Monday, April 26, 2010

FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT LAMPUNG

SEBUAH WACANA TERAPAN

Oleh ABDUL SYANI

Dari segi falsafah hidup pada hakekatnya masyarakat Lampung secara umum
memiliki kesamaan pandangan hidup yang disebut dengan fiil pesenggiri. Piil
Pesenggiri adalah tatanan moral yang merupakan pedoman bersikap dan berperilaku
masyarakat adat Lampung dalam segala aktivitas hidupnya. Falsafah hidup orang
Lampung sejak terbentuk dan tertatanya masyarakat adat adalah piil pesenggiri. Piil (fiil=arab) artinya perilaku, dan pesenggiri maksudnya bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, tahu hak dan kewajiban. Piil pesenggiri merupakan potensi sosial budaya daerah yang memiliki makna sebagai sumber motivasi agar setiap orang dinamis
dalam usaha memperjuangkan nilai-nilai positif, hidup terhormat dan dihargai di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagai konsekuensi untuk memperjuangkan
dan mempertahankan kehormatan dalam kehidupan bermasyarakat, maka masyarakat
Lampung berkewajiban untuk mengendalikan perilaku dan menjaga nama baiknya
agar terhindar dari sikap dan perbuatan yang tidak terpuji. Piil pesenggiri sebagai
lambang kehormatan harus dipertahankan dan dijiwai sesuai dengan kebesaran Juluk-
adek yang disandang, semangat nemui nyimah, nengah nyappur, dan sakai sambaiyan
dalam tatanan norma Titie Gemattei.

Piil pesenggiri sebagai tatanan moral memberikan pedoman bagi perilaku pribadi dan
masyarakat adat Lampung untuk membangun karya-karyanya. Piil pesenggiri
merupakan suatu keutuhan dari unsur-unsur yang mencakup Juluk-adek, Nemui-
nyimah, Nengah-nyappur, dan Sakai-Sambaiyan yang berpedoman pada Titie
Gemattei adat dari leluhur mereka. Apabila ke-4 unsur ini dapat dipenuhi, maka
masyarakat Lampung dapat dikatakan telah memiliki piil pesenggiri. Piil-pesenggiri
pada hakekatnya merupakan nilai dasar yang intinya terletak pada keharusan untuk
mempunyai hati nurani yang positif (bermoral tinggi atau berjiwa besar), sehingga
senantiasa dapat hidup secara logis, etis dan estetis. Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Juluk-Adek

Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata juluk dan adek, yang
masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan keluarga seorang
pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau remaja yang belum
menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang pria/wanita yang
sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan tetapi panggilan ini
berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang
perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau
laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki
yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.

Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung, oleh karena itu
juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang
bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara
adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti tatanan yang
telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin, Minak, Kimas dst.
Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula urutannya
tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok masyarakat yang bersangkutan.

Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya anggota masyarakat
Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud
prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan asas identitas
dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat
menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku
dan karyanya.

b. Nemui-Nyimah

Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, kemudian menjadi kata kerja
nemui yang berarti mertamu atau mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata
benda "simah", kemudian menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti suka memberi
(pemurah). Sedangkan secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap pemurah,
terbuka tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan
kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk
menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah
merupakan kewajiban bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk
tetap menjaga silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.

Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari lubuk hati yang dalam
untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan
demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat diartikan keliru yang
mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau terlarang yang tidak sesuai dengan
norma kehidupan sosial yang berlaku.

Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini lebih
tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa setiakawan. Suatu
keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tentunya
berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras, jujur dan tidak merugikan
orang lain.

c. Nengah-Nyappur

Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi kata kerja yang berarti
berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata benda cappur menjadi kata
kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara harfiah dapat diartikan sebagai
sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran antar sesama. Nengah-nyappur
menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung mengutamakan rasa
kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan bersahabat dengan siapa
saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal usul dan golongan. Sikap suka
bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa
(toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap toleransi akan menumbuhkan sikap
ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang lain, memacu semangat kreativitas dan
tanggap terhadap perkembangan gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil
suatu konklusi bahwa sikap nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah
untuk mufakat. Sikap nengah nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib
dan seklaigus merupakan embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat
Lampung yang pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah
menjalankan prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.

Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi, sehingga
menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran demikian
menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk kehidupan
yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai tujuan masa
depannya dalam berbagai bidang kehidupan.

Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah untuk mufakat.
Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus mempunyai penge-
tahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan melaksanakan segala
keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian berarti masyarakat
Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat menempatkan diri
pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap perbuatan dan santun
dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap mendengarkan,
menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib dan bermakna.

d. Sakai-Sambaiyan

Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam
bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam prakteknya cenderung
menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna memberikan sesuatu
kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan umum secara sosial
berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.

Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong, artinya memahami
makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya adalah menun-
jukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan
pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang bila ia tidak mampu
berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan
sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara
suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota
masyarakat lain yang membutuhkan.

Selanjutnya Titie Gemattei, yang terdiri dari dua suku kata titie dan gemattei. Titie
berasal dari kata titi yang berarti jalan, dan gemantie berarti lazim atau kebiasaan
leluhur yang dianggap baik. Wujud titie gemanttei secara konkrit berupa norma
yang sering disebut kebiasaan masyarakat adat. Kebiasaan masyarakat adat ini tidak
tertulis, yang terbentuk atas dasar kesepakatan masyarakat adat melalui suatu forum
khusus (rapat perwatin Adat/Keterem).

Titie gemattei tersebut berisi keharusan, kebolehan dan larangan (cepalo) untuk
berbuat dalam penerapan semua elemen Piil Pesenggiri. Memperhatikan proses
normatif hubungan sosial titie gemattei ini, maka dalam aktualisasi penerapannya
senantiasa amat lentur dan fleksibel mengikuti tuntutan perubahan (selalu terjadi
penyesuaian). Contoh; pada masa lalu setiap penyimbang suku di Anek, Kampung,
Tiyuh atau Pekon harus mempunyai tempat mandi khusus di sungai (disebut kuwaiyan, pakkalan), tetapi sekarang sesuai dengan perkembangan zaman diganti
dengan kamar mandi.

