Wednesday, September 8, 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (HABIS)

BUDAYA LAMPUNG MENGHARGAI KEBERAGAMAN

ADA lima sifat orang Lampung yang tertera di dalam Kitab Kuntara Raja Niti. Pertama, piil-pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri. Kedua, juluk-adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya).

Ketiga, nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu). Keempat nengah-nyappur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis). Kelima, sakai-sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Masyarakat adat Lampung juga mempunyai falsafah Sang Bumi Ruwa Jurai, yang artinya sebuah rumah tangga dari dua garis keturunan masing-masing melahirkan masyarakat beradat pepadun dan masyarakat beradat saibatin. Saat ini, pengertian Sang Bumi Ruwa Jurai diperluas menjadi masyarakat Lampung asli (suku Lampung) dan masyarakat Lampung pendatang (suku-suku lain yang tinggal di Lampung).

Sebab itu, jangan heran jika di daerah ini hampir semua suku di Indonesia ada dan hidup berdampingan secara damai. Banyak orang mengatakan untuk melihat Indonesia dalam konteks keberagaman, lihatlah Lampung.

Dengan dilandasi kelima sifat yang dibangun dari nilai-nilai Islam yang masuk pada abad ke-15 melalui tiga pintu utama; barat (Minangkabau), utara (Palembang), selatan (Banten), masyarakat suku Lampung sangat menghargai perbedaan.

Jarang sekali terdengar atau bahkan tidak pernah terdengar di daerah ini ada konflik yang dilatarbelakangi perbedaan agama maupun perbedaan suku. Semua agama bisa hidup damai, semua suku bisa mencari penghidupan dengan baik.

Kentalnya pengaruh Islam juga tampak dari tradisi yang kini masih digunakan dalam acara adat dan keseharian masyarakat. Misalnya, marhabanan untuk memberikan nama seorang bayi. Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca kitab barzanji.

Selain marhabanan, juga masih sering kita jumpai tradisi ruwahan, dengan mengundang tetangga dekat dan memanjatkan doa bagi saudara seagama yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia.

Adapula tradisi tabuh beduk, tapi sudah jarang terdengar. Menabuh beduk untuk mengabarkan waktu salat dibunyikan setiap waktu salat lima waktu. Menabuh beduk menandakan salat jumat dibunyikan dua kali, yaitu pukul 11.00 untuk mengabarkan agar masyarakat bersiap-siap dan ketika waktu salat tiba. Menabuh beduk untuk menunjukkan salat tarawih dibunyikan dengan nada khusus.

Tradisi menabuh beduk juga terdengar sehari menjelang Ramadan, biasanya terdengar bertalu-talu sama ketika sehari menjelang Idulfitri. Namun, tradisi menabuh beduk ini sudah jarang terdengar, terutama di perkotaan, digantikan dengan pemberitahuan lewat pengeras suara.

Kelima sifat, pedoman hidup, dan falsafah yang dimiliki masyarakat adat Lampung hingga kini masih tumbuh subur. Sifat-sifat itu merupakan nilai lebih yang dimiliki orang Lampung, tapi di sisi lain dapat mengikis akar budaya daerah ini. Contohnya bahasa Lampung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)

Sumber : Lampost 9 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (28)

AKULTURASI ISLAM TRADISI LOKAL.

SELAIN situs berupa masjid dan makam para penyebar agama Islam, jejak Islam di Lampung bisa ditelusuri lewat budaya. Lampung Post yang menggelar diskusi menjelang Ramadan bersama ulama dan akademisi, mendapatkan benang merah keterkaitan agama ini dengan budaya lokal.

"Hampir tidak ada peristiwa adat Lampung yang tidak berbau Islam. Mulai dari perkawinan, kelahiran, hingga kematian, napas-napas Islam selalu mewarnai peristiwa ini," kata Khairuddin Tahmid, dosen IAIN Raden Intan Lampung pada diskusi menjelang Ramadan, beberapa waktu lalu.

Menurut mantan Ketua NU Lampung itu, Islam adalah agama yang universal, mampu menembus batas waktu dan sangat sering bertemu dengan tradisi lokal yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, wajah Islam berbeda dari daerah satu dengan daerah lainnya saat bertemu tradisi lokal tersebut.

Wajah Islam yang berbeda saat bertemu tradisi lokal itu bisa terlihat pada cara berpakaian, seni bangunan suatu daerah, kesastraan dan musik tradisi setempat. Sedangkan keuniversalan Islam adalah ajaran tentang tauhid (keesaan Tuhan). Semua orang dan mereka yang menggenggam erat tradisi lokalnya sama-sama mengakui keesaan Allah swt.

Di Lampung, misalnya, Islam yang masuk lewat tradisi lokal juga mampu memengaruhi kesenian tradisional daerah ini. Di daerah Lampung pesisir, misalnya, napas-napas keislaman sangat terasa dalam seni tradisional musik butabuh atau hadrah. Syair lagu hadrah adalah dari kitab Barzanji berisi pujian kepada rasul dan zikir-zikir mengagungkan kebesaran Allah swt. Syair lagu ini diiringi dengan alat musik berupa terbangan (rebana, yang biasa dipakai pada lagu kasidahan) dan kerenceng.

Hadrah dan zikir ini sering kita jumpai saat pesta adat atau nayuh yang dilantunkan malam hari menjelang pelaksanaan pesta atau begawi. Para pelantun biasanya orang tua atau mereka yang sudah berumur.

Dalam adat perkawinan juga dikenal dengan istilah ngarak maju, yaitu arak-arakan pengantin yang dilakukan di tempat pengantin pria sebagai pertanda si pria telah resmi menikahi si wanita. Dalam tradisi ngarak, unsur yang terpengaruh Islam adalah penggunaan alat musik rebana sebagai alat musik pengiring dan pelantunan salawat nabi serta syair-syair Arab yang dikenal dengan zikir lama dan zikir baru, yang isinya syair-syair Barzanji.

Adapula peraturan bujang gadis yang dikenal dengan istilah cempaka khua belas yang mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan siapa yang melanggar aturan adat tersebut akan dikenakan sanksi. Dalam tata cara pergaulan bujang gadis ini juga terasa benar pengaruh hukum Islam, seperti hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan kesopanan dan kesusilaan dan cara-cara hidup bermasyarakat lainnya.

Pengaruh Islam lainnya dalam kesenian tradisional Lampung adalah acara betamat. Yaitu membaca ayat-ayat suci Alquran di acara khitanan dan perkawinan. Biasanya dibaca malam hari. Dalam acara ini juga ada peristiwa mengarak anak yang dikhitan dari tempat guru ngaji.

