinan" absolut maupun "kemiskinan" relatif merupakan "kemiskinan" karena terpaksa. "Kemiskinan" sukarela lebih merupakan pilihan pandangan hidup yang dianggap lebih ideal. Para agamawan ataupun penghayat kebatinan yang lebih mementingkan dunia spiritual dari pada dunia wadah termasuk orang-orang yang memiliki pandangan hidup seperti ini. Dari faktor penyebabnya, "kemiskinan" dibedakan menjadi "kemiskinan" kultural, "kemiskinan" sumber daya ekonomi, dan "kemiskinan" struktural. Perasaan marjinalitas yang kuat, fatalisme, putus asa, ketergantungan dan inferioritas, kecurigaan dan apatisme merupakan sejumlah ciri-ciri kepribadian disfungsional yang timbul sebagai respon terhadap deprivasi ekonomi.


"Kemiskinan" kultural bukanlah bawaan, melainkan akibat dari ketidak-mampuan menghadapi "kemiskinan" yang berkepanjangan. "Kemiskinan" bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi.


"Kemiskinan" sumber daya ekonomi melihat akar "kemiskinan" terletak pada ketidak-punyaan sumber daya ekonomi, seperti tanah dan modal, pendidikan dan keterampilan, karena pertambahan penduduk yang pesat tidak seiring dengan sumber daya ekonomi yang tersedia. Akibatnya tidak hanya semakin banyak petani gurem dan buruh tani tetapi juga surplus tenaga kerja.


"Kemiskinan" struktural merupakan "kemiskinan" yang dibuat oleh manusia yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Perampasan dan akumulasi sumber daya ekonomi ini dilakukan oleh elit ekonomi dan politik yang tingga di kota dan atau di negara lain baik melalui mekanisasi dan komersialisasi pertanian di pedesaan maupun industrialisasi yang menggunakan teknologi padat modal. Perampasan dan akumulasi seperti ini tidak hanya dibenarkan tetapi juga dilaksanakan melalui kebijakan politik yang diputuskan dan diselenggarakan pemerintah. Akibatnya hanya sekelompok kecil orang pemilik sumber daya ekonomi dan atau orang-orang yang memiliki akses terhadap penggunaan sumber daya ekonomi politik saja yang beruntung menikmatinya. Sebagian "masyarakat" lainnya tidak hanya tak memiliki akses pada penggunaan sumber daya ekonomi tetapi juga akses pada kekuasaan politik. Disebut "kemiskinan" struktural karena yang membuat sebagian "masyarakat' miskin adalah bukan orang per orang melainkan struktural ekonomi dan politik yang tak hanya berifat eksploitatif terhadap pihak yang kurang memiliki sumber daya tetapi juga hanya berpihak kepada orang-orang yang memiliki akses ekonomi dan politik.


Kalau melihat begitu kompleksnya permasalahan "kemiskinan" ini, tidaj hanya akan mencegah kita membuat program yang asal ada program (supaya dianggap sudah memiliki komitmen dan telah bertindak) tetapi juga akan membuat kita rendah hati untuk berbagi tugas diantara pemerintah dan unsur-unsur "masyarakat" (seperti Lembaga Swadaya "Masyarakat"/LSM dan orang "miskin" sendiri) untuk menangani permasalahan ini. (Sumber : Hidup iti indah blog)

"PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA DAN KEMISKINAN"



"Pembangunan masyarakat desa" pada hakekatnya bertujuan meningkatkan taraf hidup "masyarakat" secara keseluruhan agar lebih baik, lebih menyenangkan dan mengenakkan warga "masyarakat" dari keadaan sebelumnya."

Mencapai kesejahteraan, itulah yang menjadi tujuannya.

"Pembangunan masyarakat desa" dan tujuannya selalu dikaitkan dengan masalah "kemiskinan", yang dialami oleh sebagian "masyarakat" dalam kategori "masyarakat desa", dan lebih khusus lagi "masyarakat" nelayan dan petani kecil."
Hambatan dalam pelaksanaan "pembangunan masyarakat desa" di negara-negara Dunia Ketiga, antara lain adalah keadaan penduduk yang sangat "miskin", kebodohan dan pengalaman-pengalaman mereka yang serba menyusahkan dan menyedihkan di masa lampau, menyebabkan para petani dan nelayan pada umumnya dicekam rasa takut, menjadi apatis, berserah diri pada nasib (yang jelek), tidak ada keberanian untuk mencapai prestasi secara individu, tidak ada keberanian menanggung resiko untuk merubah nasib mereka yang bagaikan berada di dalam rawa-rawa yang memerlukan pertolongan dari luar untuk menariknya.

Sebenarnya, apa yang dinamakan "miskin" di manapun akan memperlihatkan wajah atau raut muka yang sama. Mereka yang hidup "miskin" di perkotaan, memiliki atribut ke"miskin"an yang tidaklah berbeda dengan sobat-sobat mereka di pe"desa"an. Hanya ada sedikit kelainan dalam hal hubungan-hubungan sosial-ekonomi. Dan lingkungan hidupnya barangkali memberi kekhasan bagi ke"miskin"an di perkotaan. Antara lain dapat disebutkan adanya heterogenitas kelompok "miskin", hubungan sosial-ekonomi yang relatif 'ketat' dari pada di pe"desa"an dan ke"miskin"an di perkotaan, ini seringkali berkaitan erat dengan kriminalitas dari perilaku kekerasan dalam "masyarakat" kota.

Dapat dikatakan bahwa dalam era "pembangunan" Indonesia dewasa ini hampir semua program-program "pembangunan" sektoral adalah menuju kepada menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi tingkat "kemiskinan". Artinya, laju pertumbuhan sebagai akibat "pembangunan" itu, pasti akan berdampak positif bagi pengurangan "kemiskinan" tahap demi tahap.

Dalam tahap-tahap "pembangunan" sebelum 1980, pelaksanaan "pembangunan" masih dapat menoleransi tingkat "kemiskinan" yang tinggi. Misalnya, lebih dari 30 % jumlah penduduk masih ada di bawah garis "kemiskinan".

Dalam sikap toleransi itu, trilogi "pembangunan" unsur pemerataan "pembangunan" dan hasil-hasil "pembangunan" belum memperoleh urutan prioritas pertama. Tetapi, dalam "pembangunan" dewasa ini, yang sudah melewati jangka waktu 29 tahun lebih, unsur pemerataan sudah waktunya dan sepantasnya memperoleh perhatian utama dan penanganan yang sungguh-sungguh.

Di Indonesia pada tahun 1980-an, tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dari pada tingkat "kemiskinan" di daerah pe"desa"an. Gejala ini adalah kebalikan dari kenyataan dalam tahun 1970-an, yang menunjukkan tingkat "kemiskinan" di daerah pe"desa"an lebih tinggi dari pada tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan.

Pada tahun 1976, prosentase penduduk "miskin" di daerah pe"desa"an 40,4 % sedangkan di daerah perkotaan 38,8 % dari masing-masing jumlah penduduknya. Sebaliknya, pada tahun 1987 prosentase penduduk "miskin" daerah pe"desa"an 16,4 % dan di daerah perkotaan 20,1 %. Daerah perkotaan, yang pada umumnya laju "pembangunan"nya, jauh lebih pesat, mempunyai tingkat "kemiskinan" yang relatif lebih tinggi dari pada daerah pe"desa"an.

Tingginya tingkat "kemiskinan" di daerah perkotaan, yang relatif lebih tinggi dari pada daerah pe"desa"an, antara lain disebabkan oleh makin derasnya arus migrasi penduduk "miskin" dari pe"desa"an ke daerah perkotaan. Arus migrasi yang makin besar ini didorong oleh beberapa kesenjangan sosial ekonomi antara kota dan "desa". Makin besar perbedaan laju perkembangan/"pembangunan" antara kota dan "desa", serta makin kurang meratanya "pembangunan" antara kota dan "desa" menyebabkan kesenjangan ekonomi dua wilayah itu makin besar. Perkembangan dan

"pembangunan" di daerah perkotaan tidak mempunyai kaitan dan sering tidak secara sadar dikaitkan dengan perkembangan dan "pembangunan" daerah pe"desa"an. Terjadi suatu disintegrasi antara dua wilayah yang berdampingan.

Sejalan dengan arus migrasi ke daerah perkotaan itu, tumbuhlah berbagai kegiatan ekonomi yang terkelompokkan dalam sektor informasi yang hidup berdampingan dengan sektor formal di daerah perkotaan. Kehadiran sektor informal bersama-sama dengan sektor formal di perkotaan akan memberikan gambaran yang berbeda dalam kehidupan sosial ekonomi perkotaan, bila dibandingkan dengan pola kehidupan pe"desa"an.

Migrasi ke daerah perkotaan tadi, terjadi karena ketidak-berhasilan pelaksanaan "pembangunan" di pe"desa"an. Penduduk desa merasa tidak puas hidup di "desa", sehingga mereka ingin menikmati hidup di kota, mencari pengalaman bekerja di kota padahal mereka tidak mempunyai keterampilan apa-apa.

Menurut Drs. N. Daldjoeni, migrasi ke daerah perkotaan ini akan mengakibatkan terlampau besarnya proporsi penduduk secara nasional atau regional yang bertumpuk undung di perkotaan. Hal ini akan menimbulkan masalah misalnya: terbatasnya industri modern menyajikan pekerjaan kepada migran, terlalu luasnya cakupan kegiatan ekonomi sektor informal, serta meratanya pengangguran yang terselubung di perkotaan.

Mengingat permasalahan-permasalahan di atas, maka "pembangunan masyarakat desa" perlu lebih ditingkatkan lagi, sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak akan berlarut-larut dan semakin parah(sumber: Hidup ini indah blog).

Anatomi Kemiskinan dan Infrastruktur Perdesaan


Opini Lampost : Jum'at, 21 Januari 2011

HARDI HAMZAH
Staf Ahli Mahar Foundation

Kemiskinan di perdesaan bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, hal ini dikarenakan masyarakat kita yang mayoritas tinggal di perdesaan selalu mengalami fluktuasi sebagai akibat adanya policy. Di satu pihak terdapat kebijakan yang linear dan kurang antisipatif, di pihak lain adanya jeratan para tengkulak.