Titie gemattie juga mempunyai pengertian sopan santun untuk kebaikkan yang
diutamakan berdasarkan kelaziman dan kebiasaan. Kelaziman dan kebiasaan yang
berdasarkan kebaikkan ini pada hakekatnya menggambarkan bahwa masyarakat
Lampung mempunyai tatanan kehidupan sosial yang teratur. Sikap membina
kebiasaan yang berdasarkan kebaikkan merupakan modal dasar pembangunan dan
pemahaman terhadap budaya malu baik secara pribadi, keluarga maupun
masyarakat. Prinsip hidup yang terkandung dalam titie gemattei merupakan pedoman
dalam pelaksanaan pengawasan terhadap sikap perilaku yang melahirkan cepalo
(norma hukum) yang kongkrit dan terbentuknya tatanan hukum yang baru, sesuai
dengan kebutuhan hidup masyarakat.

Tata nilai budaya masyarakat Lampung sebagaimana diuraikan di atas, pada dasarnya
merupakan kebutuhan hidup dasar bagi seluruh anggota masyarakat setempat agar
survive secara wajar dalam membina kehidupan dan penghidupannya yang
tercermin dalam tata kelakuan sehari-hari, baik secara pribadi ataupun bersama
dengan anggota kelompok masyarakat maupun bermasyarakat secara luas.

Dalam membina kehidupan dan penghidupan yang wajar diperlukan rambu-rambu
normatif sebagai pedoman untuk berperilaku. Rambu-rambu dan pedoman itu
berwujud ketentuan-ketentuan, yang berisikan larangan (cepalo) dan keharusan (adat)
untuk diamalkan oleh setiap anggota masyarakat pendukungnya. Sudah menjadi
kenyataan bahwa pedoman hidup tersebut merupakan sarana untuk pembentukkan
sikap dan prilaku. Dengan demikian diharapkan akan tercipta suatu ketenteraman
dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat Lampung juga mempunyai
strata (tingkatan) kehidupan, baik berdasarkan status genealogis (keturunan, Umur),
maupun status sosial dalam adat (penyimbang buwai, tiyuh, dan suku). Dalam
sistem strata kehidupan masyarakat adat sehari-hari terjadi interaksi antara anggota
kelompok intern satu keturunan adat dan antar kelompok masyarakat yang berbeda
keturunan adatnya. Dalam realitas aplikasi kultural senantiasa terjadi proses
penentuan status, hak, dan kewajiban masing-masing strata berdasarkan kesadaran
bersama.

Status sosial seorang anggota masyarakat dapat dikenali antara lain dari juluk
adeknya yang mencerminkan strata golongan kepenyimbangan. Di samping itu dapat
juga ketahui dari garis lurus status kepenyimbangannya, yaitu penyimbang
buwai/marga, tiyuh/anek atau penyimbang suku. Seseorang yang berstatus sebagai
penyimbang buwai, berarti ia memiliki tanggungjawabnya yang jauh lebih besar dari
pada golongan penyimbang-penyimbang lainnya.

Friday, April 16, 2010

BUDAYA MUAKHI DAN PEMBANGUNAN DAERAH MENUJU MASYARAKAT BERMARTABAT

BUKU

FIRDAUS MUHAMMAD

Penulis: Dr. H. A. Fauzie Nurdin,
Penerbit: Gama Media, Yogyakarta,
Cetakan I, Februari 2009
Tebal: xii + 307 halaman

MASYARAKAT Lampung memiliki karakteristik budaya muakhi yang sarat filosofi lokal. Budaya muakhi--secara sederhana ditafsirkan persaudaraan--menjadi budaya Lampung yang diwariskan leluhur secara lestari. Muakhi juga menjadi "napas" keadaban (baca: etika) dan peradaban Lampung dengan membentangkan persaudaraan, ukhuwah, dan silaturahmi secara terbuka.

Bentangan kearifan-kearifan budaya Lampung, khususnya muakhi, membentuk kesadaran intelektualitas Dr. A. Fauzie Nurdin, M.S., seorang putra Lampung yang secara telaten menyelisik budaya muakhi melalui kajian akademis dalam disertasi yang mengantarkannya meraih doktor ilmu filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM), medio Desember 2008. Resonansi intelektualitas dosen Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung ini terefleksikan dalam buku berjudul Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju Masyarakat Bermartabat.



Buku yang diangkat dari disertasi Fauzie Nurdin terbagi delapan bagian. Pada bagian pertama, diulas ihwal budaya muakhi dalam perspektif budaya Lampung yang kemudian dilihat juga relasinya dalam perspektif Islam; sehingga terbangun sebuah ide bahwa kehidupan masyarakat Lampung tidak terlepas dari nilai-nilai adat dan Islam secara integral.

Muakhi secara konseptual dipahami sebagai nilai etis dalam budaya lokal yang teraktualisasi secara dinamis. Untuk menemukan relevansi muakhi dalam pembangunan daerah, meniscayakan adanya redefenisi pemaknaan muakhi sehingga melahirkan rekonstruksi sosial di Lampung, yakni menjadi model dan modal merajut persaudaraan dalam konstruk ketulusan dan kejujuran.

Dalam konteks ini, penulis buku yang lama bergelut di berbagai organisasi sosial keagamaan ini berangkat dari dua asumsi dasar untuk membangun konseptualisasi muakhi dalam perspektif filsafat sosial. Pertama, adanya pandangan filosofis yang teraktualisasi dalam bentuk-bentuk etis sebagai dasar integrasi masyarakat lokal berbasis persaudaraan yang tetap dilestarikan. Kedua, muakhi ditempatkan sebagai etika sosial sehingga dapat digunakan sebagai pendekatan menyelesaikan distegrasi dan konflik sosial, guna memuluskan arah pembangunan daerah (hlm. 5).

Selain itu, pemosisian muakhi yang berdimensi local wisdom dalam sistem sosial dapat dipahami dari adanya komunitas lokal yang memiliki kemampuan, daya tahan yang sejalan dengan nilai-nilai baru dari komunitas luar.

Memaknai muakhi sebagai etika sosial tidak terlepas dari akar kulturalnya. Muakhi yang berasal dari kata puakhi--yang berarti saudara kandung dan saudara sepupu--lebih luas lagi, kemuakhian menjadi sistem persaudaraan antarmarga. Nilai-nilai itu diracik secara apik dalam prospektif pembangunan dalam pijakan filsafat sosial.