Ketika terjadi musibah seperti ada kerabat atau tetangga dan saudara meninggal dunia, pengaruh Islam juga dominan. Acara khatam Alquran, yaitu membaca ayat-ayat Alquran selama tujuh hari selain acara tahlilan akan terdengar di tempat ini.

Itulah realitas agama Islam di Indonesia. Ketika berhubungan dengan suatu komunitas akan terlihat selalu unik, karena adanya akulturasi dengan budaya lokal. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)

Sumber : Lampost 8 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (27)

PERGERAKAN POLITIK MELAWAN KOLONIAL

SELAIN melalui kontak fisik dan pendidikan dalam syiar dan perjuangan merebut kemerdekaan, kalangan Islam di Lampung Barat juga melakukan perjuangan diplomatik. Salah satu bukti perjuangan itu dengan hadirnya partai politik. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), satu-satunya partai poltik yang ada pada 1937—1943.

Saat itu, pemerintah kolonial berupaya meredam perkembangan PSII yang berstatus Kring Liwa di bawah kepemimpinan H. Zaini, warga Pekon Tengah, Liwa. Caranya, menuding Syarikat Islam (SI) dengan cap “merah” terhadap organisasi itu. Tekanan dan perlakuan diskriminatif diberikan terhadap penduduk Marga Liwa yang terlihat menonjol. Tekanan itu mulai dari perbesaran pajak, pengenaan kerja paksa (rodi), dan sebagainya.

Namun, kecurigaan dan tekanan pemerintah itu semakin membuat penduduk Marga Liwa tertarik menjadi anggota PSII. Apalagi terbukti tokoh-tokoh PSII berani berjuang membela rakyat tertindas. "Salah satunya pembelaan Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto terhadap kasus tanah petani Gunung Seminung," kata tokoh masyarakat Marga Liwa, K.H. Arif Mahya, kepada Lampung Post, beberapa waktu lalu.

Dengan semakin berkembangnya PSII di Liwa, pada 1937 status organisasi ditingkatkan menjadi lajnah afdeeling (LA). Bahkan wilayahnya diperluas menjadi PSII LA Balikbukit yang berkedudukan di Kotaraja Liwa. Dan dua tahun kemudian, pengurus membentuk Balai Pendidikan dan Pengajaran Islamiah (BPPI) di Kotaraja di bawah binaan M. Hasan Manaf (ayah dari guru SMAN 2 Tanjungkarang Rosmala Dewi) dan guru H.H. Anwar (Kembahang).

Dari perkembangan itulah PSII LA Liwa ikut menggerakkan Gabungan Politik Indonesia (Gapi) yang menuntut pembentukan parlemen kepada pemerintah kolonial. Mereka meminta parlemen itu berisi orang Indonesia yang dipilih rakyat. Sejumlah tokoh PSII M. Hasan Manaf, Fadil Hamid, M. Yahya dan M. Jemarip bersama tokoh Muhammadiyah Abdul Ghani berjuang dalam Gapi itu.

Namun, perjuangan itu belum sempat berhasil karena Perang Dunia (PD) II. Pemerintah kolonial berganti dari Belanda ke Jepang yang memenangkan PD II. Imbasnya, seluruh partai dan organisasi kemasyarakatan (ormas) dibubarkan. PSII, termasuk Muhammadiyah dan NU, juga ikut dibubarkan.

Namun, perjuangan tokoh-tokoh Islam kala itu tidak berhenti. Mereka tetap melakukan syiar dengan meneruskan sekolah dan pondok pesantren yang ada di Liwa. Jepang juga menghentikan openbaar atau tablig akbar. Sementara para pemuda sebagian mengikuti pergerakan fisik dengan bergabung dalam kelompok pejuang untuk bergerilya. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost 7 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (26)

NU AJARKAN "KITAB KUNING"

SEPERTI layaknya Persyarikatan Muhammadiyah, Organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) juga memulai kiprahnya di Lampung barat dengan jalur pendidikan. Selain madrasah, tokoh-tokoh NU kala itu juga membangun pondok pesantren.

Adalah K.H.A. Fattah yang menjadi penggerak pendidikan agama di Liwa, membuka Perguruan Tarbiyatul-Islamiyah (Perti) di Sukanegeri (kota Liwa). Pendidikan model pondok pesantren itu mengajarkan santrinya dengan “kitab kuning”, terutama untuk yang sudah mahir berbahasa Arab. "Santrinya banyak, dari Dusun Marga Liwa maupun daerah sekitar dan perguruan itu hanya mengajarkan tentang ilmu agama," kata tokoh NU K.H. Arif Mahya di Lampung Post beberapoa waktu lalu.

Namun, ada juga madrasah yang dibangun oleh kalangan NU di Liwa. Madrasah pertama yang dibuka NU terletak di Dusun Negeriagung, di bawah binaan seorang ulama tempaan NU yang pernah belajar di Jawa Timur, K.H. Fadhil. Saat itu memang sekretariat MWC NU Liwa berada di Negeriagung, tempat Pasiran Marga Liwa di masa itu. Sementara anggota NU semakin banyak dari dusun lainnya di Liwa.

Kemudian pada 1941, madrasah itu dikepalai K.H. Abdul Hay Ma'mun (ayah dari dosen Unila Zulyaden Abdul Hay) yang baru kembali dari belajar agama di Mekah. Dia sempat mendalami ilmu agama Islam di perguruan tinggi Darul Ulum, Mekah, Arab Saudi, saat datang langsung aktif di Majelis Wakil Cabang NU Liwa.

K.H. Abdul Hay Ma'mun dibantu sejumlah pengajar lainnya, seperti K.H. Husin dari Dusun Watos, M. Yatim (Padang Dalom), Ma'ad (Krui) dan M. Napis (Manna). Madrasah itu semakin pesat. Siswanya berasal dari berbagai daerah.

Pada masa itu, MWC NU Liwa juga semakin kuat dengan jumlah anggota yang banyak—terutama karena sebagian besar masyarakat berpaham ahlusunah waljamaah (aswaja). Bahkan di depan madrasah itu pernah digelar openbaar basar atau tablig akbar. Sejumlah tokoh NU dari Palembang datang pada kegiatan itu, seperti K.H. Abubakar Bastari, Abdullog Gathmyr, dan K.H. Tjik Wan.