Desa-desa harus menjadi skala prioritas karena desa merupakan lumbung utama dari berbagai komoditas yang dinikmati masyarakat kota, dan elite perkotaan pula yang membuat kebijakan (policy) sehingga apakah masyarakat desa hanya menjadi objek policy, dan bagaimana pula agar mereka menjadi subject dari negara ini mengingat mereka merupakan anak bangsa mayoritas.

Apabila kita memahami kemiskinan sebagai suatu aspek yang rawan, korelasi terpenting yang harus kita kaitkan adalah antara persepsi tentang kemiskinan itu terlebih dahulu. Demikian, ekonom sekaligus ustaz, Dr. Syafii Antonio, mengatakan bahwa standar BPS yang mengungkap adanya 31 juta jiwa lebih penduduk miskin di Indonesia, tidak relevan bila standar kemiskinan itu dibanding dengan apa yang dikemukakan World Bank dalam Annual Report (Laporan Tahunan).

Kita ketahui bersama, bahwa standar penduduk miskin di Indonesia, adalah sosok manusia yang berpenghasilan Rp220 ribu per bulan. Sementara Word Bank menstandarisasi, bahwa masyarakat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dapat dikategorikan miskin apabila berpenghasilan 2 dolar AS per hari, ini berarti sekurangnya Rp 18 ribu per hari, yakni Rp540 ribu per bulan. Kalau mengikuti standardisasi ini, berarti terdapat lebih dari 90 juta penduduk miskin, belum lagi yang berada di bawah garis kemiskinan.

Survei Divisi Penelitian Mahar Foundation menunjukkan 65,8 juta jiwa di perdesaan mengalami kemiskinan absolut, dan lebih dari 15 juta jiwa mengalami kemiskinan antara struktural dan absolut. Survei itu juga menunjukkan bahwa angka masyarakat miskin di perdesaan dapat membeludak. Mahar Foundation yang mengikuti secara cermat laporan tahunan (annual report) World Bank maka dapatlah dijelaskan lebih perinci angka kemiskinan di perdesaan sudah sangat akut.

Kemiskinan di perdesaan lebih besar implikasinya dikarenakan masyarakat perdesaan belum banyak yang memahami komunikasi sosial. Sangat boleh jadi mereka akan mendapat informasi yang salah, yang akan melahirkan selain ketidakpahaman tentang program pemerintah, juga akan cepat memicu potensi konflik.

Kemiskinan memang tidak dapat dibiarkan. Kita harus mengubah culture institusi dari bawah sampai atas. Apabila culture birokrasi kita tidak diubah, kebijakan akan menyediakan "karpet merah" pada elite politik dan pelaku ekonomi di pusat. Inilah yang kemudian membuat kemiskinan di perdesaan disorientasi. Penduduk yang disorientasi akan menampilkan bentuk-bentuk skeptis, tidak produktif terhadap SDA, dan mencelakakan negara.

Penulis melihat bahwa kemiskinan, yang kemudian menjadi dua sisi mata uang, sesungguhnya akan terus-menerus absolut, apabila kita melihat dari aspek matrerial (fisik) saja. Dalam kaitan ini untuk mengatasi kemiskinan, tampaknya yang dapat menjadi rujukan adalah kemiskinan di perdesaan harus dilihat dari Infra struktur sosial yang ada di perdesaan, perlu dipertimbangkan infra struktur sosial perdesaan karena infrastruktur sosial di perdesaan mencerminkan tingkat kemampuan masyarakat desa di dalam mengelola perdesaan.

Dalam tahapan ini, pertanyaan pertanyaan penting yang harus kita jawab bersama adalah apakah sistem organisasi masyarakat di suatu desa sudah cukup mapan atau setidaknya mampu untuk mengantisipasi suatu proses pembangunan yang dicanangkan pemerintah, atau justru masih lemah sama sekali.

Hal ini perlu dipertanyakan karena dengan memahami infrastruktur sosial, kita akan memahami sampai sejauh mana kesiapan masyarakat perdesaan untuk menghadapi dan menjalankan program pemerintah. Ini berarti dalam upaya mengentaskan kemiskinan di perdesaan tidak hanya dengan pendekatan kuantitatif semata, tetapi juga pendekatan sosial. Di mana, kita perlu memahami sejauh mana kelompok sosial, seperti pemuka agama, pemilik tanah atau kelompok elite perdesaan bisa diberdayakan untuk turut berperan serta aktif sebagai suatu instrumen sosial agar dapat ikut aktif bersama pemerintah dalam melakukan perubahan.

Dan, yang juga amat penting kita perhatikan, apakah sarana seperti bank, pusat pasar, jalan, dan fasilitas angkutan, baik di dalam desa, kota-kota terdekat di perdesaan telah dapat dimanfaatkan secara baik. Nah, kalau hal ini kita maknai, bahwa pengentasan kemiskinan di perdesaan ekuivalen dengan kerja sama seluruh elemen, maka program yang telah dikoordinasikan oleh lima belas kementerian terkait untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya di perdesaan akan berjalan baik pula. n

MEMBIDIK ARAH KEBIJAKAN TRANSMIGRASI PASCA REFORMASI

Drs. Anharudin, Ir. Rukmini N Dewi, dan Ir. Retno Anggraini


Abstrak


Pembangunan Transmigrasi ke depan masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan untuk mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Sedangkan Kebijakan Transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu: (1) Penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak; (2) Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja; (3) Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan perpindahan penduduk . Sementara itu, untuk wilayah KTI pembangunan transmigrasi diarahkan untuk (1) Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal, (2) Mendukung pembangunan wilayah perbatasan, dan (3) Mengembangkan permukiman transmigrasi yang telah ada, pembangunan permukiman baru secara selektif, dan pengembangan desa-desa/permukiman transmigrasi potensial. Dengan berlakunya UU no 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka tatacara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah.




PENDAHULUAN

Sebagai salah satu bentuk pelaksanaan amanat konstitusi[1], hingga kini pemerintah masih berkepentingan untuk menempatkan transmigrasi[2] sebagai satu model pembangunan. Hal ini berarti bahwa transmigrasi masih dipandang relevan sebagai suatu pendekatan pembangunan guna mencapai tujuan kesejahteraan, pemerataan pembangunan daerah, serta perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Transmigrasi juga relevan sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia (human rights), yaitu perlindungan negara atas hak-hak warga (negara) untuk berpindah dan menetap di dalam batas-batas wilayah negara-bangsanya. Oleh karena itu, Pemerintah tetap memberikan imperatif dan dukungan kepada pemerintah provinsi dan atau kabupaten-kota untuk menyelenggarakan transmigrasi[3], sepanjang tersedia sumber-sumber daya yang mendukungnya.

Namun demikian, kebijakan penyelenggaraan transmigrasi perlu diperbaharui, dan disesuaikan dengan kecenderungan (trend) perubahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama perubahan pada tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang selama bertahun-tahun berciri sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan baru berupa penerapan asas desentralisasi dan otonomi, sehingga mengharuskan dilakukan perubahan baik pada tataran kebijakan maupun implementasi. Pertama, transmigrasi harus menjadi bagian integral dari pembangunan daerah dan sepenuhnya dilaksanakan sesuai karakteristik dan kondisi spesifik daerah.[4] Kedua, menguatnya artikulasi politis masyarakat lokal sebagai dampak langsung proses demokratisasi, mengharuskan implementasi transmigrasi berwawasan kultural.



KOREKSI ATAS PENDEKATAN LAMA

Aspek Kebijakan

Sebagai implikasi dari sistem pemerintahan yang sentralistik, kebijakan transmigrasi berciri terpusat dengan pendekatan perencanaan top-down dan standar. Setelah reformasi bergulir, kebijakan yang berciri sentralistik dan top-down menjadi tidak relevan, dan karena itu diperlukan perubahan sesuai asas otonomi dan desentralisasi. Namun demikian, dalam era reformasi pemikiran ke arah perubahan kebijakan masih berupa wacana, atau paradigma yang belum diikuti oleh perubahan perangkat legalnya. Implementasi UU No. 22/1999 yang telah berimplikasi pada perubahan tata pemerintahan dan struktur birokrasi, belum serta-merta diikuti oleh perubahan perangkat kebijakan makro dan berbagai instrumen legal pendukungnya. Koreksi atas kebijakan kebijakan transmigrasi mencakup:


Kebijakan Eksklusifisme, Sentralistik, dan Standar

Kebijakan pembinaan masyarakat transmigrasi yang sentralistik dan standar telah berimplikasi pada kuatnya budaya pendatang, sementara budaya lokal nyaris tidak berkembang. Akibatnya terjadi penegasian budaya setempat dan rusaknya perkembangan kultural masyarakat setempat. Pembinaan transmigrasi juga cenderung bias pendatang. Berbagai bantuan hanya diberikan kepada masyarakat di dalam UPT, sementara penduduk sekitar yang tidak kalah miskin kurang memperoleh perhatian. Hal ini mengakibatkan perkembangan UPT lebih cepat dibanding desa-desa sekitar sehingga menimbulkan kecemburuan yang rentan terhadap konflik. Kebijakan perencanaan kawasan transmigrasi yang berciri sepihak, dengan kurang (tidak) melibatkan masyarakat sekitar telah berimplikasi pada sikap dan apatisme masyarakat lokal. Hal ini disebabkan salah satunya oleh sikap dan pandangan jajaran birokrat yang memposisikan diri sebagai penentu segalanya. Kebijakan ini berimplikasi pada munculnya lokasi-lokasi yang tidak memiliki keterkaitan fungsional dengan permukiman (desa) sekitar.

Kebijakan Berorientasi Target Penempatan Kebijakan pengerahan yang kurang memperhitungkan kualitas transmigran, telah berimplikasi pada ketidak-sesuaian kondisi transmigran. Transmigran yang didatangkan pada suatu lokasi kurang sesuai dengan kebutuhan pengembangan wilayah dan peningkatan kualitas hidup masyarakat lokal, baik menyangkut kultur budaya dan tradisinya maupun kompetensi keahlian dan ketrampilannya. Hal ini bersumber dari orientasi target pemindahan, sistem rekruitmen yang tidak didasarkan kompetensi dan aspirasi masyarakat lokal, dan pendekatan supply dalam penempatan.