Budaya muakhi dalam konteks pembangunan masyarakat Lampung, khususnya Pepadun, diyakini penulisnya memiliki relevansi dalam membangun kesadaran pelaku yang berbasis pada nilai-nilai lokalitas. Konkretnya, memahami makna muakhi dalam teropong budaya yang diaktualisasikan dalam dimensi moral, sosial, budaya, ekonomi, dan politik diyakini memberi kontribusi dalam pemberdayaan masyarakat lokal dan pembangunan daerah.

Relevansi muakhi di era otonomi daerah sekarang ini, sepatutnya diinternalisasikan sehingga seluruh dimensi pembangunan tidak tercerabut dari akar budaya dan kearifan-kearifan kultural Lampung. Karena itu, muakhi tidak semata ditafsirkan sebagai budaya belaka, tetapi ditempatkannya sebagai etika sosial.

Kemahiran Fauzie Nurdin sebagai tokoh dan budayawan Lampung memberinya talenta akademis dalam menyelami filosofi masyarakat Lampung. Yakni, budaya Lampung berlandaskan pada filsafat hidup piil pesenggiri, menjadikan masyarakat Lampung dapat memahami budayanya sekaligus mengartikulasikan muakhi sebagai etika sosial, berimplikasi terhadap persaudaraan dalam lingkungan keluarga, kerabat, kehidupan kemanusiaan dan pembangunan masyarakat.

Sebagai seorang akademisi tulen, Fauzie Nurdin yang dalam waktu dekat mencapai puncak karier akademiknya sebagai guru besar (profesor) di IAIN Raden Intan secara filosofis menyingkap muakhi sebagai sikap dan pandangan hidup masyarakat Lampung berdasar pada kajian ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Sehingga "deru napas" kearifan budaya muakhi menyeruak sebagai perekat ukhuwah, bahkan perekat persatuan bangsa.

Bagaimana muakhi sebagai nilai persaudaraan yang mencerminkan kearifan lokal dalam konteks kasadaan kolektif, penulis buku ini secara spesifik mengulasnya dalam bagian tersendiri di bab kelima. Dalam hal ini, muakhi dimaknai dalam budaya lokal dan muakhi sebagai pembangun kesadaran.

Untuk menyemai kekhasan khazanah Lampung ini, maka akademisi yang juga bergiat dalam ranah kebudayaan Lampung ini, kemudian menempatkan muakhi sebagai konsep hidup masyarakat Lampung dalam optik filsafat sosial.

Salah satu kekuatan buku ini ada pada keberhasilannya mempertemukan secara integratif relasi antara tradisi Islam dan nilai budaya muakhi dalam masyarakat lokal Lampung. Artikulkasi dari akulturasi dan asimilasi itu terkuak dalam mengamati dialektika Islam dan tradisi lokal Lampung yang "menyatu" atau "terintegrasi" seperti tercermin dalam pengamalan ibadah dalam masyarakat lokal. Kajian ini lebih serius tampak pada bagian keenam buku ini. Aktualisasi muakhi dalam pembangunan daerah diuraikan pada bagain ketujuh.

Kontribusi muakhi terhadap pembangunan daerah makin nyata dengan terinternalisasinya nilai-nilai ini sebagai bagian kesadaran kolektif masyarakat di Lampung, yakni senantiasa mengedepankan nilai-nilai persaudaraan dan solidaritas sosial. Hal ini dapat tercapai melalui pemberdayaan adat sebagai realisasi kesadaran kultural dalam merawat tradisi leluhurnya.

Firdaus Muhammad, Koordinator AFKAR Circle dan anggota Balitbang Dewan Kesenian Lampung.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2009

Friday, April 9, 2010

KEARIFAN LOKAL YANG DITINGGALKAN

TRY HARYONO


SAAT terjadi gempa bumi di Tasikmalaya, Jawa Barat, 2 September 2009, tak ada satu pun rumah di Kampung Naga yang rusak, apalagi hancur. Padahal, seluruh rumah di kampung tradisional masyarakat asli Sunda itu terbuat dari bambu. Umur rumah pun rata-rata sudah puluhan tahun.

Bukan cuma itu. Ratusan rumah buruh perkebunan teh di Kabupaten Bandung yang sebagian besar terbuat dari bambu dan berdinding gedek juga tetap utuh meski diguncang gempa berkekuatan 7,3 skala Richter yang berpusat di Tasikmalaya itu. Padahal, sekitar 8.800 rumah lain yang umumnya terbuat dari bata rusak berat dan sekitar 9.300 rumah lainnya rusak ringan.

Di antara rumah yang rusak berat, termasuk di antaranya bangunan-bangunan megah dan bertingkat yang terbuat dari beton. Ironisnya, kandang kambing di sekitarnya yang umumnya terbuat dari bambu dan kayu tetap utuh. Sama sekali tidak rusak.

Saat terjadi gempa bumi yang mengguncang Padang Pariaman, Sumatera Barat, akhir September 2009, kondisinya hampir sama. Bangunan-bangunan beton bertingkat, termasuk hotel dan rumah, hancur diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,6 skala Richter. Namun, bangunan tradisional rumah gadang yang sebagian besar terbuat dari kayu tetap utuh tak mempan diguncang gempa.

Inilah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat yang sebagian masih terpelihara dengan baik. ”Masyarakat zaman dahulu sudah mengetahui daerahnya rawan gempa. Karena itu, saat membangun rumah pun, dengan alam pikiran yang sederhana, mereka merancang bangunan yang tahan gempa,” kata Arifin Panigoro, pendiri Medco yang membentuk Posko Jenggala untuk menangani korban bencana alam.

Bangunan tradisional yang terbuat dari bambu atau kayu umumnya tidak rusak diguncang gempa karena bahan bangunan itu mempunyai sifat lentur terhadap guncangan. Selain itu fondasi bangunan, ikatan tiang, dan pasak pada kayu diatur sedemikian rupa sehingga bisa lentur saat terjadi guncangan.