Di bidang kepemudaan, pengurus MWC NU Liwa mulai membentuk Pandu Anshor untuk kegiatan anggota pemudanya dan Fatayat NU untuk anggota putri. Mereka saat itu diajarkan model kepanduan sebab pelajaran itu sangat berguna jika suatu saat akan bergerilya melawan tentara penjajah. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost 6 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (25)

MADRASAH UNTUK MENEMPA GENERASI


CIRI dari dua organisasi kemasyarakatn Islam yang masuk ke Lampung, yakni Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU) adalah mendirikan sekolah atau madrasah. Sebab, madrasah dianggap memberikan spirit kesinambungan generasi untuk mensyiarkan Islam.

Awalnya Muhmmadiyah yang dianggap “kaum muda” membuka madrasahnya di rumah seorang warga Syahri, Dusun Suka Negeri (Liwa, Lampung Barat, sekarang) pada 1931. Dengan murid sebanyak 20 orang, madrasah itu dibimbing Muallim Hidayat yang ditugaskan Pengurus Muhammadiyah Cabang Betawi.

Sebelumnya Guru Idrus membuka madrasah di Pahmungan, Krui. Setelah terbentuk di Liwa, Guru Idrus memindahkan seluruh muridnya ke madrasah di Liwa. Bahkan Guru Idrus ikut menjadi guru dan membina madrasah di Liwa.

Madrasah itu mendapat tambahan dua guru pada 1932, yakni K.H. Rais Latief (ayah penyiar TVRI Sazli Rais) dan K.H. A. Murad yang baru pulang dari belajar di luar negeri. K.H. Rais menempuh seolah di Universitas Al Azhar Kairo, Mesir, sementara K.H. A. Murad adalah alumnus universitas di Mekah.

Di madrasah itu kemudian dibangun gedung belajar di Pekon Tengah, Liwa. Sehingga madrasah bertambah maju, bahkan muridnya juga berasal dari luar Marga Liwa. Sementara pelajarannya juga terbagi 50% pelajaran agama dan setengahnya pengetahuan umum. Selain bahasa Arab, diajarkan bahasa Inggris dan Belanda sesuai kurikulum atau leerplan Standasrdschool Muhammadiyah Nasional.

"Keberadaan dan perkembangan madrasah itu juga ikut memengaurhi status organisasi Muhammadiyah yang sebelumnya grup menjadi Cabang Liwa," kata tokoh masyarakat Liwa di Bandar Lampung K.H. Arif Mahya yang juga tokoh NU Lampung saat diskusi di Lampung Post awal Agustus lalu.

Pada 1939, diadakan konferensi Cabang I Muhammadiyah Liwa di Pekon Tengah. Acara itu dihadiri Consul Hoofd-Bestuur atau Majelis Konsul Muhammadiyah Daerah Lampung, Palembang dan Bangka yang diwakili anggotanya H. Zen Arifin, juga utusan Muhamadiyah Krui K.R. Chotman Djauhari. (MUSTAAN/E-1)

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (24)

ORGANISASI KEMASYARAKATAN ISLAM MASUK LAMPUNG

LEPAS dari ketakutan aksi internir atau pembuangan aktivis Syarikat Islam (SI) “merah” oleh Pemerintah Kolonial Belanda, perkembangan syiar Islam tidak berhenti.

Dua organisasi kemasyarakatan besar juga ikut mewarnai perkembangan syiar Islam di Lampung Barat. Keduanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) masuk dan menggembleng generasi muda di Liwa.

Ada beberapa versi masuknya Perserikatan Muhammadiyah di Lampung. Versi pertama masuk dan terbentuk untuk pertama kali di Liwa, Lampung Barat. Hal itu terkait dengan pembentukan wadah organisasi di Liwa dengan struktur “grup” di bawah binaan Pengurus Muhammadiyah Cabang Betawi (sekarang Jakarta, red) pada 1930.

"Saat itu Muhammadiyah Grup Liwa beranggotakan sembilan orang yang diketuai Dja'far dan sekretariatnya di Dusun Gedungasin,” kata salah seorang tokoh masyarakat Lampung Barat di Bandar Lampung, K.H. Arif Mahya, yang juga tokoh NU Lampung.

Versi lainnya mengatakan organisasi itu pertama kali terbentuk di Telukbetung (sekarang Bandar Lampung, red). Pasalnya, saat itu Marga Liwa masuk dalam keresidenan Bengkulu atau Bankoelensche-Residentie. Sementara di Telukbetung terbentuk sekitar tahun 1932, saat cabang Telukbetung diundang untuk konferensi persyarikatan di Cabang Baturaja, Sumatera Selatan.

"Memang ada versi-versi dalam pembentukan awal Persyarikatan Muhammadiyah di Lampung," kata Ketua Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah Lampung K.H. Nurvaif Chaniago.

Saat pertama masuk ke Liwa, banyak masyarakat yang enggan masuk organisasi itu. Selain masih trauma diliputi isu Syarikat Islam (SI) “merah”, juga sebagian besar tokoh dan ulama setempat menganut paham ahlusunah waljamaah (aswaja).

Sementara itu, walaupun sebagian besar masyarakat telah mengenal dan menganut paham ahlusunah waljamaah sebagai paham dari organisasi kemasyarakatan NU. Namun, secara struktural, organisasi NU resmi masuk ke Liwa pada 1936 dengan nama Jamiyah Nahdlatul Ulama. NU di Liwa dipelopori K. Ahmad Amirin dengan membentuk Majelis Wakil Tjabang Nahdlatoel Oelama (MWT-NO) Liwa yang berkedudukan di Negeriagung, dusun tempat Pesirah Marga Liwa saat itu.

Perkembangan organisasi ini begitu cepat karena sebagian besar masyarakat di sana penganut ahlusunah waljamaah yang otomatis mudah diajak menjadi anggota NU. Atau penganut paham itu mengajukan kesediaannya menjadi anggota organisasi kemasyarakat yang membantu syiar agama Islam di sana. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost Edisi 3 September 2010

Wednesday, September 1, 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (23)

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (23): Perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial

SETELAH masuk ke Lampung, Islam berkembang dan menyebar di sekitar daerah tiga pintu masuknya. Mulailah membuat organisasi-organisasi untuk mengembangkan ilmu dan syiar agama, termasuk di Lampung. Sampai akhirnya penjajah Belanda datang ke Indonesia, organisasi itu yang membuat pergerakan melawannya.