Peran Pemerintah dan Masyarakat

Selama lebih dari tiga puluh tahun pemerintah Indonesia telah menjadi penyelenggara dan pelaksana transmigrasi, dan berhasil membangun sejumlah besar unit permukiman transmigrasi yang berbasis pertanian. Peran ganda tersebut menunjukkan besarnya dominasi pemerintah dalam pembangunan transmigrasi. Kebijakan transmigrasi yang selama bertahun-tahun cenderung mengarahkan masyarakat untuk bekerja di sektor pertanian dengan usaha produksi berbasis tanah, telah berimplikasi pada kurangnya diversivikasi pola usaha transmigran. Kondisi ini merupakan implikasi dari UU No. 3 /1972, yang lebih menekankan peranan transmigrasi sebagai salah satu cara redistribusi tanah dan ekstensifikasi pertanian. Implementasi UU No. 15 tahun 1997 sebagai pengganti UU No. 3 tahun 1972, diharapkan dapat mendorong investasi swasta dalam pengembangan berbagai usaha termasuk kegiatan produksi lain di luar pertanian. Namun harus diakui bahwa pola-pola permukiman transmigrasi non-pangan yang dibangun sebagai rintisan belum dapat diperluas untuk dijadikan alternatif terhadap pola tanaman pangan dan pola perkebunan. Pola-pola permukiman dengan usaha pokok yang berbasis kelautan, jasa, pertambangan, dan peternakan masih belum sempat dilaksanakan secara besar-besaran dengan melibatkan investor swasta. Kondisi ini merupakan agenda yang tertunda di masa sebelum reformasi, khususnya pasca peluncuran UU no. 15 tahun 1997.


Aspek Pelaksanaan

Pada tataran implementasi, transmigrasi selama ini mengalami berbagai kendala besar, yang kemudian berdampak pada kesenjangan antara konsep (kebijakan) dan realitas pencapaian sasaran dan tujuan. Koreksi pada aspek pelaksanaan, mencakup berbagai hal, antara lain;


Perkembangan Kawasan

Pemukiman transmigrasi yang dibangun pemerintah selama ini belum sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu menopang pengembangan wilayah (kawasan), baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain yang sudah ada. Pembangunan UPT-UPT memang dirancang agar secara ekonomi dapat menopang pertumbuhan kawasan sekitarnya, dan memberikan kontribusi terhadap wilayah lain melalui distribusi barang dan jasa. Namun, dalam realitasnya banyak UPT dan atau kawasan transmigrasi belum sepenuhnya mampu menopang perkembangan wilayah, bahkan banyak lokasi yang dibangun justru berada pada posisi terpencil (terisolasi). Dengan demikian pembangunan kawasan transmigrasi belum sepenuhnya mampu mempercepat proses pembangunan daerah dengan mendorong terbentuknya pusat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu dimasa depan prinsip yang dipegang dalam pembangunan kawasan atau lokasi transmigrasi adalah kesesuaian dengan RUTRD[5], dan memungkinkan bagi pengembangan spasial secara menyeluruh. Agenda penting bagi aparat pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota adalah bagaimana merumuskan konsep pembangunan kawasan transmigrasi secara ideal. Penentuan lokasi kawasan transmigrasi harus dapat mengakomodasikan kenyataan keragaman potensi. Dengan kata lain, pembangunan kawasan transmigrasi diarahkan untuk mempercepat perkembangan permukiman yang sudah ada tetapi masih tertinggal, serta desa-desa dan permukiman transmigrasi potensial agar dapat menopang pertumbuhan kawasan. Kultur masyarakat sekitar perlu diperhatikan, menyangkut penerimaan penduduk lokal terhadap pendatang dan status kepemilikan lahan. Penyiapan lokasi dan status lahan ke depan harus benar-benar bebas dari masalah baik secara sosial, kultural maupun legal. Lokasi transmigrasi yang dipilih dapat berada pada kawasan perbatasan, kawasan cepat tumbuh dan kawasan strategis. Pemerintah kabupaten/kota diharapkan mampu merumuskan konsep tentang kawasan transmigrasi yang dibangun atau dirancang sesuai potensi dan ketersediaan sumber daya yang ada.


Fasilitasi Perpindahan

Berdasarkan UU No.15/1997, fasilitasi perpindahan penduduk dalam kerangka transmigrasi dibedakan pada besarnya peranan pemerintah, swasta dan masyarakat, yaitu Transmigrasi Umum (TU), Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB), dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM). TU adalah jenis transmigrasi yang pelaksanaannya sepenuhnya disubsidi oleh Pemerintah. TSB adalah jenis transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah bekerjasama dengan Badan Usaha. Sedangkan TSM adalah transmigrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat bersangkutan secara perseorangan atau kelompok, baik bekerjasama atau tidak bekerjasama dengan Badan Usaha. Pada pelaksanaan TSM campur tangan pemerintah seminimal mungkin. Meskipun masih ditemui kekurangan, mekanisme pelaksanaan TU lebih mantap dibandingkan kedua pola lainnya. Sedangkan pelaksanaan TSM paling tertinggal, karena pemikiran-pemikiran untuk mengembangkan konsep TSM belum banyak dilakukan. TSM yang diselenggarakan selama ini masih menggunakan konsep TU, padahal dalam TSM diperlukan kriteria yang berbeda dengan TU. Pelaksanaan TSB selama krisis ekonomi mengalami kendala karena investor yang berminat untuk berinvestasi di lokasi transmigrasi semakin berkurang, sehingga diperlukan pemikiran-pemikiran untuk mengembangkan model TSB sebagai alternatif.
Pembinaan Masyarakat Transmigran Pemberdayaan masyarakat transmigrasi merupakan kegiatan pasca penempatan untuk memantapkan kehidupan sosial-ekonomi transmigran di permukiman yang telah dibangun. Transmigrasi ditempatkan dalam kultur masyarakat pedesaan yang memiliki komitmen tinggi terhadap nilai-nilai budaya, menghargai kebersamaan dan budaya lokal serta menghendaki kemajuan bersama. Namun demikian, pembinaan masyarakat transmigran selama ini cenderung membuat mereka sangat tergantung pada pemberian bantuan pemerintah. Oleh karena itu, kedepan pembangunan transmigrasi diarahkan pada (upaya) pemberdayaan. Sebaiknya transmigran tidak dimanjakan dengan pemberian bantuan yang menciptakan ketergantungan. Paket bantuan harus dirancang dalam kerangka pembinaan dan pemberdayaan masyarakat menjadi mandiri. Dalam kaitan ini penentuan sasaran pembinaan perlu menggunakan ukuran minimal. Pemerintah kabupaten harus mampu menentukan input yang diberikan kepada transmigran dan program pengembangan masyarakat secara teknis sehingga mereka mampu tumbuh secara mandiri.


Penyelesaian Masalah Lahan

Upaya penyediaan lahan untuk pembangunan kawasan transmigrasi di beberapa daerah belum sepenuhnya mencerminkan adanya prasyarat clear and clean, sehingga masih dijumpai begitu banyak kasus sengketa dan konflik lahan antara pemerintah dan masyarakat adat, dan proses penyelesaiannya cenderung berlarut-larut. Hampir di semua provinsi daerah tujuan transmigrasi dijumpai kasus sengketa tanah (lokasi) transmigrasi yang bersumber pada gugatan masyarakat adat kawasan yang sudah dibangun untuk permukiman transmigrasi. Upaya regoknisi yang selama ini ditempuh masih belum memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan transmigrasi, khususnya menyangkut status lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan transmigrasi. Oleh karena itu, ke depan diperlukan skema dan prosedur pembebasan dan penyediaan lahan untuk pembangnan transmigrasi yang secara legal bebas gugatan masyarakat lokal. Kerjasama antara masyarakat setempat (adat) dan pemerintah perlu ditingkatkan dalam upaya penyediaan lahan untuk kawasan transmigrasi. Dengan demikian pembebasan dan penyediaan tanah untuk pembangunan transmigrasi menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi masyarakat, transmigran maupun pemerintah daerah.



PARADIGMA BARU TRANSMIGRASI

Paradigma transmigrasi yang berciri demografis-sentris telah melahirkan berbagai kebijakan publik yang lebih menekankan pengerahan dan pemindahan penduduk secara besar-besaran. Pada periode pra-Pelita hingga periode Pelita I, misalnya, penyelenggaraan transmigrasi didasarkan atas kebutuhan untuk mendorong perpindahan penduduk sebanyak-banyaknya dari dan keluar luar Jawa. Implikasi kebijakan lainnya adalah bahwa transmigrasi diselenggarakan dengan mengejar target sasaran pemindahan secara kuantitatif. Betapapun sejak masa Pelita II penyelenggaraan transmigrasi mulai diarahkan pada upaya pembangunan daerah, namun paradigma yang mendasarinya masih berciri demografis sentrik, dengan tetap berorientasi pada pemindahan dan penyebaran penduduk secara besar-besaran ke luar Jawa.

Perubahan paradigma yang terjadi secara signifikan adalah pada masa Pelita III, yaitu perubahan dari paradigma sosial-demografis ke paradigma ekonomis. Peralihan posisi transmigrasi dalam pembangunan nasional, dari bidang kesejahteraan sosial ke bidang ekonomi dan keuangan, menunjukkan bahwa transmigrasi bukanlah sebuah program pembangunan yang semata-mata didasarkan atas pendangan philantopis dan charity, tetapi lebih merupakan program ekonomi. Program-program transmigrasi harus terkait langsung dengan sektor ekonomi, yang berarti bahwa biaya-biaya untuk transmigrasi harus diperhitungkan sebagai bagian dari investasi pemerintah. Implikasi yang sangat serius dari paradigma transmigrasi yang berciri demografis-sentris adalah rendahnya kualitas hasil pelaksanaan. Oleh karena itulah maka pada masa Pelita IV dan V, penyelenggaraan transmigrasi lebih diarahkan kepada peningkatan mutu (kualitas) penyelenggaraan dan sekaligus mutu kehidupan transmigran, mencakup kualitas pemukiman dengan mengembangkan pola-pola usaha lain selain pola pangan. Pada periode ini, realisasi target penempatan tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya tolok-ukur kinerja kebijaksanaan.