Kearifan lokal inilah yang kini secara tidak sadar mulai ditinggalkan masyarakat. Berlagak ingin disebut modern, bangunan rumah pun dibuat dari bata atau beton. Mereka hanya memperhitungkan segi estetis tanpa memerhatikan aspek keamanannya. ”Mereka tidak memperhitungkan jika daerah mereka rawan gempa,” kata Sri Widiyantoro.

Dampak dari diabaikannya kearifan lokal ini boleh dibilang cukup fatal. Saat terjadi gempa bumi di Sumatera Barat, September 2009, misalnya, sekitar 200 orang tewas dan 500 bangunan hancur. Korban tewas umumnya karena tertimpa bangunan bata atau bangunan beton yang runtuh.

Akrab dengan bencana

Pendiri Harian Kompas Jakob Oetama dalam diskusi tersebut mengingatkan, bencana alam, termasuk gempa bumi, kerap terjadi di Tanah Air. Meski demikian, kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat masih lemah. Antisipasi bakal terjadinya bencana masih belum optimal sehingga korban masih banyak berjatuhan.

”Menjadi tanggung jawab bersama untuk melakukan langkah-langkah penyadaran agar masyarakat semakin waspada terhadap datangnya bencana,” tutur Jakob. ”Masyarakat harus akrab dengan bencana dan melakukan langkah antisipasi sehingga jumlah korban bisa ditekan,” paparnya.

Dalam soal kesadaran dan langkah antisipasi menghadapi bencana, masyarakat Jepang sangat layak menjadi contoh. Di Jepang, misalnya, sosialisasi dan pelatihan menghadapi bencana gempa bumi terus-menerus dilakukan secara periodik. Selain itu, infrastruktur dan bangunan sudah dirancang sedemikian rupa sehingga sangat aman ketika terjadi bencana gempa bumi. Bahkan, hal-hal kecil pun sudah diperhitungkan.

Alat pengontrol untuk mematikan saluran gas di rumah, misalnya, sudah diperhitungkan ditempatkan di kolong meja. Dengan demikian, ketika terjadi gempa, bawah meja menjadi tempat berlindung sekaligus mematikan aliran gas agar tidak menyulut kebakaran.

Di Hokaido, Jepang, di setiap blok permukiman selalu ada taman pada lokasi yang posisinya lebih tinggi. Lokasi itu dijadikan zona aman ketika gempa terjadi dan menimbulkan potensi tsunami. ”Kalau ada peringatan bahaya tsunami, setiap orang tahu mereka harus lari ke taman itu,” kata Sri Widiyantoro.

Di Indonesia, kesiapsiagaan menghadapi bencana masih sangat rendah. Bahkan, banyak pemerintah daerah yang belum menyiapkan rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana dan menghadapi situasi darurat.

”Kita masih berperilaku seperti pemadam kebakaran yang datang hanya saat terjadi bencana,” kata Victor Rembeth. Agar tidak sekadar menjadi pemadam kebakaran, Victor menyebut perlunya partisipasi semua lapisan masyarakat untuk menghadirkan culture of safety atau budaya aman dari bencana.

Dalam kaitannya dengan culture of safety, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Endy Subijono mengatakan, sekitar 13.000 arsitek yang tersebar di Tanah Air sebenarnya siap memberikan bantuan merancang bangunan tahan gempa. Namun, keahlian mereka selama ini kurang dimanfaatkan secara optimal.

Hanya beberapa pihak saja yang sudah memanfaatkan jasa arsitek ini dalam penanggulangan bencana. Posko Jenggala yang menangani korban bencana alam, misalnya, sudah membangun rumah tahan gempa di Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Barat masing-masing sekitar 200 rumah dengan memanfaatkan potensi dan kearifan budaya lokal.

Di Sumatera Barat, misalnya, karena banyak pohon kelapa berusia tua dan tidak produktif, maka digunakan batang pohon kelapa untuk membangun rumah tahan gempa. ”Biaya jauh lebih murah, hanya sekitar Rp 17,5 juta untuk rumah tipe 48,” kata Andi Sahrandi, aktivis penanganan bencana dari Posko Jenggala.

Adapun di Jawa Barat, sesuai potensi dan budaya lokalnya, digunakan bambu untuk konstruksi bangunan tahan gempa. ”Ada sekitar 1.250 jenis bambu, sekitar 140 jenis di antaranya banyak terdapat di sekitar kita. Namun, potensi ini tidak dimanfaatkan secara optimal,” kata Bambang P Nugroho.

Menyadari potensi ini, pihaknya bersama Posko Jenggala membangun sekolah, masjid, dan rumah percontohan di Kabupaten Garut dengan menggunakan konstruksi bambu. ”Kelihatannya lebih indah, mudah didapat, sangat kuat jika cara penebangannya benar dan biaya pembangunannya murah. Tugas kita menyadarkan masyarakat agar jangan gengsi menggunakan bambu untuk daerah-daerah rawan gempa,” kata Arifin Panigoro.

Kearifan lokal yang mulai ditinggalkan kini dicoba untuk ditumbuhkan kembali....

Sumber: Kompas, Selasa, 30 Maret 2010

MELACAK ORANG LAMPUNG DARI ZAMAN MEGALITIK

BUDI P.HATES

Bagian 1.


Di Kabupaten Lampung Barat, di ujung paling Utara dari Provinsi Lampung, ribuan tahun lalu sudah tercipta peradaban manusia yang menghasilkan menhir, dolmen, batu datar, batu berurut, dan batu kandang. Benda-benda zaman megalitik itu tersebar pada puluhan titik di kabupaten tersebut. Tapi, seolah tidak ada artinya bagi pemerintah daerah, kawasan arkeologik yang tidak ternilai itu, terlantar dalam rerimbun kebun kopi rakyat dan gairah anak-anak muda memadu cinta.

Kabupaten Lampung Barat, sebuah daerah hasil pemekaran Kabupaten Lampung Utara, selalu disinggung dalam setiap pembicaraan tentang geneologi orang Lampung (ullun Lappung) dan dikaitkan dengan keberadaan Gunung Pesagi di daerah itu. Dari kaki gunung yang senantiasa diselimuti kabut itu, telah lahir foklor-foklor yang menguatkan mitos tentang asal-muasal orang Lampung. Sebut saja foklor Skala Beghak, disebut sebagai sebuah kerajaan di kaki Gunung Pesagi dengan masyarakat marga yang terdiri dari empat buay: Bejalan Di Way, Belunguh, Nyerupa, dan Pernong.