Di salah satu pintu masuk, Lampung Barat, Pemerintah Kolonial juga mendapat perlawanan dari rakyat. Sehingga sejumlah tokoh pergerakan Islam banyak yang ditangkap dan di-internir atau dibuang ke Boven Digul. Terutama saat dikembangkan isu banyaknya penduduk di Marga Liwa menjadi anggota Syarikat Islam (SI) "merah" atau prokomunis.

"Banyak tokoh yang ditangkap, bermula penangkapan tokoh antipenjajah Sadaruddin dari Pulau Pisang, Krui, Lampung Barat," kata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Lampung K.H. Arif Mahya, saat diskusi menjelang Ramadan di kantor Lampung Post, beberapa waktu lalu.

Penangkapan itu kemudian berlanjut ke Liwa. Pemerintah Kolonial Belanda mengincar tiga tokoh antipenjajah, yakni K.H. Bakri di Dusun Sukamarga, Liwa; Usman, Dusun Kesugehan, Liwa; dan H. Fadhlulloh. Dari ketiganya, Usman berhasil ditangkap. Sementara K.H. Bakri dan Fadhlulloh menghindar dan lari dari kejaran Pemerintah Kolonial ke Mekah, Arabi Saudi. Sembari bermukim, kedunya memperdalam ilmu agamanya.

Kemudian, H. Bakri kembali ke Tanah Air dan meneruskan perjuangannya di Negarabatin, Kotaagung, Tanggamus. Setelah zaman kemerdekaan, tokoh yang dituding anggota SI "merah" itu mengembangkan Islam sampai menjadi kepala KUA Kecamatan Sukadana.

Di Sukadana, K.H. Bakri berkolaborasi dengan K.H. Muhammad Nur, orang tua K.H. Hanafiah (salah satu Komandan Pasukan Hizbullah saat perlawanan Agresi Militer Belanda). K.H. Muhammad Nur juga merupakan pengelola pondok pesantren pertama yang berdiri di Sukadana bernama An Nur.

"Kini makam keduanya dalam satu kompleks di TPU Srikaya, Sukadana," kata dosen IAIN Raden Intan Fauzi Nurdin yang juga cucu pendiri Pondok Pesantren An Nur itu saat menjadi pembicara dalam diskusi di kantor koran ini, awal Agustus lalu.

Namun, kedua makam tokoh pejuangan dan penyiar agama Islam di Lampung itu kini kurang diperhatikan pemerintah. Hanya anak cucu kedua tokoh itu saja yang merawat makamnya. "Padahal, perjuangan keduanya tidak bisa disepelekan untuk penyiaran Islam, bahkan perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial saat itu," kata dia. (MUSTAAN/E-1)

Sumber : Lampost edisi 3 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (21/ 22)

MAKAM SEKH AMINULLAH DI KRAMAT MANULA.

SELAIN melalui jalur darat, penyebaran Islam di daerah Lampung Barat juga melalui laut. Itu terlihat dari peninggalan makam Syekh Aminullah atau yang dikenal dengan Keramat Manula di Lemong, Krui. Penyebar Islam di Lampung Barat itu wafat sekitar 1525 Masehi.

Lampung Barat memang memiliki keunikan tersendiri terkait dengan masuknya Islam. Belalau menjadi salah satu dari tiga pintu utama masuknya Islam di Lampung. Masuknya Islam di kabupaten terujung utara Lampung itu juga melalui jalur laut.

Dari jalur darat, versi yang berbeda menyatakan Islam masuk di Lampung Barat dibawa seorang ulama yang bernama Umpu Belunguh sekitar abad ke-15. Konon kisah itu berdasar isi surat tua yang tertulis pada kitab yang terbuat dari kulit kayu, Umpu Belunguh datang dari Madinah. Sebelum masuk ke Lampung, Umpu Belunguh juga sempat menyebarkan Islam ke daerah lain, seperti Pagaruyung, Sumatera Barat, dan Batanghari serta Palembang, Sumatera Selatan. Akhirnya dia menjejakkan kakinya di daerah Belalau.

Sementara dari jalur laut, penyebaran agama Islam di daerah pesisir sebelum tahun 1500-an. Hal itu terbukti dari makam Syekh Aminullah yang tertulis dalam nisannya, wafat tahun 1525. "Makam ini menjadi tempat ziarah orang dari berbagai daerah, termasuk dari Lampung barat juga. Makam ini selalu ramai, terutama menjelang Ramadan," kata Anshori, warga sekitar.

Berdasar keterangan dari masyarakat sekitar, Syekh Aminullah merupakan keturunan Arab yang berlayar dari Aceh. Saat melintasi Samudera Indonesia di pesisir Krui, tiupan badai kencang membuat kapal yang di tumpanginya terdampar di daerah Cahayanegri, Kecamatan Lemong, Lampung Barat.

Pada area permakaman itu terlihat sejumlah makam lain di sekeliling makam Syekh Aminullah. Kemungkinan makam-makam lainnya itu adalah murid dari ulama itu. Namun, makam-makam tersebut tidak terawat dan usang dimakan zaman. (CK-7/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 1 september 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (22): Murid Syekh Menyebar hingga Pulau Jawa

DARI penuturan sejumlah tokoh adat dan masyarakat setempat, Syekh Aminullah, ketika berada di daerah Pesisir, mengajarkan syariat terhadap masyarakat setempat. Warga sekitar kemudian banyak yang memeluk Islam dan menjadi murid ulama asal Arab itu.

Bahkan, sejumlah tokoh juga mengatakan murid-murid Syekh Aminullah bukan hanya datang dari daerah Krui, Pesisir Lampung Barat. Anak didiknya juga banyak dari luar daerah seperti Palembang, Bengkulu, dan Pulau Jawa.

Hal itu terlihat dari banyaknya peziarah yang datang dari luar Lampung. Peziarah bercerita kedatangannya ke makam itu karena nenek moyangnya dulu murid Syekh. Tak heran jika makam “Keramat Manula” itu tersohor hingga Pulau Jawa.

Makam Syekh Aminullah yang tertulis dalam nisannya wafat tahun 1525, menjadi bukti salah satu jejak dinamisasi Islam di Lampung. Syekh Aminullah merupakan keturunan Arab yang berlayar dari Aceh. Saat melintasi Samudera Indonesia di pesisir Krui, tiupan badai kencang membuat kapal yang ditumpanginya terdampar di Cahayanegri, Kecamatan Lemong, Lampung Barat.

