Friday, January 21, 2011

Membangun Kembali Spiritualitas Pedesaan


Opini Lampost : Sabtu, 22 Januari 2011

Syaiful Irba Tanpaka
Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung

Mengenang desa adalah mengenang nilai-nilai kehidupan masyarakat yang sarat dengan hubungan paguyuban. Persaudaraan, gotong-royong, musyawarah, serta rasa saling asah, asih, dan asuh merupakan jiwa yang mengejawantah dalam pergaulan masyarakat sehari-hari. Oleh sebab itu, citarasa kemanusiaan yang tulus tanpa pamrih memancar dengan bersahaja.

Beberapa hal yang pernah kurasakan, misalnya kebiasaan antartetangga berbagi hasil panenan dari kebunnya, seperti cabai, rampai, tomat, serta sayuran lainnya di samping buah-buahan. Bahkan orang-orang yang memiliki kolam pemeliharaan ikan dengan rela membolehkan tetangganya memancing di kolamnya itu untuk mendapatkan ikan secara cuma-cuma. Tak pernah terdengar adanya pencurian. Setiap orang sepertinya mempunyai kesadaran bahwa mereka merupakan keluarga besar.

Belum lagi lingkungan alamnya yang hijau dan asri. Sawah ladang yang menguning, serta pohon-pohon besar sebagai sumber daya alam terpancang kokoh menyiratkan kekayaan. Kebun kopi, cengkih, dan lada yang menjadi tumpuan penghasilan musiman. Semua itu mencerminkan desa sebagai suatu kedamaian dan keindahan.

Tapi sekarang, ke manakah kedamaian dan keindahan itu berlalu?

Ketika-perlahan-lahan-desa mengalami penggersangan secara material dan spiritual. Sumber alamnya dikuras lewat illegal logging. Sumber daya manusianya diracuni modernitas yang melemparnya menjadi manusia urban dengan peradaban kota yang individualistik. Yang tetap tinggal di desa menggandrungi westernisasi. Takut dibilang kampungan; gaya hidup modern menjadi impian. Tanpa memahami kegagalan-kegagalan moral masyarakat modern yang dikatakan Rose Poole sebagai masyarakat yang sakit. Lantaran di satu pihak masyarakat modern membutuhkan moralitas tetapi di lain pihak membuatnya mustahil. Dunia modern memunculkan pemahaman-pemahaman tertentu tentang moralitas, tapi juga menghancurkan dasar-dasar untuk menganggap serius pemahaman tersebut.

Desa menjadi potensi yang dibocorkan. Terjadi kesenjangan antara tingkat pendidikan personal dengan lapangan kerja yang tersedia. Kriminalitas tak terhindari manakala terdapat jurang yang begitu lebar antara kenyataan dan harapan. Bahkan lebih jauh kompetisi yang mengandalkan kemampuan kerja profesional kerap menghancurkan harapan-harapan yang ada. Imbasnya adalah seperti yang diyakini Erich Fromm sebagai “pembekuan hati”. Sehingga merupakan masalah sepele apakah menghancurkan orang lain atau dihancurkan orang lain.

Merapuhnya spirit perdesaan ini berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa-peristiwa hukum dan politik yang belakangan ini terjadi cukup menegaskan hal itu. Sandiwara nasional yang membuat rakyat cuma bisa mengumpat dan “geregetan”. Begitu banyak aktor-aktor “beku hati” yang memainkan perannya dengan sangat cemerlang.

Di lain sisi terjadinya desintegrasi spiritual serta bangkrutnya nilai-nilai nasionalisme. Ikatan-ikatan kesatuan yang dituangkan dalam bentuk kerukunan-kerukunan, atau himpunan-himpunan, atau persatuan-persatuan, atau majelis-majelis dan sebagainya justru mempertegas “keterceraiberaian” itu.

Slogan-slogan menjadi mantra yang meninabobokan. Di mana pada prakteknya kerap berbanding terbalik dengan makna yang terkandung dalam kata-kata slogan itu sendiri. Keadilan merupakan barang mewah yang tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Dalam banyak kasus setiap orang bisa dituntut atau dibebaskan tergantung dari mana logika hukum melihatnya. Peristiwa-peristiwa lain dalam deretan panjang tentu dapat kita inventarisasi sebagai bentuk krisis kemanusiaan yang tengah berlangsung.

Sebab itu, senyampang desa belum terlalu lindap dalam langkah kebangsaan dan kenegaraan, spiritualitasnya perlu kita bangun kembali. Tidak saja buat orang-orang yang secara geografis tinggal di perdesaan, tetapi juga buat orang-orang di wilayah perkotaan. Spiritualitas desa yang mengedepankan hubungan paguyuban ketimbang hubungan patembayan. Persaudaraan yang tulus, rasa saling asah, asih, dan asuh serta rasa senasib sepenanggungan sebagai keluarga besar.

Barangkali menjadi suatu hal yang naïf untuk mengimpikan semua itu bisa terujud kembali. Terlebih di tengah impitan beban kehidupan yang semakin berat dengan naiknya harga-harga sembako, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, minimnya lowongan pekerjaan, dll. Di samping derasnya arus globalisasi yang menyodorkan nilai-nilai modernisme yang cenderung sekuler dan hedonistik dengan gaya hidup yang konsumtif dan kapitalistik.

Namun, tidak ada yang mustahil bila kita benar-benar menginginkannya. Menginginkan perubahan kehidupan yang betul-betul lebih baik dibanding saat ini yang sedang kita jalani. Bukan sebagai slogan semata, melainkan sebagai sikap. Sebab Tuhan tidak akan mengubah kehidupan seseorang atau sekelompok kaum kecuali bila seseorang atau sekelompok kaum itu yang mengubahnya sendiri. Tabik pun.

No comments:

Post a Comment