Sunday, January 9, 2011

Masyarakat Lampung Mengalami Anonim

Fokus Lampost : Minggu, 9 Januari 2011



Konflik horizontal di masyarakat Lampung makin sering terjadi. Gerusan budaya modern yang pragmatis dan tidak ada lagi sistem sosial yang menjadi panutan menjadikan potensi ini tumbuh subur. Jika diibaratkan, konflik sosioal kultural di Lampung seperti bom waktu yang siap meledak setiap saat. "Ini butuh perlakuan khusus yang komprehensif dan berkelanjutan," kata Hartoyo, sosiolog Universitas Lampung (Unila), kepada Lampung Post di kediamannya pada Jumat (7-1).

Konflik sosial yang terjadi di masyarakat beberapa waktu lalu tak bisa dipandang hanya dari persoalan yang tampak di permukaan. Pemangku kebijakan harus mampu melihat persoalan di masyarakat secara keseluruhan.

"Akar persoalannya harus ditemukan dan dipecahkan. Jika tidak, penyelesaian yang terjadi saat ini hanya bersifat semu dan sementara. Konflik ini pasti akan pecah dan terjadi berulang-ulang," kata dia.

Ia mengatakan tekanan psikologi dan beban hidup masyarakat di Indonesia termasuk di Lampung telah begitu tinggi. Faktor struktural seperti kesempatan kerja, biaya hidup, kebutuhan ekonomi saat ini memberikan tekanan yang dahsyat kepada masyarakat.

Ditambah lagi dengan persoalan kultural yang tak terselesaikan. Masyarakat tak lagi saling menghargai dan menghormati bahkan tak mengenal budaya orang lain. Kedua faktor ini saling kait mengait menciptakan suasana yang kompleks.

Sehingga tak jarang persoalan yang sifatnya personal, sektoral dan, sempit, justru memicu tawuran massal. Gara-gara rebutan penumpang, rebutan lahan pekerjaan, pencurian sepeda motor berubah menjadi konflik massal.

"Peristiwa yang tampak sesungguhnya hanyalah semacam pemicu yang menyeret persoalan menjai persoalan etnik, kelompok, golongan bahkan menjadi persoalan masyarakat," kata dia.

Celakanya, selama ini pendekatan pemangku pemerintahan dalam melihat persoalan ini hanya berdasarkan dari apa yang tampak di permukaan. Jika persoalannya adalah pencurian, penyelesaiannya adalah hukum. Jika persoalannya adalah lahan, penyelesaiannya pembagian lahan.

"Hal ini bentuk pemecahan yang hanya bersifat sektoral dan bersifat jangka pendek dan hanya akan menjadi bentuk penyelesaian semu yang tak menyentuh dan menyelesaikan akar permasalahan," kata dia.

Ia mengatakan persoalan yang bersifat sosial kultural harus diselesaikan secara komprehensif lintas bidang lintas sektoral berlangsung terus-menerus. Pendekatan struktural dan kultural harus dilakukan.

"Jika persoalannya adalah ekonomi, ya harus diseselasikan dengan penciptaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Jika persoalannya adalah persoalan budaya, ya harus dilakukan pendekatan budaya, sosialisasi, dan asimilasi antarwarga," kata dia.

Ia mengatakan warga yang terlibat konflik baru-baru ini bukanlah kelompok sosial yang baru terbentuk beberapa waktu silam, melainkan sudah ada sejak lama dan melewati beberapa generasi. Jika konflik terus terjadi, ada mekanisme yang gagal dan tidak berjalan di masyarakat.

Pemerintah harus bersikaf arif dan holistik dalam melihat konflik sosial. Pemecahan masalah yang mendasar menjadi sebuah keharusan jika tak ingin pertumahan darah terjadi berulang.

Menurut dia, masyarakat Indonesia maupun di lampung saat ini tengah mengalami gejala anomi. Anomi adalah gejala sosial di mana pola pola lama kini tidak lagi dapat dijadikan pegangan oleh masyarakat saat ini sementara pola pola baru belum ada atau tidak bisa menjadi solusi dan jalan penyelesaian.

"Jika dulu di Lampung ada proses akon, aken, muakhi atau angkat saudara suku lampung terhadap suku di luar lampung. Ini adalah pola lama penyelesaian budaya yang mungkin saat ini sudah tidak lagi ampuh jika digunakan," kata dia. (ABDUL GAFUR/M-1)

No comments:

Post a Comment