Sementara penamaan makam Syekh Aminullah sebagai “Keramat Manula”, menurut tokoh setempat Ansori, berasal dari nama sungai dan pantai yang ada di lokasi makam. Makam itu terletak tepat di samping Way Manula yang bermuara di Pantai Pesisir Utara Lampung Barat itu.

Tidak sedikit pengunjung yang datang, terutama pada Ramadan untuk berziarah. Namun, peziarah kesulitan mengetahui lebih banyak cerita tentang syekh dan sepak terjangnya. Sebab, makam itu tidak ditunggui juru kunci.

Masyarakat setempat hanya mengetahui cerita dari orang tuanya sehingga sulit mengetahui secara pasti “Keramat Manula” itu. Penduduk hanya mengetahui tempat itu terdapat makam keramat Syekh Aminullah tanpa mengetahui secara perinci mengenai sejarahnya. Kebanyakan masyarakat setempat menjadi pemandu peziarah untuk masuk ke lokasi dan menunjukkan letak makam ulama itu. (CK-7/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 2 September 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (20)

KITAB BAHASA JAWI ABAD KE XIV DI MASJID JAMIK

HINGGA kini ahli filologi Suryadi, penemu naskah kuno Syair Lampung Karam (SLK) yang ditulis Mohammad Saleh dari enam negara Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia masih mempertanyakan Mohammad Soleh.

Benarkah penulis syair itu Mohammad Soleh yang merintis pembangunan Masjid Jami Al Anwar? Belum ada data pendukung yang menguatkan keberadaannya terkait naskah SLK.

Di Masjid Jami Al Anwar itu masih tersimpan naskah-naskah kuno peninggalan K.H. Mohammad Soleh. Sayang sekali, 400-an kitab yang ditulis dengan aksara Arab Melayu atau huruf Jawi di dua lemari dalam gudang kurang terawat. Kondisinya sangat memprihatinkan. Padahal, kitab-kitab itu adalah "harta karun" yang tak ternilai harganya.

Berbekal sedikit kemampuan membaca huruf Arab Melayu (huruf Jawi), kami mencoba membaca beberapa kitab. Dari sampel itu, kami menemukan kitab-kitab itu masih bisa dibaca. Walaupun ada yang lepas dari jilidannya, tulisan-tulisannya masih sangat jelas. Beberapa buku yang kami coba lihat berangka tahun 1300-an berisi pengajaran agama, baik yang berbahasa Melayu maupun Arab.

Ketika kami menanyakan hal ini kepada Tjek Mat Zen, dia menyatakan belum tahu. Dia kemudian membuka-buka dokumen. Sebuah testemen berbahasa Belanda, berangka tanggal 24 Agustus 1864, yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebutkan soal pewarisan harta dari Tomonggong Mohammad Ali, regent dari Telok Betong. Salah satu ahli waris penerima bernama Mohammad Saleh, umur 50 tahun.

Kalau pada 1864 Mohammad Saleh berusia 50 tahun, pada 1883 ketika Gunung Krakatau meletus dan SLK ditulis tiga bulan setelah itu, Mohammad Saleh berusia 69 tahun. Dua tahun kemudian, Mohammad Saleh meninggal. Kalau melihat data ini, mungkin saja Mohammad Saleh ini yang menulis.

Namun, bukankah Mohammad Saleh menjadi pemimpin dan ulama di Telukbetung? Sementara dalam naskah SLK sebagaimana diungkap Suryadi menyebutkan Mohammad Saleh memang sedang berada di Lampung saat letusan dahsyat Gunung Krakatau itu terjadi. Dan, dia selamat dan setelah itu dia pergi ke Singapura.

"Saya menduga bahwa dia salah seorang pengungsi dari letusan itu dan dia mengatakan dia menulis itu di kampung Bangkahulu di Singapura. Sekarang menjadi Bengkulen Street. Itu Singapura lama," kata Suryadi seperti dikutip dari situs Radio Nederland Wereldomroep.

"Ya, bisa jadi," kata Johan Sapri (54), warga Gunung Kunyit, yang mengaku keturunan ketujuh Mohammad Soleh. Dia menjelaskan salah satu istri Mohammad Ali, saudara Mohammad Saleh, yaitu Intjik Halimah, merupakan saudara Tuanku Lingga dari Malaysia.

Mungkinkah ada kitab SLK? Sayang sekali, kondisi buku yang sudah rapuh dan penataan buku yang tumpang-tindih, membuat kami tidak berani melihat satu per satu kitab-kitab kuno tersebut. Agaknya, perlu waktu untuk meneliti kitab-kitab yang disimpan di perpustakaan (lebih tepatnya gudang) Masjid Jami Al Anwar.

Jadi, benarkah Mohammad Saleh, pemimpin dan ulama di Telukbetung yang merintis pendirian Masjid Jami Al Anwar ini yang menulis Syair Lampung Karam? Wallahualam. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 30 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (19)

LETUSAN KRAKATAU LAHIRKAN "SYAIR LAMPUNG KARAM"



GUNUNG Krakatau (Krakatoa, Carcata), 127 tahun lalu, tepatnya pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883 meletus. Banyak catatan dan karya tulis yang kemudian lahir dari peristiwa yang menewaskan tidak kurang dari 36 ribu orang ini. Namun, laporan orang asing tentang letusan Krakatau ini lebih menekankan pada aspek geologisnya.

Maka, ketika ahli filologi dan dosen/peneliti di Leiden University, Suryadi, menemukan satu-satunya sumber pribumi tertulis yang memuat kesaksian mengenai letusan Gunung Krakatau pada 1883, banyak orang yang terkejut.

Naskah ini baru ditemukan 125 tahun setelah Krakatau meletus. Penemuan naskahnya pun terpisah-pisah dalam bentuk naskah kuno yang tersimpan di enam negara, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, Malaysia, dan Indonesia.

Suryadi mengungkapkan semua itu setelah melakukan penelitian komprehensif selama lebih kurang dua tahun. Setelah ia alihaksarakan naskah kuno tersebut, ternyata catatan saksi mata dalam bentuk syair itu mengungkapkan banyak hal secara humanis, bagai laporan seorang jurnalis. Penulis laporan itu mengaku bernama Mohammad Saleh:

Hamba mengarang fakir yang hina

Muhammad Saleh nama yang sempurna

Karena hati gundah gulana

Melainkan Allah yang mengetahuinya

Menurut Suryadi, Syair Lampung Karam selesai kira-kira tiga bulan setelah letusan Gunung Krakatau itu. Menariknya, Syair Lampung Karam ditulis dalam aksara Arab Melayu atau huruf Jawi kata orang Malaysia.