Keturunan keempat buay inilah menjadi penghuni Kabupaten Lampung Barat, yang awalnya menyebar dari daerah asalnya perkampungan (tiyuh) di kaki Gunung Pesagih untuk membuka umbul (calon perkampungan) di daerah-daerah lain dan kemudian dijadikan tiyuh baru. Kota Liwa, ibu kota Kabupaten Lampung Barat, merupakan sebuah tiyuh yang muncul belakangan. Tiyuh yang dibangun masyarakat kebuayan itu perkembangannya lebih pesat dibanding tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi—begitu juga asal muasal tiyuh di daerah lain di Provinsi Lampung. Berdasarkan data etnohistori yang diperoleh Balai Arkeologi Bandung saat penelitian pada tahun 2000 dan 2002 di Situs Benteng Sabut (Bujung Menggalou) di Kecamatan Tulangbawang Udik, Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay—leluhur masyarakat di tiyuh setempat—disebut berasal dari Gunung Pesagi (Saptono, 2002: 91-94).

Seperti ketika orang menyinggung Pusuk Buhit Sianjur Mula sebagai asal muasal orang Batak, maka Gunung Pesagi diposisikan sebagai asal-muasal orang Lampung (ullun Lappung). Mereka yang tak percaya akan menilai geneologi semacam itu sangat kuat dipengaruhi pemikiran mitos, apalagi setelah Prof. Hilman Hadikusuma mengumumkan tiga skenario asal-muasal ullun Lappung dalam bukunya. Salah satu skenario itu menyebut ullun Lappung merupakan keturunan Ompu Silampoang yang mengungsi dari Sumatra Utara setelah sebuah gunung berapi—kemudian menjelma menjadi Danau Toba -- meletus di daerah itu. Kebenaran mitologi itu tetap dipercaya hingga kini, karena setiap orang tampaknya sukar untuk menemukan keterkaitan antara Gunung Pesagi dengan tiyuh-tiyuh lain di wilayah Provinsi Lampung.

Kondisi ini disebabkan perpindahan masyarakat dari tiyuh awal di kaki Gunung Pesagih ke umbulan yang dipersiapkan menjadi tiyuh, lebih banyak didorong oleh keinginan-keinginan mendasar dari masyarakat marga yang pindah untuk membentuk masyarakat baru yang memiliki sistem sosial berbeda dari masyarakat awal di tiyuh awal itu. Ketika sebuah daerah perpindahan masih berupa umbulan, daerah itu memiliki keterkaitan dalam segala sistem sosial budaya dengan system sosial budaya yang berlaku di tiyuh awal. Namun, setelah umbulan meningkat statusnya menjadi tiyuh, banyak dari masyarakat di daerah yang menjadi tiyuh baru itu akan membangun system sosial budaya sendiri. Meskipun banyak dari nilai-nilai budayanya masih mengadopsi nilai-nilai awal yang dibawa dari tiyuh awal, namun perubahan sistem sosial budaya mesti menghasilkan sistem pemerintah baru.

Masyarakat Lampung pada umumnya masyarakat adat. Di dalam masyarakat adat berdasarkan keluarga, dikenal istilah batin (pemimpin adat) dan masyarakat. Batin merupakan lingkungan keluarga adat yang oleh Belanda disebut sebagai perwatin (kaum priyanyi kalau dalam lingkungan masyarakat Jawa). Dalam sistem administrasi pemerintahan zaman Belanda kaum perwatin ini biasanya diberi kedudukan sebagai pesirah atau kepala kampung.

Sedangkan masyarakat biasa adalah rakyat (di zaman belanda disebut morwatin) dan sepanjang hidupnya selalu akan menjadi rakyat biasa di mata sistem adat. Tapi, di zaman Belanda melalui politik adu domba karena para batin tidak mau patuh pada Belanda – ini dibuktikan adanya pemberontakan oleh Radin Intan (bagian dari keluarga batin di Keratuan Darah Putih) terhadap Belanda—morwatin acap diangkat menjadi pesirah atau kepala kampung yang kemudian menabalkan diri sebagai keluarga batin bentukan Belanda.

Pemahaman tentang batin berangkat dari garis keturunan ayah (patrilinear) atau biasa disebut keluarga batin, yang memosisikan anak laki-laki sebagai ahli waris paling sah kepemimpinan adat. Anak sesungguhnya dalam keluarga Lampung adalah anak laki-laki, tetapi anak laki-laki pertama merupakan anak paling terhormat. Ada hirearki dalam lingkungan masyarakat adat Lampung yang tidak tergoyahkan, yang oleh Belanda ditentang karena membuat masyarakat Lampung jadi berkasta.

Dalam hirearki masyarakat adat tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi, posisi tertinggi dari keluar batin dijabat oleh anak laki-laki bertama dan diberi gelar Suntan. Berturut-turut kemudian anak kedua bergelar Raja, anak ketiga bergelar Batin, anak keempat Radin, anak kelima bergelar Minak dan seterusnya. Seorang Suntan merupakan seorang junjungan, penentu segala bentuk dinamika kehidupan masyarakat adapt, dan tidak akan tergantikan oleh anak kedua dan seterusnya sekalipun oleh kematian. Posisi itu hanya akan digantikan oleh anak pertama Suntan yang penobatannya dilakukan melalui sebuah acara adat yang disebut pepadun (singgasana raja).

Hierarki adat yang begitu ketat, mengalami perubahan makna yang sangat keliru setelah tradisi perpindahan dari tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi. Munculnya umbulan-umbulan yang kemudian menjadi tiyuh-tiyuh dan tersebar di berbagai pelosok Provinsi Lampung, membuat masyarakat di tiyuh-tiyuh baru itu melepaskan segala bentuk keterkaitannya dengan tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi. Termasuk dalam perubahan sistem adat, meskipun masih dilakukan adopsi terhadap sistem adat dari tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi.