Sejak masa Pelita VI, telah terjadi beberapa kali perubahan kabinet, yang secara langsung berpengaruh terhadap orientasi dan paradigma transmigrasi. Sejak masa Kabinet Reformasi, terjadilah perubahan mendasar pada tataran politis (political will) yang kemudian berdampak pada semakin menurunnya relevansi transmigrasi dalam pembangunan nasional. Ketika itu transmigrasi diletakkan sebagai komponen pembangunan wilayah dalam pembangunan daerah. Kemudian dalam periode Kabinet Persatuan Nasional, transmigrasi telah melebur kedalam konsep pembangunan multi-sektoral dan desentralisasi.[6] Perubahan perpolitikan nasional dan bergulirnya reformasi, telah menjadi prakondisi bagi terjadinya pergeseran posisi transmigrasi, dari program sektoral transmigrasi menjadi sektor pembangunan daerah dan transmigrasi. Sebagai konsekuensinya, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan untuk mendukung pembangunan daerah, mendorong persebaran penduduk dan tenaga kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan baru pada umumnya, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Hasil pencermatan terhadap dinamika perubahan pada masa lalu, dapat diperoleh suatu pemahaman, bahwa pembangunan transmigrasi harus didasarkan atas paradigma baru yang lebih relevan dengan tuntutan perubahan dan perkembangan masyarakat. Paradigma baru yang diperlukan di masa mendatang mencakup berbagai hal dalam spektrum sebagai berikut:

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih mengutamakan pertimbangan demografis-sentris, ternyata berimplikasi pada rendahnya solusi pemenuhan kepentingan masyarakat (pendatang dan lokal). Karena itu transmigrasi kedepan haruslah didasarkan atas paradigma pemenuhan kebutuhan masyarakat.

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih menekankan upaya pemindahan penduduk, dalam implementasinya telah terjebak pada pencapaian target kuantitatif pemindahan penduduk setiap tahun. Karena itu transmigrasi kedepan haruslah didasarkan atas kebutuhan pengarahan dan persebaran penduduk secara permanen ke daerah yang membutuhkan dan sesuai dengan peruntukkannya.

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih menekankan pemecahan masalah ketimpangan pembangunan antar-daerah, dalam implementasinya terjebak pada pemerataan proyek transmigrasi di seluruh wilayah. Karena itu, transmigrasi ke depan haruslah didasarkan atas kebutuhan pembangunan daerah.

• Pengalaman pembangunan transmigrasi yang lebih menekankan penyediaan fasilitas permukiman, akhirnya terjebak pada rendahnya perkembangan ekonomi karena kurang adanya jaminan prospek dan kepastian usaha. Karena itu, transmigrasi kedepan harus didasarkan atas kebutuhan untuk menyediakan peluang berusaha atau kesempatan kerja dengan prospek dan jaminan kepastian usaha.



SKENARIO MASA DEPAN



Skenario Optimistik

Transmigrasi masih diperlukan sebagai suatu pendekatan pembangunan dengan keberhasilan yang optimal, jika berbagai faktor eksternal turut mendukungnya, antara lain mencakup kondisi keamanan regional, dukungan masyarakat lokal (setempat), kemauan politik pemerintahan daerah, dukungan administrasi dan pendanaan (pembiayaan) anggaran daerah, serta tuntutan pembangunan daerah.

Pada kurun waktu 2004-2009, diperkirakan eforia politik kedaerahan telah semakin mereda.[7] Sejalan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang semakin membaik, proses pelembagaan politik nasional akan mengalami kemapanan, dan oleh karenanya diperkirakan bahwa pada tahun 2004-2009 kondisi politik dan keamanan cukup ideal, baik pada tingkat nasional, regional maupun lokal. Tuntutan regionalisme (provinsialisme) akan semakin reda sebagai akibat langsung dari semakin kecilnya disparitas pembangunan antar daerah. Demikian juga, pertikaian etnik dan kultural semakin menyurut sebagai refleksi dari peningkatan kedewasaan politik dan semangat pluralisme, baik pada tingkat elite politik lokal maupun masyarakat (grassroots). Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga semakin tinggi akibat diterapkannya prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), dengan indikasi transparansi dan bersih dari segala bentuk KKN. Di atas keadaan sosial-politik dan ekonomi (nasional dan regional) semacam inilah maka seluruh sektor pembangunan, termasuk pembangunan transmigrasi, akan dapat meningkatkan kinerjanya. Sumber-sumber pembiayaan pembangunan juga diharapkan tidak mengalami kendala serius apabila seluruh indikator ekonomi makro dalam asumsi optimistik ini dapat tercapai.

Dengan semakin mantapnya stabilitas politik baik pada tingkat nasional, regional, maupun lokal, kondisi perekonomian nasional akan segera pulih disertai proses demokratisasi ekonomi yang menjamin bangkitnya pengusaha kecil-menengah untuk maju dalam persaingan yang sehat. Pada tingkat regional, situasi ideal yang diharapkan adalah, sektor pertanian berkembang dengan meningkatnya investasi pada usaha agribisnis, sehingga penduduk yang merupakan jumlah terbesar bekerja di sektor ini, dapat secara langsung meningkatkan kesejahteraannya. Dengan semakin mantapnya pelaksanaan otonomi daerah, kondisi politik, dan perekonomian, maka akan memacu terjadinya dinamika pembangunan antar-daerah. Dalam kondisi ini transmigrasi sangat diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah yang tertinggal, serta sebagai strategi nasional untuk perluasan kesempatan kerja di sektor pertanian dan pengentasan kemiskinan (melalui pembekalan akses ketrampilan, manajemen, penguasaan teknologi, akses modal dan pasar. Transmigrasi akan berjalan dengan kendala yang minimal apabila pendekatan multikultural, perubahan wawasan terhadap nilai dan norma dalam masyarakat (masyarakat pemukim maupun masyarakat sekitarnya) diakui dalam strategi pembangunan nasional sehingga tercipta alkuturasi dan tidak terjadi konflik sosial. Selanjutnya pembangunan permukiman transmigrasi dapat dilaksanakan dengan baik apabila prinsip clear and clean (baik secara sosial, kultural maupun legal dan tidak terjadi okupasi), mempunyai produktivitas berkesinambungan untuk berusaha, serta ramah lingkungan dipenuhi.


Skenario Pesimistik

Meskipun transmigrasi masih diperlukan, tetapi respon politis dan kebijakan pemerintah daerah masih sangat beragam. Hal ini akan terus terjadi jika proses pelembagaan otonomi daerah dan desentralisasi mengalami kemacetan akibat kurangnya pengetahuan yang cukup di kalangan aparatur daerah. Indikator ekonomi makro pada kurun waktu 2004-2009 diproyeksikan tidak mengalami kemajuan, akibat masih belum dicapai suatu sistem jaminan keamanan dan kepastian hukum yang diperlukan bagi investasi asing. Pemulihan ekonomi makro melalui penarikan investasi asing dan industrialisasi masih mengalami kendala besar, karena masih belum ada jaminan bahwa pemerintahan pada kurun masa tersebut mampu memulihkan kepercayaan inernasional.

Kondisi keamanan regional diperkirakan masih belum sepenuhnya dapat dikendalikan, karena potensi konflik masih akan tetap tumbuh sejauh upaya-upaya pembangunan dan pemecahan masalah ketimpangan belum dapat diselesaikan pada saat ini. Gejolak politik pada tingkat regional, termasuk sparatisme, masih akan menjadi batu sandungan proses pembangunan nasional. Pemerintah daerah masih akan disibukkan oleh semakin heterogennya tuntutan dan artikulasi kelompok-kelompok dengan kepentingan yang tidak puas akan kondisi pembangunan saat ini. Dalam suasana yang masih belum kondusif seperti itu, maka penyelenggaraan transmigrasi pada kurun 2004-2009 akan mengalami kendala besar, menyangkut kondisi instabilitas regional. Kendala lain adalah pada terbatasnya sumber pembiayaan negara (APBN).



Skenario Moderat

Penyelenggaraan transmigrasi pada kurun 2004-2009 diperkirakan tidak akan mengalami perubahan mendasar dari situasi dan kondisi saat ini. Situasi dan kondisi status-quo diperkirakan masih bertahan hingga akhir 2009. Dengan demikian maka kebijakan dan strategi penyelenggaraan transmigrasi dalam kurun tersebut hanya akan melanjutkan apa yang telah digariskan pada saat ini. Dalam suasana yang masih belum sepenuhnya kondusif, maka lebih realistik jika pada kurun tersebut dilakukan diseminasi wawasan ketransmigrasian secara lebih intensif kepada publik, di samping dilakukan upaya pembenahan pada tataran konsep, kebijakan dan implementasi.



KEBIJAKAN DAN STRATEGI KE DEPAN


Kebijakan

Pada kurun waktu 2004-2009, penyelenggaraan transmigrasi diarahkan sebagai pendekatan untuk mendukung pembangunan daerah, melalui pembangunan pusat-pusat produksi, perluasan kesempatan kerja, serta penyediaan kebutuhan tenaga kerja terampil baik dengan peranan pemerintah maupun secara swadana melalui kebijakan langsung (direct policy) maupun tidak langsung (indirect policy). Sedangkan Kebijakan transmigrasi diarahkan pada tiga hal pokok yaitu :

§ Ikut serta dalam penanggulangan kemiskinan yang disebabkan oleh ketidakberdayaan penduduk untuk memperoleh tempat tinggal yang layak.

§ Memberi peluang berusaha dan kesempatan kerja kepada masyarakat.

§ Memfasilitasi pemerintah daerah dan masyarakat untuk melaksanakan perpindahan penduduk dan mendukung pemberdayaan potensi sumberdaya wilayah, kawasan dan lokasi yang pemanfaatannya kurang optimal agar berkembang lebih produktif.

Sementara itu, untuk wilayah KTI Pembangunan transmigrasi diarahkan:

§ Mendukung pembangunan wilayah yang masih tertinggal,

§ Mendukung pembangunan wilayah perbatasan,

§ Mengembangkan permukiman transmigrasi yang telah ada, pembangunan permukiman baru secara selektif, maupun pengembangan desa-desa/permukiman transmigrasi potensial.