"Yang menarik bagi saya, bahasanya cenderung agak Melayu-Riau. Jadi kemungkinan dia bukan orang Lampung asli. Dan memang pada waktu itu, memang seperti digambarkan dalam syair ini, Lampung menjadi pusat bisnis. Banyak orang ke sana," kata Suryadi.

Siapakah Muhammad Saleh? Masih cukup menarik untuk diteliti untuk mengungkapkannya lebih jauh. Begitu mengetahui keberadaan naskah Syair Lampung Karam, kami berusaha menelusuri. Kami terpaku pada sebuah nama yang cukup terkenal sebagai penyebar syiar Islam di Lampung, yang juga disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Masjid Jami Al Anwar.

Masjid yang berada di bilangan Jalan Laksamana Malahayati, Telukbetung, Bandar Lampung, ini adalah masjid tertua. Berdasarkan risalah riwayat Masjid Jami Al Anwar, diketahui rintisan masjid ini telah dimulai sejak 1839. Tetapi, pada 1883 masjid itu luluh-lantak terkena letusan Gunung Krakatau. (ZULKARNAIN ZUBAIRI/IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber : Lampost Edisi Minggu 30 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (18)

HABIB DAYID LESTARIKAN MAKAM LELUHUR WALIYULLAH


SETELAH pengikutnya bertambah banyak, Habib Sayid Ahmad mengajak penduduk merawat makam yang berada sekitar 200 meter dari telaga. Menurut Maratus Shalihah, janda Habib Sayid Ahmad, itulah tempat peristirahatan terakhir Sayid Maulana Malik Abdullah bin Ali Nurul Alam, leluhur Sunan Gunung Jati.

Makam itu pun terus dibenahi sehingga kini berupa sebuah rumah berukuran 6 x 10 meter. Kuburan itu tertutup kelambu berwarna putih. Di atasnya terdapat beberapa kitab Alquran, Majmu' Syarif, dan Yasin. Pada nisan di dalamnya terdapat tulisan bernama sosok dimaksud dalam aksara Arab.

Selain itu, di sisi kanan makam terdapat meriam terbungkus kain mori, teko, bokor, pecahan keramik, dan beberapa potong batu yang biasanya digunakan untuk mengasah senjata dan menumbuk berbagai ramuan. Benda-benda itu diyakini sebagai peninggalan Sayid Maulana Malik Abdullah yang masuk ke sana lewat laut.

Masih menurut Maratus Shalihah, sosok yang dikenal sebagai waliullah itu dulu juga tinggal di sekitar telaga. Tempat itu dijadikan sebagai sarana mandi dan berwudu. Sementara itu, salatnya di dekat lokasi yang kemudian dijadikan sebagai tempat permakamannya.

"Saya pernah ingin berziarah ke makam para wali di Jawa," ujar dia.

Namun, suaminya melarang karena waliullah yang lebih tua ada di dekatnya. Dia pun diminta untuk ikut merawat dan melestarikan perjuangan Sayid Maulana Malik Abdullah.

Selain itu, Habib Sayid Ahmad bersama penduduk kemudian menyempurnakan tempat salat Sayid Maulana Malik Abdullah menjadi sebuah masjid yang permanen. Tempat ibadah yang berada di sisi timur makam itu juga dijadikan sebagai tempat penyiaran dan pengajaran Islam, seperti yang dilakukan pendahulunya.

Uniknya, waliullah ini punya kebiasaan membuat ribuan batu bata. Hasilnya, meski tidak memiliki kekayaan, tidak pernah dijual. Bahan bangunan itu digunakan untuk membangun kepentingan umum, seperti masjid, madrasah, dan jembatan.

Pemkab Lamteng ikut melestarikan dan mengembangkan makam Sayid Maulana Malik Abdullah maupun telaga tempat lahirnya Raden Fatah sebagai objek wisata andalan. Namun, pelestarian lebih banyak dilakukan santri Habib Sayid Ahmad yang tinggal di sekitar telaga. (M. IKHWANUDDIN/R-3)

Sumber : Lampost Edisi Sabtu 29 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (17)

HABIB SAYID AHMAD TELUSURI JEJAK RADEN FATAH

SEPENINGGAL Dewi Kadamasih dan Raden Fatah, tak banyak penduduk yang mengetahui jika di Surabayailir terdapat tempat bersejarah. Namun, Habib Sayid Ahmad bin Salim al-Muhdlor—ulama asal Wates, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur, yang senang mengembara—justru penasaran dan mencoba mencari kebenaran kabar itu.

Pada 1967, anak dari Habib Salim bin Ahmad Muhdlor, asal Hadralmaut, Yaman, itu nekat menerobos hutan hingga sampai di telaga angker, tempat Raden Fatah lahir. Dia semakin penasaran karena setiap orang yang menoleh telaga kepalanya tidak bisa ke posisi semula dan setiap penebang pohon akan mati seiring robohnya batang kayu.

Karena itu, dia berhalwat berhari-hari di atas sebatang pohon yang roboh dan menjorok ke telaga. Di atas kayu berdiameter sekitar dua meter itulah, Sang Waliyulllah tinggal; siang berpuasa dan malam bermunajat kepada Allah swt. Berdasarkan catatan Raden Patah Hasyim bin Ahmad, dia ingin mengetahui mengapa Tuhan menakdirkan tempat itu begitu mengerikan.

Hasilnya, dia mendapatkan jawaban bahwa keangkerannya adalah untuk melindungi Dewi Kadamasih dan bayi yang dikandungnya dari kejahatan, terutama kejaran bala tentara Girindawardhana.

Sayid Ahmad pun jadi ingin berlama-lama di lokasi itu. Apalagi, setelah mengetahui sekitar 200 meter ke Samudera Hindia, terdapat makam seorang waliyullah, nenek moyang dari Sunan Gunungjati Cirebon. Dia pun membuat tempat salat di sisi timur makam.

Bahkan, dia ingin penderitaan Dewi Kadamasih juga dirasakan istrinya. Ny. Mar'atus Shalihah dimintanya tinggal di sana tanpa bekal. Untuk berteduh, hanya dibuatkan tebing yang dilubangi sehingga mirip gua.

Beberapa tahun kemudian, sejumlah penduduk mulai mengetahui keberadaan ulama kelahiran 1912 ini. Mereka memberanikan diri mendekat bahkan membuatkan gubuk untuk tempat tinggal. Bahkan, mereka kemudian memberikan tanah seluas delapan kilometer persegi, yang di tengahnya terdapat telaga itu.