Di lingkungan tiyuh baru, masyarakat akan menjadi masyarakat adat yang baru, yang juga membutuhkan kehadiran keluarga batin sebagai keluarga pemimpin adat. Keluarga batin di tiyuh baru ini merupakan keluarga pembuka umbulan, dimana posisi Suntan dipegang oleh motor pembuka umbulan.
Dalam perkembangan kemudian, banyak dari masyarakat di tiyuh-tiyuh baru itu menghapus segala bentuk keterkaitan (hubungan) dengan tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi. Penghapusan atau penghilangan ini berkaitan dengan kokohnya posisi kepemimpinan adat di hadapan masyarakat adat, sehingga berbagai kegiatan adat di tiyuh baru akan selalu memosisikan pemimpin adapt sebagai Suntan. Jika tidak diputus, posisi Suntan pemimpin adat pada tiyuh baru itu tetap berada di bawah bayang-bayang Suntan pada tiyuh awal di kaki Gunung Pesagi.

Bersambung (Masyarakat Tiyuh Baru Lebih Dinamis)

Sumber : Catatan pada facebook Budi P. Hates.

Diandra Natakembahang
Luar biasa, sebuah catatan dan analisa yang bergizi dan menggelitik terutama jika dilihat dari faktor bahwa Puakhi Budi adalah Ulun Lampung yang datang dan berangkat dari clan Sumatera Utara, Lanjutkan Puakhi.............
06 April jam 18:58

Budi P Hatees
LK: Setuju, Bang. Ada Diandara di sini. Jadikan Lampung Barat Pusat Kebudayaan Lampung. Situs-situs Saya sendiri sudah memilih cara mendirikan Dewan Kebudayaan Lampung (Lampung Culture Center) bersama sejumlah dosen dan tokoh adat Lampung.
06 April jam 20:00

Oky Sanjaya
terbuka dan terbukalah semua...
06 April jam 21:58

Muhammad Aqil Irham
kita berterimakasih kepada Budi yang dengan sabar mengumpulkan informasi dan data sejarah kelampungan. kemudian coba kt diskusikan & diteliti apa kiprah raja-raja/sutan2/dalom/pangeran dlm perubahan sosial kontemporer? di mana posisi sosial-politik mereka skrg
Kam pukul 17:51

Budi P Hatees
Oky: sudah!

WS: Jengki, terima kasih kembali.

Imelda: apakah yang diinginkan dengan semua ini? yang terjadi dengan lampung bukan sekedar proses modernisasi. lampung sudah mencapai apa yang sebetulnya dicari orang zaman sekarang yaitu peradaban. Pada sejumlah tiyuh (kampung tua) di Lampung, selalu ditemukan pertapakan berupa benteng dengan kenali (parit) dan pembagian ruang-ruang seperti lapangan (publik spare), pasar, perkantoran, perkampungan yang menunjukkan kampung-kampung itu pada awalnya sudah moderen. Tata kota seperti itu bisa ditemukan disebagian besar kampung di Tulangbawang. Kenali dan benteng hanya muncul dari masyarakat yang telah mengenal strategi militer dan itu hanya dihasilkan oleh masyarakat yang memiliki sistem yang jelas. ... Lihat Selengkapnya

Apa yang ingin dicapai dengan mengungkap semua ini? Pertanyaan saya balik: "Kemana semua yang sudah dicapai orang lampung selama ini?"

MAI: Bang Aqil, itu pertanyaan subtansial. Sekelompok masyarakat porwatin di Tanggamus pernah mengusulkan kepada Pemda agar di kampung mereka dibangun lamban untuk Pangiran. Padahal, Pangiran masyarakat kampung itu sudah lama merantau dan tidak ada lagi ahli waris. Mereka memutuskan akan membangun LAMBAN AGUNG agar di kampung mereka ada rumah Pangiran meskipun tidak punya Pangiran lagi. Yang penting ada Lamban Agung itu. Sayangnya, Pemda tak memahami konsep budaya seperti itu dan tidak memenuhinya. Mereka (seperti kebanyak masyarakat Lampung) hidup tanpa pemimpin adat (komunitas batin).
Kam pukul 19:56

Oky Sanjaya
pergeseran nilai kelampungan yang tidak positif membawaku pada jalan optimis bahwa; sesuatu (yang sengaja ditutupi) telah terbuka. sesuatu yang disengaja itu akan ketahuan dalangnya. Aku teringat diskusi sastra Impian Usai WS di UKMBS Unila. Pesoalannya bukan siapa benar siapa salah tapi: Spiritualitas Lampungnya, mana? (mengingat perkataan WS ... Lihat SelengkapnyaKunci puisi-puisi saya adalah spiritualitas Bali). Jika kau datang ke Bandarlampung kita akan tertipu dengan menara sigernya. tapi jika kau datang ke makam-makam tua kau akan tahu spiritualitas watak masyarakat kami yang beradab. Kemana semua yang sudah dicapai orang Lampung selama ini? Dikanik Buha.

Fachruddin Dani
Lampung memang unik, bukan saja menhir, dolmen, batu berlubang dan batu bergores, tetapi di Kalianda diketemukan kapak primbas dan di Krui diketemukan sampah kerang. Lebih unik lagi di situs Pugung Raharjo, diketemukan budaya megalitik, prasasti dan naskah Islam dalam satu situs yang masih insitu. Luar biasa. Karena itu semua berada pada periode periode yang berbeda. Jadi Lampung ini memang sudah lama dihuniu manusia.

Sayang catatan Budi P. hates ini bunga rampai yang melilit kemana-mana tidak fokus pada satu permasalahan. Tapi gak apa ini sudah sangat bagus.

Menjadi catatan pentiung bahwa dahulu masyarakat menggunakan sungai sebagai sarana transportasinya, sehingga situs situs itu benyak bertebaran disepanjang aliran sungai sungai, tetapi areal sungai semakin mengecil, sehingga mengesankan mereka hidup di kaki bukit.... Lihat Selengkapnya

Sejarah mencatat kedatangan para perompak laut yang menelusuri sungai yang akhirnya dirasakan semakin mengusik ketenangan penduduk, yang juga menjadi faktor penyebab pesebaran masyarakat dari satu tempat ke trempat lain.

Tetapi perlawanan terhadap perompak tetap dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya pimpinan perompak dapat ditangkap, leher dan badannya dipisahkan, dan kepalanya dikubur di "Makam Cangok" Bukit Kemuning"

Kanwil Depdikbud Provinsi Lampung telah membebaskan telah membebaskan lahan situs sehingga situs tetap insitu, tetapi dengan kemampuan yang terbatas, lahan yang dibebaskan hanya sebatas zona inti. Padehal seharusnya zona penyangga situs harus dibebaskan juga. Pemerintah Pusat pada waktu itu berharap banyak agar Pemerintah Daerah berpastisipasi dalam pemeliharaan, pemanfaatan dan penjualan serta membebaskan zona penyangga.