Strategi

Pada kurun waktu 2004-2009, strategi pembangunan transmigrasi dirumuskan sebagai berikut:

Mempercepat Perkembangan Permukiman Transmigrasi Tertinggal
Upaya ini dilakukan melalui:

§ Pengembangan kewilayahan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan penyejahteraan masyarakat pemukim (transmigran) dan penduduk setempat (lokal).

§ Penanganan pada UPT tertinggal dengan melakukan rehabilitasi ringan, sedang maupun berat, agar dapat berkembang secara layak menjadi bagian dari pembangunan daerah.

§ Pemanfaatan lahan-lahan transmigran yang belum tergarap dan kebun-kebun plasma (perkebunan) yang belum diusahakan.



Meningkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Transmigran dan Permukiman Transmigrasi
Upaya ini dilakukan melalui:

§ Pengembangan dan pemanfaatan teknologi unggulan spesifik lokasi , seleksi lokasi yang mantap, pembinaan kemandirian, pelatihan dan penyuluhan, konservasi lahan, serta pemasaran untuk meningkatkan produksi dan produktivitas transmigran.

§ Peningkatan sumberdaya manusia transmigran sebagai pelaku utama pembangunan daerah sehingga memiliki daya saing tinggi baik dalam skala lokal, regional, maupun nasional.



Memacu Pertumbuhan Permukiman Transmigrasi dan Desa-desa Potensial Setempat
Upaya ini dilakukan melalui:

§ Pengembangan desa-desa potensial setempat dengan penambahan penduduk dan penyediaan infrastruktur lingkungan dan permkiman. Upaya ini penting mengingat masih banyak desa-desa potensial yang tidak dapat berkembang karena jumlah penduduknya sangat sedikit. Penempatan transmigran di desa-desa seperti ini sangat dibutuhkan untuk menyediakan Sumber Daya Manusia dan tenaga kerja dalam mempercepat pertumbuhan desa-desa potensial itu.

§ Pemberian perlakukan (input) kembali permukiman-permukiman transmigrasi potensial sebagai pusat produksi agar cepat berkembang dan dapat menarik kemajuan desa-desa sekitarnya. Kegiatannya mulai dari produksi, pengembangan keterkaitan pasar, pembangunan sarana dan prasarana pendukung, penyediaan tenaga kerja terampil dan input produksi, alih teknologi dan manajemen produksi, pengembangan jaringan informasi perlu dilakukan secara lebih terarah.

§ Mendorong terjadinya transmigrasi swakarsa mandiri terutama ke permukiman yang telah berkembang untuk berusaha secara mandiri. Pemerintah dapat memfasilitasi mereka dengan mendorong masuknya investor, menciptakan/menyediakan kebijakan (regulasi, insentif), memberikan informasi lokasi, kesempatan kerja, dan pemberian kredit usaha.

§ Membangun permukiman transmigrasi baru secara lebih selektif, terutama di lokasi-lokasi strategis yang tidak memerlukan biaya besar, dan pembangunan fisiknya dapat dilakukan secara padat karya.



Mendukung Pengembangan Kawasan Perbatasan

Kawasan perbatasan diartikan sebagai wilayah kabupaten/kota yang letaknya secara langsung berbatasan dengan negara tetangga. Pembangunan kawasan transmigrasi pada wilayah ini dimaksudkan untuk mendukung upaya pemerataan pembangunan. Kawasan perbatasan umumnya merupakan kawasan tertinggal dan mempunyai keterbatasan di bidang sarana dan prasarana dasar, SDM, dan keterbatasan terhadap akses ekonomi. Pembangunan transmigrasi pada wilayah ini dilakukan secara selektif melalui:

§ Pengkajian secara mendalam karakteristik wilayah perbatasan dan faktor-faktor pendorong pertumbuhan.

§ Penekanan pembangunan pada aspek pemerataan, pertumbuhan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

§ Penekanan pada pengembangan ekonomi, yang berakses pada potensi SDA lokal dengan peningkatan dukungan sektor pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan serta sarana dan prasarana transportasi.

§ Pengikut-sertaan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program-program pemberdayaan ekonomi.



Mendukung Pengembangan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Optimalisasi pengelolaan pesisir sebagai kawasan budidaya sekaligus pengembangan usaha perikanan;

§ Pemanfaatan kawasan darat pada pulau-pulau kecil yang potensial baik sebagai kawasan budidaya maupun usaha penangkapan ikan lepas pantai;

§ Mengembangkan dan mengimplementasikan konsep transmigrasi agro-marine secara komprehensif sehingga menjamin keberhasilan pembangunan transmigrasi pola nelayan dan perikanan.

§ Mendukung daerah-daerah yang memiliki kawasan kepulauan (pulau-pulau kecil) dan kawasan pesisir yang potensial untuk pembangunan kawasan transmigrasi.



Mendorong Keharmonisan Hubungan Antara Masyarakat Transmigran dan Penduduk Desa-desa Sekitar

Pembangunan permukiman transmigrasi harus mampu mempercepat keharmonisan hubungan antar budaya. Karena itu potensi konflik dan disintegrasi harus dihindari. Upaya untuk meminimalisasi potensi konflik dan disintegrasi dilakukan melalui:

§ Pemberian prioritas pada perlakukan desa-desa di sekitar pemukiman transmigrasi sama pentingnya dengan pembangunan pemukiman transmigrasi. Oleh karenanya diperlukan kerjasama dengan sektor-sektor lain untuk lebih intensif membangun desa-desa tersebut guna mengurangi kesenjangan yang mungkin terjadi.

§ Penggalakkan sosialisasi pembangunan transmigrasi pada masyarakat setempat, agar tercipta pemahaman yang proporsional di kalangan masyarakat setempat terhadap eksistensi pembangunan transmigrasi.

§ Pencegahan munculnya kecemburuan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat lokal, melalui proses pembangunan kawasan yang berpihak pada kebutuhan pembangunan daerah, serta pengkondisian baik pada masyarakat pendatang maupun masyarakat lokal untuk membentuk satu masyarakat pedesaan yang harmonis.



Mendorong Kerjasama Antar-Daerah untuk Penyerasian Pembangunan Transmigrasi
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Fasilitasi hubungan kerjasama antar daerah dalam penyelenggaraan transmigrasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing daerah.

§ Kerjasama yang harmonis antar-daerah, antara daerah dengan sumberdaya yang melimpah tetapi kurang tenaga kerja dengan daerah yang berlebihan tenaga kerja, akan mempercepat proses perpindahan secara alami dan penuh dengan rasa aman.

§ Meningkatkan kerjasama antar-daerah untuk lebih mengefektifkan fungsi kawasan transmigrasi sebagai kawasan penyangga pusat pertumbuhan, antara lain dengan membangun akses yang menghubungkan kota–desa/permukiman transmigrasi. Dengan berfungsinya permukiman transmigrasi sebagai kawasan penyangga, berarti pula telah memberikan kontribusi pada upaya pembangunan dan pemberdayaan pedesaan dan mencegah arus urbanisasi.



Meningkatkan Peranan Masyarakat dan Swasta
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Promosi pengembangan kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan transmigrasi. Berbagai pihak dapat ikut berperan dalam pelaksanaan transmigrasi, antara lain masyarakat perseorangan maupun kelompok seperti para pakar dan ilmuwan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat, serta para pelaku ekonomi atau investor seperti Koperasi, BUMN, BUMD, Swasta, dan kelompok usaha.

§ Penggalakkan peran serta masyarakat dan pelaku ekonomi dalam bentuk sumbangan pemikiran atau informasi, temuan-temuan teknologi terapan, jasa pelayanan, pengadaan barang atau modal, bantuan tenaga sosial untuk penyuluhan, perpindahan, pendidikan dan pelatihan serta pembinaan masyarakat.

§ Pemberian peran serta masyarakat dan pelaku ekonomi secara sukarela atau atas dasar hubungan hukum tertentu dalam suatu kesepakatan antara perseorangan, kelompok masyarakat, Badan Usaha di satu pihak dengan Pemerintah (Menteri, Pemerintah Daerah) dan transmigran di pihak lain.

§ Pengoptimalan dukungan pemerintah daerah, lintas sektor serta partisipasi swasta dan masyarakat (lokal, nasional, maupun internasional) maka kawasan permukiman transmigrasi akan meningkat daya tariknya dan selanjutnya berkembang menjadi kawasan andalan daerah.

§ Memacu peluang investasi di daerah transmigrasi melalui berbagai skim kredit, penyediaan informasi tentang investasi/peluang usaha dan kesempatan kerja, serta fasilitasi investasi di permukiman transmigrasi.

§ Penyelenggaraan transmigrasi yang dikaitkan dengan peranserta investor ditujukan untuk sebanyak-banyak dapat menarik perpindahan penduduk secara mandiri yang pengembangan usahanya tidak selalu berorientasi pada lahan (land based).

§ Pengembangan kemitraan usaha melalui pembangunan transmigrasi, perlu ditekankan pada konsep pengembangan wilayah sebagai suatu pendekatan pembangunan daerah. Dengan demikian selain upaya pemerataan pembangunan dapat tercapai, dana investasi yang dibutuhkan dapat diperoleh melalui cara yang efisien dan efektif.



Memacu Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

Agar pembangunan transmigrasi dimasa datang tidak menambah ketimpangan pembangunan antara KBI dan KTI maka perlu dilakukan penetapan kebijakan dari pembangunan transmigrasi antara lain:

§ Jenis Transmigrasi. KBI relatif lebih berkembang dibanding dengan KTI karena infrastruktur pembangunan lebih maju sehingga KBI mempunyai daya tarik lebih besar dibanding KTI. Karena ketersediaan dana pemerintah untuk transmigrasi relatif lebih terbatas, maka komposisi perpindahan dan penempatan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di KBI diusahakan lebih besar dibanding Transmigrasi Swakarsa Berbantuan (TSB). Selanjutnya, TSB lebih besar dibanding dengan Transmigrasi Umum (TU). Untuk KTI dimana infrastrukturnya relatif belum maju dan mempunyai daya tarik rendah, sehingga subsidi untuk perpindahan dan penempatan di KTI harus lebih besar, dengan komposisi TU lebih besar dibanding TSB dan TSM.