Setelah jumlah pengikutnya semakin banyak, Sayid Ahmad mengajak penduduk untuk merawat makam nenek moyang Sunan Gunungjati. Lalu, tempat salatnya di sisi timur makam dijadikan masjid. Dari situlah dia kemudian mensyiarkan dan mengajarkan Islam kepada penduduk.

Uniknya, Waliyullah ini punya kebiasaan membuat ribuan batu bata. Hasilnya, meskipun tidak memiliki kekayaan apa pun, tidak pernah dijual. Bahan bangunan itu diperuntukkan membangun apa saja guna kepentingan umum. Masjid, madrasah, dan jembatan di sekitarnya dibangun dengan hasil karyanya itu. (M. IKHWANUDDIN/R-2)

Sumber : Lampost Edisi 28 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (16)

RADEN FATAH LAHIR DI SURABAYAILIR LAMPUNG TENGAH

SAAT keamanan Majapahit begitu mengkhawatirkan akibat serangan balatentara Girindawardhana, Raja Daha, Kediri, Kertabumi, raja terakhir kerajaan Hindu itu, berusaha menyelamatkan putra mahkotanya.

Raja yang bergelar Brawijaya V itu lalu menyuruh sejumlah prajuritnya untuk melarikan dan menyembunyikan Dewi Kadamasih, permaisurinya, yang saat itu sedang hamil tujuh bulan. Mereka menuju Palembang, Sumatera Selatan, dan menyerahkan Sang Putri kepada Arya Damar, adipati setempat.

Meskipun Brawijaya V berhasil dibunuh, hulubalang Girindrawardhana tidak puas. Mereka terus berusaha mencari putra sang permaisuri. Bre Daha khawatir jika bayi yang dilahirkan permaisuri itu kelak akan membalas dendam atas kematian ayahnya.

Sebab itu, Adipati Arya Damar kemudian mencari tempat persembunyian yang benar-benar aman, yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat. Pilihan jatuh pada telaga yang kini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Surabayailir, Bandarsurabaya, Lampung Tengah, atau lebih dikenal dengan sebutan Spontan II.

Menurut Ny. Mar'atus Shalihah, istri Sayyid Ahmad ibn Salim al-Mudhar, seorang waliyullah yang tinggal di sana, tempat itu dipilih karena terkenal keangkerannya. Siapa pun yang lewat telaga itu dilarang menoleh. Jika dilanggar, kepala tak akan bisa kembai ke posisi semula. Bahkan, yang berani menebang pohon, akan mati bersama tumbangnya batang pohon.

Sehingga, nyaris tak ada orang lain yang berani menjamah tempat itu. Termasuk pasukan Gilindrawardhana. Sebaliknya, Dewi Kadamasih yang tinggal bersama sejumlah pengawal bisa hidup tenang. Bahkan, hingga Sang Putri melahirkan sesosok bayi yang kemudian diberi nama Hasan, kondisinya tak berubah.

Setelah cukup umur, Hasan diboyong ke Palembang. Memasuki usia remaja, dia berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya, bahkan kemudian dinikahkan dengan anak sang wali tadi. Pada 1481, para wali menobatkan dia sebagai raja Demak dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah, yang kemudian lebih dikenal dengan Raden Fatah.

Kepergian Raden Hasan (R. Fatah) ke Jawa menimbulkan kesan mendalam pada penduduk Palembang. Apalagi setelah mengetahui sosok tersebut kemudian menjadi raja Demak. Untuk mengenang itulah mereka menamai tempat masa kanak-kanak raja itu Prabumulih atau raja pulang ke Jawa.

Sementara itu, nama Palembang, berasal dari Pai Lian Bang, menteri dari Raja China yang masuk Islam, yang dibawa Sunan Gunungjati dari Negeri Tirai Bambu itu, kemudian dinobatkan menjadi Adipati, menggantikan Arya Damar yang meninggal.

Telaga itu hingga kini tetap terawat. Orang-orang yang tinggal di sana memagari telaga di bawah tebing, yang kini tinggal berukuran sekitar 3 x 6 meter. Bahkan, penduduk sekitar mendirikan sebuah masjid di sisinya dan menjadikan telaga itu sebagai air untuk berwudu. Pada waktu tertentu, banyak penduduk, bahkan muslim dari Jawa datang ke tempat itu untuk mengharapkan berkah. (IKHWANUDDIN/R-2)

Sumber : Lampost Edisi 27 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (15)

Kamis, 26 Agustus 2010

KH. ALI TASIM, PANGLIMA HIZBULLAH DARI AL-YAKIN

KEBERADAAN Masjid Al Yaqin sejak 1912 di Tanjungkarang diyakini sebagai cikal bakal pusat kegiatan umat. Bukan hanya dalam syiar agama, melainkan juga menjadi wadah kekuatan dalam menentang Belanda.

Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan syiar dan perjuangan di masjid itu ialah K.H. Ali Tasim. Sebagai salah satu santri K.H. Gholib, Ali Tasim juga menjadi panglima Hizbullah Tanjungkarang pada masa agresi Belanda I 1946.

"Pergerakan Hizbullah yang merupakan perkumpulan penentang penjajahan bernuansa Islam itu, merupakan salah satu kelompok yang paling sering terlibat bentrok dengan penjajah," kata seorang putra K.H. Ali Tasim, Muntaha, didampingi saudara kandungnya, Ni'mah, saat ditemui Lampung Post di kediamannya Jalan Mr. Gele Harun, Rawalaut, Bandar Lampung, Rabu (25-8).

Seiring semakin kuatnya persatuan umat muslim saat itu, kata Muntaha, pada agresi militer Belanda II tahun 1948, pejuang di Masjid Al Yaqin bertahan. Walaupun sempat kocar-kacir akibat serangan Belanda yang menggunakan senjata canggih, ulama bersama umat mampu mempertahankan markasnya.

Di bawah bimbingan K.H. Ali Tasim yang juga sempat menjadi Ketua DPRD Tanjungkarang periode 1956-1960, pergerakan Islam di Bandar Lampung berkembang pesat. K.H. Ali Tasim banyak memberikan pengetahuan keagamaan khususnya tentang ilmu fikih.

Ali Tasim yang menguasai berbagai bahasa itu sempat menjadi Kepala Pengadilan Agama Tanjungkarang sebelum wafat pada 24 Juli 1984. "Bapak adalah sosok ahli ilmu fikih yang terkenal bukan saja di daerah Lampung, tetapi hingga Banten dan Pandeglang," kata Munthaha.