Tetapi justeru stagnasi terjadi pada era otonomi, karena Dinas Pembina lebih cenderung menjual tinimbang memelihara dan mengembangkan. Tetapi ini semua tidak terlepas dari keterbatasan dana
26 menit yang lalu ·

Fachruddin Dani
Perkembangan di lampung tentu saja terbawa oleh arus perjalanan sejarah. Dari peradaban megalitik, prasejarah, sampai mengenal baca tulis yang ditandai dengan prasasti prasasti, Hindu, lalu masuk era Islam dan akhirnya babak penajajahan, Jadi jika kita selalu saja menginginkan adanya nilai nilai budaya lampung yang katanya genuin.

Piil pesenggiri umapamanya, yang sangat dipengaruhi oleh Islam, islam masuk antara lain melalui Banten. Maka yang terjadi adalah akulturasi budaya.

Sebenarnya tidak ada budaya yang orisinal, asli, budaya yang kita miliki ini adalah hasil kontak kontak budaya. ... Lihat Selengkapnya

Saya tidak sependapat dengan pihak pihak yang mengatakan bahwa Lampung ini semula menjadi jajahan perompak. karena buktinya akhirnya masyarakat berhasil melumpuhkan perompak dan membunuh pimpinan mereka.

Demak, Cirebon dan Banten juga bukan Kesultanan penjajah yang menjajah Lampung, karena karakter Kerajaan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten adalah sebagai Kerajaan dan Kesultanan dakwah. Yang kita dahulu tahu ada dua pihak yang menyelenggarakan dakwah yaitu "Ilmuan yang Saudagar" dan "Ilmuan Yang Kewsatria"

Hasil penelitian "Islamisasi" yang terekam di wilayah aliran sungai di Tulang bawang dan Sekampung menunjukkan adanya makam makam dari kedua unsur tersebut. Jangan heran karena wilayah Lampung ini memang merarik bagi para saudagar tingkat internasional, karena Lampung penghasil rempah rempah yang menyemarakkan pelabuhan Banten.
10 menit yang lalu

Sunday, April 4, 2010

LAMPUNG MILIK SEMUA KULTUR

Oleh ICHLAS SYUKURIE dan Y. WIBOWO


Dipublikasikan di Lampung Post edisi 5 Agustus 2006

BELAKANGAN muncul di sekitar kita sekelompok masyarakat yang menyebut diri Formala (Forum Masyarakat Lampung). Kelompok ini menjadi potret heterogenitas kultural masyarakat yang hidup di provinsi ini karena ditata dari penganut kultur-kultur yang beragam. Ada Jawa, Sunda, Bali, Semendo, Batak, Bugis, Banten, dan lain sebagainya, yang selama ini menjadi inheren dengan pembentukan sejarah antropologi masyarakat di Provinsi Lampung.

Terhadap kehadiran kelompok ini, yang secara politis berusaha menegaskan eksistensinya sebagai bagian dari realitas dinamika kehidupan di provinsi ini, ada banyak hal positif sekaligus negatif yang dapat mengemuka. Salah satu hal positif itu, kehadiran Formala terasa ingin menegaskan eksistensi ragam kultur penatanya sebagai bagian realitas kehidupan di provinsi ini. Penegasan itu terlihat dari usaha terlibat dinamika konflik elite dengan menyeru pentingnya rekonsiliasi sebagai konsensus.

Namun, justru karena hal positif inilah akhirnya terungkap hal negatif bahwa upaya penegasan eksistensi ini menjadi sangat kuat dipengaruhi politik, sehingga memberi kesan hendak mendukung salah satu kubu dalam dua mainstream elite yang konflik. Tetapi, terhadap hal negatif itu kita abaikan dalam tulisan ini sambil berupaya meminimalisasi dampaknya terhadap dinamika kehidupan sosial masyarakat Lampung. Sebaliknya, kita pantas mendukung mengingat Formala menjadi sebuah ikon untuk melebur segala perbedaan kultur yang ada dalam semangat kebersamaan dalam konsep masyarakat Lampung.

Satu soal pokok yang hendak ditegaskan adalah kenyataan provinsi ini menjadi milik semua penganut kultur yang ada. Dengan cara masing-masing, kultur-kultur itu memberi warna yang cemerlang terhadap dinamika sosial masyarakat. Warna yang pantas dicatat sebagai potret dari sebuah kerja sosial yang serius untuk menjaga dan melestarikan integritas tanpa menimbulkan resistensi terhadap setiap kultur penatanya.

Dengan begitu, hal ini sekaligus menegaskan sebagai terbukanya sebuah fase dalam sejarah antropologi di Lampung bahwa sudah bukan zamannya lagi membesar-besarkan klaim tentang Lampung hanya memilik kultur utama (first of culture) atau mainstream kultur, yakni kultur Lampung, sedangkan kultur-kultur lain merupakan kultur kedua (second of culture). Pada era Orde Baru, selama hampir 30 tahun klaim serupa itu menjadi sebuah bentuk perlawanan daerah atas hegemonisasi pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Jakarta.

Kita menyadari betul hegemonisasi pemerintah pusat ditancapkan dalam tubuh birokrasi negara lewat penempatan tokoh-tokoh tertentu sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan di daerah, sehingga untuk waktu sangat lama posisi-posisi sentral seperti kepala daerah tidak akan pernah bisa dinikmati tokoh-tokoh di daerah.

Posisi-posisi itu didesain pemerintah pusat menjadi posisi yang mesti dipegang kaki tangan pemerintah, yang bisa diatur, diberi komando, dan dibubarkan sekehendak pemegang kekuasaan negara. Pemerintah pusat sangat kuat sebagai sebuah rezim yang mengooptasi segala dinamika masyarakat, sehingga mampu melamahkan tokoh-tokoh di daerah. Terhadap negara yang sentralistik seperti itu, daya kritis masyarakat di daerah menjadi tidak berarti, lalu mengkristal menjadi gerutuan-gerutuan personal yang tak bisa diungkapkan kepada publik.