§ Asal Transmigran. Kepadatan penduduk di KBI relatif lebih padat dan persebarannya cukup merata, maka perpindahan dan penempatan penduduk diprioritaskan antar desa antar kecamatan, antar kecamatan dalam kabupaten, antar kabupaten dalam propinsi dan antar propinsi dalam pulau. Untuk KTI kepadatan penduduknya relatif masih jarang dan persebarannya tidak merata, maka perpindahan dan penempatan penduduk diprioritaskan antar pulau di wilayah NKRI, antar propinsi, antar kabupaten, antar kecamatan dan antar desa.

§ Perluasan Areal Pertanian Baru. Lahan yang tersedia untuk perluasan areal pertanian baru di KBI sudah terbatas, dan sumberdaya kelautan juga sudah dieksploitasi secara intensif, maka prioritas pengembangannya adalah untuk tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan peternakan. Di KTI lahan yang tersedia relatif luas dan sumberdaya kelautan belum dieksploitasi secara intensif, maka prioritas pengembangannya yaitu perikanan kelautan dan perkebunan lebih besar dibanding dengan peternakan dan tanaman pangan.

§ Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Untuk Pertanian. Ketersediaan lahan dalam satu hamparan di KBI relatif terbatas, maka optimalisasi pemanfaatan lahannya diprioritaskan untuk program intensifikasi lebih besar daripada ekstensifikasi. Untuk KTI ketersediaan lahan dalam satu hamparan relatif masih tersedia, maka optimalisasi pemanfaatan lahannya diprioritaskan untuk ekstensifikasi lebih besar daripada intensifikasi.

§ Perwilayahan Ekologis. Perwilayahan ekologis baik untuk pengembangan lahan kering maupun lahan basah di KBI relatif terbatas, maka pengembangannya diprioritaskan untuk Kelompok Kecil Lahan Kering (KKLK), maupun Kelompok Kecil Lahan Basah (KKLB) lebih besar daripada Kelompok Besar Lahan Kering (KBLK) dan Kelompok Besar Lahan Basah (KBLB). Untuk KTI perwilayahan ekologis untuk pengembangan lahan kering maupun lahan basah relatif masih cukup besar, maka prioritas pengembangan KBLK dan KBLB lebih besar dibanding dengan KKLK dan KKLB.

§ Fasilitas Investasi. Di KBI infrastruktur pembangunan relatif sudah berkembang, maka akses faktor penunjang investasi lebih baik, sehingga dalam memfasilitasi penanaman investasi sebaiknya menggunakan dengan bunga komersial. Di KTI infrastruktur pembangunan relatif belum berkembang, maka akses kepada faktor-faktor penunjang investasi harus diberi subsidi dan tax holiday, sebagai insentif kepada para calon investor agar lebih tertarik untuk menanamkan investasinya ke KTI.

§ Izin Hak Guna Usaha (HGU). Untuk menarik minat investor menanamkan modalnya dalam pengembangan agribisnis perkebunan yang dikaitkan dengan penyelenggaraan transmigrasi, perlu dilakukan peningkatan periode waktu terhadap HGU yang diberikan. Untuk KBI, HGU perlu ditingkatkan lebih dari 30 tahun hingga mencapai periode penanaman kedua. Untuk mendukung percepatan pembangunan KTI, maka HGU yang diberikan lebih lama daripada di KBI.

§ Membangun Pusat Pertumbuhan. Di KBI relatif sudah berkembang dan banyak terbentuk pusat-pusat pertumbuhan, maka program pembangunan di KBI berfungsi untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan yang telah ada.Sedangkan di KTI program transmigrasi berfungsi untuk mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru.


Memacu Keberhasilan Implementasi Otonomi Daerah
Upaya ini dilakukan melalui :

§ Pemberian dampingan dan layanan atas peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan transmigrasi. Terjadinya proses perpindahan penduduk karena adanya daya tarik daerah lain sangat tergantung dari keberhasilan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah, dengan kewenangannya secara otonom mengatur sumberdaya yang ada di daerah untuk pembangunan daerah.

§ Pemberian bimbingan, arahan, pelatihan dan supervisi untuk penyerasian pembangunan transmigrasi pada masing-masing daerah sangat diperlukan sehingga menciptakan dinamika pembangunan yang kondusif bagi terselenggaranya transmigrasi.



PENUTUP


Perubahan lingkungan strategis yang terjadi di Indonesia menjelang akhir abad 20 ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk menegasikan esensi konsep transmigrasi yang potensial besar untuk membawa kesejahteraan bagi penduduk. Harus diakui bahwa selama ini ada kesalahan dalam pelaksanaan transmigrasi yang bersumber pada penetapan target, penempatan yang tidak realistis dan mengakibatkan serangkaian kegagalan. Implikasi yang ditimbulkan dari program transmigrasi bukan hanya bersifat demografis (penambahan penduduk di suatu daerah) tetapi jauh lebih luas. Dengan demikian transmigrasi sebenarnya telah menjadi pendekatan pembangunan dengan spektrum implikasi yang sangat luas, dari penyediaan lapangan (kesempatan) kerja bagi penduduk miskin, pelaksanaan landreform (redistribusi lahan), ekstensifikasi pertanian, hingga penambahan infrastruktur yang cukup berarti dalam konteks pembangunan daerah.

Dengan berlakunya UU no 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka tatacara penyelenggaraan transmigrasi dan pendekatan yang dilakukan harus disesuaikan terhadap tuntutan perkembangan keadaan saat ini. Pelaksanaannya harus memegang prinsip demokrasi, mendorong peran serta masyarakat, mengupayakan keseimbangan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan karakteristik daerah. Peran pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan transmigrasi tercermin pada kewenangan masing-masing dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Dalam penyelenggaraan transmigrasi tidak hanya pemerintah saja yang berkepentingan. Berbagai pihak lain penting untuk ikut berperan dalam pelaksanaan transmigrasi, antara lain masyarakat perseorangan maupun kelompok seperti para pakar dan ilmuwan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Masyarakat, serta para pelaku ekonomi atau investor seperti Koperasi, BUMN, BUMD, Swasta, dan kelompok usaha.

Pembangunan transmigrasi tahun 2004-2009 akan berjalan dengan baik apabila asumsi-asumsi sebagai berikut terpenuhi, yaitu : otonomi daerah berjalan dengan baik, kestabilan politik semakin mantap, perkembangan perekonomian cenderung membaik, serta kondisi sosial, budaya, dan lingkungan semakin positif



ACUAN PUSTAKA


Biro Perencanaan, 1998. Rumusan Seminar Reformasi Pembangunan Transmigrasi Departemen Transmigrasi dan PPH. Jakarta

Departemen Transmigrasi dan PPH, 1998. UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I, 2003. Reposisi Pengelolaan Transmigrasi Sebuah Policy Paper, Jakarta.

Ditjen Mobilitas Penduduk, 2002. Kebijakan Mobilitas Penduduk. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Ditjen Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi, 2001. Rumusan Seminar Perencanaan dan Pembangunan Kawasan Transmigrasi Dalam Paradigma Baru. Jakarta,

Ditjen PSKT, 2002. Kebijakan Pemberdayaan Sumberdaya Kawasan Transmigrasi. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Dit. Evaluasi Pembiayaan dan Informasi Keuangan Daerah, 2002. Keterpaduan Pembiayaan Antara Sektoral, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Djoko Puguh dkk, 2002. Kriteria Keberhasilan Kawasan Transmigrasi. Pusat Litbang Ketransmigrasian. Jakarta

Kantor Meneg Transmigrasi dan Kependudukan, 2000. Pokok-Pokok Pikiran Hasil Rakornas Pembangunan Transmigrasi dan Kependudukan. Tema Paradigma Baru dan Kebijakan Transmigrasi dan Kependudukan Dalam Rangka Memacu Pembangunan Daerah. Jakarta.

Keputusan Presiden R.I No. 177 Tahun 2000, tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Kep. Men. Tenaga Kerja dan Transmigrasi R.I No: Kep-23/Men/2001, tentang Organisasi dan Tata kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Kep. Mendagri No. 130 – 67 Tahun 2002, tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota. Jakarta

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2001, Rencana Strategik Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2001-2004. Sekretariat Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Puslitbang Ketransmigrasian, 2002. Naskah Akademik Arah Kebijakan Ketransmigrasian Tahun 2004-2009 (belum diterbitkan). Jakarta

Puslitbang Transmigrasi, 1999. Rumusan Seminar Nasional Visi Dan Misi Pembangunan Transmigrasi Dalam Mengantisipasi Pergeseran Tuntutan Pembangunan. Jakarta

Puslitbang Ketransmigrasian, 2001. Rumusan Fortasi Pengembangan Kebijakan Ketransmigrasian Dan Mobilitas Penduduk Mendukung Pembangunan Daerah. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jakarta

Puslitbang Ketransmigrasian, 2001. Rumusan Workshop Pengembangan Kebijakan Ketransmigrasian Menuju Masa Depan. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta

PP No. 2 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.

PP No. 25 Tahun 2000, tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenagan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom.

Retno Anggraini,dkk, 2002. Studi Pengembangan Kebijakan Transmigrasi Ke Depan, Puslitbang Ketransmigrasian. Jakarta

UU RI. Nomor 25 Tahun 2000, Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Penerbit CV. Tamita Utama. Jakarta


[1] Konstitusi yang utama dan terutama adalah UU No.15/1997, PP No.2 1999, dan PP No. 27. 1994, serta GBHN 1998.

[2] Transmigrasi adalah perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (UU. No. 15 Th 1999)

[3] Penyelenggaraan transmigrasi adalah kegiatan penataan dan persebaran penduduk melalui perpindahan ke dan di Wilayah Pengembangan Transmigrasi dan Lokasi Permukiman Transmigrasi untuk meningkatkan kesejahteraan dengan kegiatan penyiapan permukiman, pengarahan dan penempatan serta pembinaan masyarakat transmigran dan pembinaan lingkungan permukiman transmigrasi (Bab Ketentuan Umum, PP No. 2 Th 1999).

[4] Penyelenggaraan transmigrasi oleh Pemerintah Daerah seyogyanya didasarkan atas kebutuhan pembangunan daerah, terutama kebutuhan akan sumber daya manusia (tenaga kerja produktif) guna pengembangan kawasan.