Media yang paling menonjol dari kegiatan umat Islam di Al Yaqin adalah pengajian. Halakah itu menjadi wahana dalam rangka mengumpulkan umat muslim untuk bersatu melawan penjajah. Setelah merdeka, Al Yaqin menjadi pusat syiar Islam. Bahkan, tidak jarang ulama datang dari luar Lampung berceramah di masjid itu yang dulunya dikenal dengan Masjid Enggal Perdana itu. "Ulama dari mana saja, seperti dari Banten, biasanya datang dulu ke Al Yaqin," kata dia. (IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber Lampost.

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (14)

AL-YAKIN, SAKSI PENYEBARAN ISLAM DI TANJUNGKARANG


PENYEBARAN Islam pada awal abad ke-18 juga mulai masuk ke Tanjungkarang. Masjid Jami Al Yaqin menjadi saksi pengembangan ajaran yang dibawa dari Banten itu.

Selain Masjid Jami Al Anwar di Kelurahan Pesawahan, Masjid Jami Al Yaqin menjadi rumah ibadah kedua umat Islam di sekitar Teluk Lampung. Masjid itu kini terletak di Jalan Raden Intan, Bandar Lampung, (depan Kantor BRI Tanjungkarang) bisa dikatakan sebagai salah satu tempat ibadah umat muslim yang berperan dalam kesinambungan ajaran-ajaran Islam di Bandar Lampung.

Masjid yang berdiri sejak 1912 ini merupakan “rumah Allah” terlama yang ada di ibu kota Lampung, setelah Masjid Jami Al Anwar, Telukbetung. Baitullah yang pada awal berdirinya hanya terbuat dari geribik dan papan ini terletak di daerah Pasar Bawah.

Kemudian, pada 1925, masjid ini dipindahkan ke Enggal (lokasi masjid saat ini) dan diberi nama Masjid Enggal Perdana. Pada 1965, atribut masjid ini kembali diubah menjadi Masjid Jami Al Yaqin hingga sekarang.

Menurut sesepuh pengurus masj

id itu H. Abdul Mukti, pemberian Al Yaqin diambil dari nama orang yang mewakafkan tanahnya untuk masjid tersebut, yakni H.M. Yakin yang berasal dari Bengkulu.

"Pemberian nama tersebut juga tidak terlepas dari usul yang dilayangkan Konsulat Jenderal dari Mekah H. Umar Murot," kata Mukti kemarin (24-8).

Berdasar penuturan H. Abdul Mukti, dari awal berdiri Masjid Al Yaqin menjadi sentra kegiatan umat muslim untuk berbagai kegiatan keagamaan. Dua tokoh agama, K.H. Ali Thasim dan K.H. Asturi, menjadi sosok penyiar Islam yang berpusat di masjid itu.

Kedua orang ini berjasa dan memiliki peranan penting atas berdirinya masjid sekaligus memberikan amalan-amalan kepada jemaah. (IYAR JARKASIH/U-3)

Sumber : Lampost Edisi 25 Agustus 2010

JEJAK ISLAM DI LAMPUNG (13)

Selasa, 24 Agustus 2010

FATWA 100 ULAMA DI PESANTREN KH. GHOLIB


SEPERTI halnya masjid dan pesantren lain di Indonesia yang tidak hanya menjadi pusat ibadah dan pendidikan, tetapi juga menjadi basis pergerakan melawan Belanda, pesantren K.H. Gholib Pringsewu pun tak bisa lepas dari pergerakan seperti ini.

Ketika Belanda kembali punya keinginan menancapkan kukunya di Indonesia (agresi kedua tahun 1949), 100 ulama Lampung saat itu berkumpul di Pesantren Gholib membahas hukum perang melawan Belanda dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Keseratus ulama itu, antara lain K.H. Hanafiah dari Sukadana, K.H. Nawawi Umar dari Telukbetung, K.H. Abdul Rozak Rais dari Penengahan, Kedondong, K.H. Umar Murod dari Pagardewa (kini Kabupaten Tulangbawang Barat), K.H. M. Nuh, K.H. Aman dari Tanjungkarang, Kiai M. Yasin dari Tanjungkarang (ketua Masyumi Lampung saat itu), K.H. A. Rauf Ali dari Telukbetung, K.H. A. Razak Arsad dari Lampung Utara.

Hasil musyawarah 100 ulama itu menetapkan hukum perang melawan Belanda mempertahankan kemerdekaan dan ketinggian Islam adalah fardu ain.

Keputusan ini disampaikan ke pemerintah ketika itu dan menjadi dasar umat Islam melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah keputusan ini, Hanafiah dan pasukan laskar Hizbulllah dan Sabilillah Pringsewu menuju Baturaja, Sumatera Selatan, untuk membantu Tentara Republik Indonesia (TRI) melawan Belanda, setelah Palembang diduduki.

Lalu atas keputusan pemerintah darurat Lampung dan TRI yang sebelumnya bermusyawarah dengan Gholib dan ketua-ketua partai Islam ketika itu, menetapkan Gholib memimpin TRI dan rakyat Pringsewu (Hizbullah dan Sabililah) menyerang Belanda.

Begitu pentingnya peran Gholib mengusir Belanda, membuatnya dirinya selalu menjadi incaran Belanda untuk ditangkap kemudian dibunuh. Siasat perang diterapkan Gholib adalah perang gerilya di bawah komando TRI Kapten Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menteri Agama era Soeharto).

Dalam biografi Gholib yang ditulis salah satu santrinya, H. Akbar Moesa Achmad, tokoh penyebar Islam dan pejuang kemerdekaan ini meninggal dunia pada 6 November 1949 atau 16 Syawal 1368 Hijriah.

Gholib ditembak dari belakang oleh tentara Belanda, setelah 10 meter berjalan menjauhi sebuah gereja di Pringsewu, tempat dirinya ditahan militer Belanda. Gholib jatuh tersungkur dan meninggal dunia ketika itu juga.

Kegemasan Belanda pada Gholib bukan karena ia seorang ulama besar dan memiliki pesantren dengan santri sangat banyak, melainkan andilnya yang sangat penting dalam mempertahankan kemerdekaan. Pesantren miliknya menjadi basis pertahanan TRI dan Pemerintah Darurat RI di Lampung. (ALHUDA MUHAJIRIN/U-3)

Sumber : Lampost