[5] Di samping harus mempertimbangkan persyaratan kelayakan sebagai tempat hunian dan tempat usaha, menyangkut ketersediaan sumber air bersih, kemiringan, dan kesuburan lahan yang baik.

[6] Hal ini dicirikan dengan tidak dicantumkannya transmigrasi secara eksplisit sebagai program dalam GBHN tahun 2000-2004. Berbeda dengan GBHN pada era sebelumnya yang mencantumkan transmigrasi di dalamnya, pada GBHN Tahun 2000-2004 transmigrasi dinyatakan secara implisit dalam berbagai arahan kebijakan pembangunan.

[7] Apalagi jika revisi atas UU No. 22/1999 dapat segera dilakukan, sehingga lebih mempertegas desentralisasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat melaksanakan kewenangannya dengan baik. Pengaturan dan pelaksanaan peran dan kewenangan masing-masing tingkat pemerintahan diperkirakan semakin mantap. Kejelasan aturan pelaksanaan otonomi daerah sekaligus akan mempertegas otoritas pemerintah Pusat, Propinsi, serta Kabupaten/Kota. Selain upaya revisi atas UU 22/1999, juga dilakukan penataan ulang struktur organisasi pemerintahan daerah, termasuk pembenahan kualifikasi aparatur daerah. Prakarsa perbaikan menyeluruh atas aturan pelaksanaan otonomi daerah diperkirakan akan menghasilkan pemerintahan yang kuat, efektif, dan kredibel baik di Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pemerintahan Desa: Antara Pra-Reformasi dengan Pasca-Reformasi

Oleh A.P. Edi Atmaja



BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintahan lokal/daerah yang kita kenal sekarang berasal dari perkembangan praktik pemerintahan di Eropa pada abad ke-11 dan 12. Pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah di tingkat dasar yang secara alamiah membentuk suatu lembaga pemerintahan. Pada awalnya, satuan-satuan pemerintahan tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), county (kabupaten), commune/gementee (desa).

Mungkin fenomena tersebut mirip dengan satuan komunitas asli penduduk Indonesia yang disebut dengan desa (Jawa), nagari (Sumatra Barat), huta (Sumatra Utara), marga (Sumatra Selatan), gampong (Aceh), kampung (Kalimantan Timur), dan lain-lain. Satuan komunitas tersebut merupakan entitas kolektif yang didasarkan pada hubungan saling mengenal dan saling membantu dalam ikatan genealogis maupun teritorial. Satuan komunitas ini membentuk kesatuan masyarakat hukum yang pada asalnya bersifat komunal.

Pada mulanya, satuan-satuan komunitas tersebut terbentuk atas kebutuhan anggotanya sendiri. Untuk mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya, mereka membuat lembaga yang diperlukan, yang mencakup politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan.

Dalam perkembangan berikutnya, satuan-satuan komunitas tersebut dimasukkan ke dalam sistem administrasi negara dari suatu negara yang berdaulat. Untuk kepentingan administratif, satuan-satuan komunitas tersebut lalu ditentukan kategori-kategorinya, batas-batas geografisnya, kewenangannya, dan bentuk kelembagaannya. Melalui keputusan politik, satuan komunitas tersebut lalu dibentuk menjadi unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat lokal. Sesuai dengan kepentingan politik negara yang bersangkutan, organisasi pemerintahan lokal dipilah menjadi dua: satuan organisasi perantara dan satuan organisasi dasar. Misal di Prancis, satuan organisasi perantara adalah department dan satuan dasarnya adalah commune. Di Indonesia, satuan organisasi dasarnya adalah kota, kabupaten, dan desa.[1]

Desa—dan pemerintahan desa—sebagai bagian struktural terkecil dari sistem otonomi daerah memiliki sifat yang khas dan tersendiri. Desa merupakan indikasi terdapatnya sistem pemerintahan yang demokratis, berhaluan kemusyawaratan dan kegotongroyongan, yang menjadi ciri khas bangsa kita sejak dulu kala. Jauh sebelum adanya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, yang mencirikan era reformasi, pemerintahan desa sudah menerapkan pemilihan secara langsung ini.

1.2. Permasalahan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja merupakan regulasi yang pertama kali mengatur pemerintahan desa. Undang-undang ini, pada era Orde-Baru, lantas diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kemudian, dengan lengsernya pemerintahan Orde-Baru Soeharto dan terbukanya keran demokrasi, reformasi, dan transparansi pada 1998, regulasi tentang pemerintahan daerah—termasuk pemerintahan desa di dalamnya—diperbarui lagi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dirasa tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 lantas disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Setiap undang-undang pemerintahan daerah yang baru pada dasarnya merupakan koreksi dan penyempurnaan dari undang-undang dan peraturan yang lama, yang dianggap tidak sesuai lagi dengan amanah konstitusi dan perkembangan zaman. Begitu seterusnya, undang-undang pemerintahan daerah baru selalu membuat ketentuan-ketentuan baru guna memenuhi tuntutan aktual masyarakat lokal sebagi stakeholder dan kehendak pemerintah pusat sebagai shareholder.[2]

Tentu saja Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 itu lantas disempurnakan atau diterangkan lebih lanjut melalui pelbagai undang-undang dan peraturan pemerintah. Terkait dengan pengaturan terhadap pemerintahan desa, yang paling mutakhir ialah dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Peraturan perundang-undangan (regulasi) yang bermacam-macam tadi tak pelak mencerminkan era macam apa saat itu. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja yang terbit pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (Orde-Lama) mencerminkan nuansa otoritarian—jika kita menyempatkan diri mengkajinya, seperti yang hendak penulis lakukan. Begitu pun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang diundangkan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde-Baru). Karena, menurut Moh. Mahfud MD, Indonesia terbagi dalam tiga periode. Pertama, periode 1945-1959 dengan konfigurasi politik yang demokratis. Kedua, periode 1959-1966 dengan konfigurasi politik yang otoriter. Ketiga, periode 1966-1998 dengan konfigurasi politik yang otoriter yang didahului oleh masa pendek yang agak demokratis.[3]

Menjadi pertanyaan bagi kita semua, dengan demikian apa saja sebenarnya hal-hal yang menjadi pembeda antara substansi pada regulasi terhadap pemerintahan desa selama era pra-reformasi (sebelum tahun 1998) dengan regulasi terhadap pemerintahan desa selama era pasca-reformasi (setelah tahun 1998). Kesemuanya niscaya tercakup dalam tema-tema besar berikut.

1. Kedudukan dan tata-cara pemilihan kepala desa dan jajaran-jajaran di bawahnya,
2. Sistem pemisahan kekuasaan (baik legislatif maupun eksekutif) dalam pemerintahan desa, dan
3. Perimbangan keuangan antara Desa dengan struktur pemerintahan di atasnya.

Makalah dengan judul “Pemerintahan Desa: Antara Pra-Reformasi dengan Pasca-Reformasi” ini berupaya menjelaskan itu semua.

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Susunan dan Kedudukan Pemerintahan Desa

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[4]

Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berarti kesatuan masyarakat hukum tersebut mempunyai otonomi. Dengan demikian, desa mempunyai otonomi. Hanya saja, otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki pemerintah provinsi, kota, atau kabupaten. Akan tetapi otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat. Otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat adalah otonomi yang telah dimiliki sejak dulu kala dan telah menjadi adat-istiadat yang melekat dalam masyarakat desa yang bersangkutan.[5]

Otonomi yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota adalah otonomi formal/resmi. Artinya, urusan-urusan yang dimiliki atau menjadi kewenangannya ditentukan undang-undang. Sedangkan otonomi yang dimiliki pemerintah desa adalah otonomi berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat. Artinya, jika desa memang mempunyai urusan-urusan yang secara adat diatur atau diurus, urusan-urusan tersebut diakui oleh undang-undang.

Contoh urusan-urusan yang dimiliki pemerintah kabupaten/kota:

1. Urusan pendidikan dan kebudayaan,
2. Urusan kesehatan,
3. Urusan pertanian,
4. Urusan ketenagakerjaan.

Contoh urusan-urusan yang dimiliki pemerintah desa:

1. Urusan pengelolaan pasar desa,
2. Urusan lumbung desa,
3. Urusan pengelolaan makam keramat,
4. Urusan penyelenggaraan upacara adat.[6]

Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memerhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa harus memenuhi syarat:

1. jumlah penduduk,
2. luas wilayah,
3. bagian wilayah kerja,
4. perangkat, dan
5. sarana dan prasarana pemerintahan.

Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atu lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit lima tahun penyelenggaraan pemerintahan desa.[7]

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desa tidak lagi di bawah kecamatan, melainkan di bawah kabupaten/kota. Dengan demikian, kepala desa langsung di bawah pembinaan bupati/walikota. Kecamatan bukan lagi sebagai suatu wilayah yang membawahi desa-desa tetapi hanya merupakan wilayah kerja camat. Camat sendiri bukan kepala wilayah dan penguasa tunggal di wilayahnya, melainkan hanya sebagai perangkat daerah kabupaten. Jadi, camat itu hanyalah staf daerah kabupaten yang mengurusi desa-desa.

Dalam wilayah desa dapat dibentuk Dusun atau sebutan lain yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa—yang disesuaikan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat setempat. Desa dapat diubah atau disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan memerhatikan persyaratan: (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk, (3) sarana dan prasarana pemerintahan, (4) potensi ekonomi, (5) kondisi sosial-budaya masyarakat.[8]

Terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada susunan pemerintahan desa antara susunan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, susunan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, susunan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan susunan pemerintahan desa pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, pemerintah desa terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Dalam melaksanakan fungsinya, pemerintah desa dibantu oleh perangkat desa, yang terdiri dari sekretariat desa dan kepala dusun-dusun.[9]

Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sudah mulai terdapat pembedaan istilah antara “pemerintahan desa” dengan “pemerintah desa”. Menurut undang-undang ini, pemerintahan desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa—tidak disebutkan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai perangkat desa.[10]

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berbicara lain lagi. Pemerintahan desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan perangkat desa, yang terdiri dari Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya.[11]

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, sebagai peraturan yang paling mutakhir, menyatakan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD—tanpa menunjukkan kepanjangan BPD. Di pasal berikut tertulis pengaturan tentang Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa, Terdapat pengaturan yang lebih rinci mengenai Perangkat Desa, yakni terdiri dari Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya yang bisa berupa Sekretariat Desa, Pelaksana Teknis Lapangan, dan Unsur Kewilayahan.[12]

2.2. Kepala Desa

Kepala Desa adalah kepala pemerintahan desa. Kepala Desa mempunyai tugas pokok memimpin dan mengoordinasikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembinaan dan pembangunan masyarakat, serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah atasnya. Kepala Desa memimpin para staf dalam menyelenggarakan pemerintahan desa.[13]

Mengenai syarat-syarat calon Kepala Desa, terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Sedangkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sendiri tidak mencantumkan pasal tentang persyaratan calon Kepala Desa.

Secara umum, syarat-syarat yang terdapat pada kesemuanya, bahwa calon Kepala Desa harus: (1) penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (kecuali Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dengan kalimat “Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah”), (3) berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau sederajat, (4) berumur sekurang-kurangnya 25 tahun (pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, ditambah ketentuan “dan setinggi-tingginya 60 tahun”), (5) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan (pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa: “dengan hukuman paling singkat 5 tahun”; Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah lebih spesifik: “hukuman penjara”), (6) tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, (7) penduduk desa setempat (pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa: “terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal tetap di Desa yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 2 tahun terakhir dengan tidak terputus-putus, kecuali bagi putera Desa yang berada di luar Desa yang bersangkutan”).

Sedangkan ketentuan lain hanya pada peraturan perundang-undangan tertentu, seperti “tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam sesuatu kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, seperti G30S/PKI dan/atau kegiatan-kegiatan organisasi terlarang lainnya” (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “sehat jasmani dan rohani” (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya” (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “berkelakuan baik, jujur, dan adil” (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah); “belum pernah menjabat sebagai Kepala Desa paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan” (Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa).

Mengenai masa jabatan Kepala Desa, terdapat pula pelbagai macam perbedaan di antara peraturan perundang-undangan, yakni “8 (delapan) tahun terhitung sejak tanggal pelantikannya dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya” (sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa), “paling lama 10 (sepuluh) tahun atau 2 (dua) kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan” (sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah), dan “6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya” (sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa).

Perbedaan ketentuan di antara peraturan perundang-undangan tadi jelas mengindikasikan “nuansa” pemerintahan saat itu, seperti yang dipolakan secara bagus oleh Moh. Mahfud MD.[14]

2.3. Badan Permusyawaratan Desa (BPD)

BPD—yang sebelumnya berturut-turut disebut dengan istilah Lembaga Musyawarah Desa, Badan Perwakilan Desa, sampai akhirnya Badan Permusyawaratan Desa[15]—adalah badan pembuat kebijakan dan pengawas pelaksanaan kebijakan desa. Anggota BPD dipilih oleh rakyat secara langsung, bebas, dan rahasia. BPD dipimpin oleh dan dari anggota BPD sendiri. BPD merupakan semacam DPRD kecil yang mewakili rakyat desa.

BPD adalah mitra Kepala Desa. BPD bersama Kepala Desa memikirkan desanya agar maju dan sejahtera. BPD tidak dibenarkan menjadi lawan Kepala Desa. Jika BPD menjadi lawan Kepala Desa, ketenteraman rakyat akan terganggu. Jalannya pemerintahan menjadi tidak stabil. Pembangunan tidak berjalan. Akhirnya rakyat menderita.[16]

Perkembangan sistem kelembagaan yang sampai akhirnya dinamakan sebagai Badan Permusyawaratan Desa ini adalah sebagai berikut:

1. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Lembaga Musyawarah Desa didefinisikan sebagai lembaga permusyawaratan/ permufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan dan Pemuka-pemuka Masyarakat di Desa yang bersangkutan. Ketua Lembaga Musyawarah Desa adalah Kepala Desa. Sehingga, di sini sistem pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif tidak berjalan sebagaimana mestinya, khas Orde-Baru. Menjadi hal menarik pula, Sekretaris Desa menjabat juga sebagai Sekretaris Lembaga Musyawarah Desa.

2. Terjadi reformasi sistem sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, di mana Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota Badan Perwakilan Desa yang dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan. Kendati demikian, masih belum secara rinci diterangkan tentang masa jabatan dan struktur Badan Perwakilan Desa ini.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengganti istilah Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa serta menambahkan masa jabatan anggota lembaga ini adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyempurnakan Badan Permusyawaratan Desa dengan menerangkan bahwa anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh serta pemuka masyarakat lainnya. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang, dengan memerhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa. Pimpinan BPD terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, dan 1 orang sekretaris. Dengan demikian, pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif, sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini, telah berjalan sebagaimana mestinya.

2.4. Perimbangan Keuangan Desa

Pengaturan mengenai Keuangan Desa paling lengkap dapat ditemukan pada Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak mengatur secara rinci dan komprehensif mengenai perimbangan keuangan desa. Maka, untuk subjudul ini, penulis menukil total Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa, pemerintahan daerah, dan pemerintahan pusat yang diselenggarakan pemerintah desa didanai masing-masing oleh anggaran pendapatan dan belanja desa, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan anggaran pendapatan dan belanja negara.[17]

Sumber pendapatan desa terdiri atas:

1. pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong-royong, dan pendapatan asli desa lain yang sah),
2. bagi hasil pajak Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa,
3. bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa,
4. bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan,
5. hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.[18]

Sumber pendapatan daerah yang berada di desa baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Provinsi atau Kabupaten/Kota tidak dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. Pungutan retribusi dan pajak lainnya yang telah dipungut oleh desa tidak dibenarkan dipungut atau diambil alih oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota. Bagian desa dari perolehan bagian pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan pengalokasiannya ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.[19]

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Penulis berupaya menghubungkan antara butir-butir pada Permasalahan dengan Pembahasan yang dikaji, dan akhirnya penulis mendapatkan hasil-hasil sebagai berikut.

1. Desa mempunyai otonomi. Otonomi desa bukan otonomi formal seperti yang dimiliki pemerintah provinsi, kota, atau kabupaten. Akan tetapi otonomi yang berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat.
2. Desa tidak lagi di bawah kecamatan, melainkan di bawah kabupaten/kota.
3. Terdapat perbedaan yang mencolok antara susunan pemerintahan desa—yang mencakup Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa—yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang kesemuanya mencerminkan corak pemerintahan dalam negara.
4. Terdapat perbedaan persyaratan terkait dengan calon Kepala Desa pada masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut di atas, yang mencerminkan corak pemerintahan dalam negara.
5. Terdapat perbedaan fungsional pada sistem kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa pada masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut di atas.
6. Terdapat perbedaan perimbangan keuangan yang kontras antara pemerintahan desa sebelum reformasi dengan setelah reformasi. Bahkan, pada kondisi tertentu, perimbangan keuangan antara peraturan perundang-undangan setelah reformasi yang satu dengan yang lain berbeda cakupannya. Adanya kekurangsempurnaan pada peraturan perundang-undangan sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mengindikasikan hal itu sehingga bisa disimpulkan bahwa penjabaran tentang Keuangan Daerah ketika itu hanya sebagai ihwal yang komplementer (baca: “pemanis”).

3.2. Saran

Melalui pelbagai konjungsi yang kait-mengait antara Permasalahan dengan Pembahasan sebagaimana coba diterangkan pada Kesimpulan, akhirnya penulis berupaya melontarkan saran-saran yang barangkali bisa menjadi renungan pemikiran.

1. Wacana otonomi daerah merupakan wacana yang pelik. Bermula dari gagasan Amien Rais, bapak penggerak reformasi kita, yang mengusulkan federalisme buat susunan negara Republik Indonesia. Bagi beliau, negara sebesar Indonesia akan lebih demokratis bila dikelola secara federal, karena cara itu lebih memberi kebebasan dan keleluasaan kepada negara-negara bagian atau daerah-daerah untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri dengan tetap terikat kepada negara Republik Indonesia. Negara sebesar Indonesia akan cenderung otoriter jika dikelola dalam bentuk negara kesatuan, karena dengan bentuk itu pasti akan terjadi upaya penyeragaman yang bersifat memaksa. Namun, gagasan ini mendapat tantangan keras dari beberapa pihak, sampai Amien Rais menarik wacana itu. Abdurrahman Wahid, sebelum menjadi presiden, menengahi pertentangan dengan mengusulkan agar Indonesia tetap memakai bentuk negara kesatuan tetapi pembagian kekuasaannya bisa meniru negara federal. ‘Negara kesatuan rasa federal’, humor Abdurrahman Wahid ketika itu.[20] Dan akhirnya corak negara yang seperti ini yang berlanjut sampai sekarang.
2. Wacana demikian ternyata semakin berkembang sampai dengan satuan pemerintahan terkecil, yakni Desa, yang lantas mempunyai kadar otonomi tersendiri. Namun, dalam penerapannya, sistem pemerintahan desa memiliki kebopengan di sana-sini, sehingga perlu terus-menerus direvisi regulasi tentangnya. Perevisian ini tentu saja meliputi pemisahan kekuasaan yang konsisten dan konsekuen sesuai dengan cita-hukum yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, diharapkan demokratisasi yang menjadi harapan bersama berjalan sebagaiman mestinya, sehingga pada akhirnya tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sanggup terimplementasi secara nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Moh. Mahfud MD. 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo.

Romli, Lili. 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Wahid, Abdurrahman. 2002. Kumpulan Kolom dan Artikel selama Era Lengser. Yogyakarta: LKiS.
[1] Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Jakarta: Grasindo, 2005), hal. 1

[2] Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA, Kata Pengantar, dalam Lili Romli, “Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. v

[3] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006), hal. 58. Cetak miring oleh penulis.

[4] Butir 5 dan 6 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[5] Hanif Nurcholis, loc. cit., hal. 136

[6] Ibid, hal. 136

[7] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[8] Pasal 3 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[9] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

[10] Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

[11] Pasal 202 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

[12] Pasal 11 dan 12 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[13] Hanif Nurcholis, loc. cit., hal. 139

[14] Lihat Pendahuluan, hal. 3

[15] Lihat hal. 6

[16] Hanif Nurcholis, loc. cit., hal. 141

[17] Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[18] Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[19] Pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.

[20] Antara lain bisa dibaca pada Moh. Mahfud MD, loc. cit., hal. 223