Ketika reformasi bergulir, gerutuan personal itu menemukan signifikansinya dalam sebuah gerakan sosio-kultural untuk mempertegas eksistensi masyarakat daerah dengan mengedepankan konsep putra daerah. Namun, dalam perkembangannya hingga hari ini, konsep putra daerah dimaknai secara tidak produktif, yakni sebagai perlawanan atas hegemonisasi pemerintah pusat di daerah.

Sementara itu, konsep pusat untuk masyarakat Lampung bukan dalam pemahaman tentang birokrasi pemerintah semata, tetapi juga segala sesuatu yang pernah dilakukan dan diberikan pemerintah pusat, termasuk program-program nasional berupa transmigrasi.

Disebut tidak produktif karena perlawanan tidak semestinya ditujukan kepada pemerintah pusat, tetapi terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di daerah seperti kemiskinan, lemahnya akses terhadap barang-barang produksi, rendahnya tingkat pendidikan, berbagai jenis penyakit, dan lain sebagai.

Namun, karena semua mengarahkan perlawanan terhadap pemerintah pusat, kesan yang ditangkap akhirnya adalah sikap chauvanistik kultur. Konsep first of culture makin kuat memengaruhi pilihan sikap sosial dan kultural, dan sadar atau tidak hal ini seperti sebuah upaya menjaga kemurnian kultur, sesuatu hal yang sukar dilakukan pada zaman yang serbaterbuka kini.

Kita tahu, struktur antropologi masyarakat Lampung pascatransmigrasi tidak cuma ditata dari unsur-unsur kultur Lampung, tetapi ada unsur kultur lain yang tak bisa diabaikan peranannya. Mereka ikut andil menghidupkan struktur sosial yang ada, memunculkan komunitas-komunitas sosial, dan memainkan peran aktif dalam bidang-bidang produksi seperti pertanian, perkebunan, dan peternakan.

Sayang, dalam proses sangat panjang selama ini, peran unsur-unsur dari kultur lain itu selalu diposisikan sebagai "pendatang", terutama sangat dirasakan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan kebudayaan yang dilakukan pemerintah daerah. Kita tidak pernah melihat ada upaya serius dari pemerintah daerah untuk menjaga, melestarikan, dan memajukan kultur-kultur di luar kultur Lampung, seperti kebijakan yang dirumuskan untuk berusaha menjaga kultur Lampung.

Cara pandang seperti ini tidak seharusnya dimiliki lagi masyarakat Lampung. Jika dilihat dari komposisi demografi, jumlah penduduk yang menganut kultur Lampung lebih sedikit dibandingkan penduduk yang menganut kultur-kultur lain. Berdasarkan data Bappeda Lampung, penganut kultur Lampung cuma 32,25% dari tujuh juta jiwa penduduk Lampung. Sisanya, 67% total penduduk menganut kultur Jawa, Sunda, Banten, Bali, Sumatera Selatan, Bugis, Flores, Batak, Irian, Ambon, dan lain sebagainya.

Sebab itu, jika perhatian pemerintah terhadap penganut kultur-kultur lain yang ternyata dominan dianut penduduk Lampung tetap saja dengan cara berpikir second culture, dampaknya akan sangat serius terutama bagi masa depan pembangunan daerah. Lampung hanya akan menjadi laboratorium persoalan bagi kultur-kultur lain, sehingga provinsi ini tidak pernah bisa memikirkan secara serius bagaimana melaksanakan pembangunan daerah.

KEMANDEKAN KEBIJAKAN BAHASA LAMPUNG

IMELDA
Peneliti di Puslit Masyarakat dan Budaya, LIPI

Bahasa menunjukkan bangsa.
(Hadikusuma, 1989:24)

Ketika Hilman Hadikusuma membahas gagasan kebahasaan dalam buku Masyarakat dan Adat Lampung (1998), baris pertama tulisannya memberikan sebuah petuah penting, yaitu bahasa menunjukkan bangsa. Terlepas dari homogenitas yang melatari hadirnya buku tersebut, Hadikusuma sadar sekali bahwa bahasa menjadi penciri atau identitas yang khas untuk merujuk pada diri seseorang/sekelompok orang.

Tentu kita juga sadari hal ini, misalnya, ketika berbicara dengan orang Jawa, segera kita tahu karena bunyi-bunyian yang diucapkan oleh lidahnya menunjukkan sesuatu yang khas tentang diri si penutur.

Identitas dan bahasa menjadi menarik untuk lebih disoroti ketika dibawa ke dalam ranah politik daerah seperti Provinsi Lampung yang sedang mencari-cari jati dirinya yang ternyata tidak sama dan ini ditekan sedemikian rupa, sehingga menjadi energi yang habis tanpa guna.

Sedikit pertanyaan untuk berkontemplasi, daerah mana yang tidak memiliki dialek dalam hal kebahasaan? Bahasa Melayu saja banyak dialeknya. Sebut saja Melayu Riau, Melayu Ternate, Melayu Betawi, Melayu Papua, dan lain-lain. Dalam lokus yang lebih kecil lagi, bahasa Jawa juga banyak jenisnya, dari Jawa Ngapak hingga Jawa Keraton. Dapat saya katakan bahwa perbedaan dialek itu biasa saja dan tidak seharusnya ditekan, diberi garis bawah atau dicetaktebalkan.

Kembali kepada bahasa Lampung dan ragam dialeknya, dengan demikian, merupakan sesuatu yang biasa-biasa saja. Ada dialak A (api) dan dialek O (nyo) yang memiliki beragam varian yang justru menjadi menarik dan menandakan betapa lokus budaya ini kaya akan dialek dari satu bahasa. Selanjutnya, apa yang menjadi persoalan ketika wacana standardisasi bahasa diluncurkan? Tarik-menarik antardialek dengan berbagai aktor, antara lain: politik, adat, dan akademisi. Tiga elemen penting yang menopang perkembangan kebahasaan di Lampung ini masih bertarung sengit.

Aktor politik yang melahirkan kebijakan masih belum mampu bergerak karena pemangku adat masih tetap berkeras bahwa dua dialek Lampung (api dan nyo) ini berbeda. Mereka masih memberi garis pembeda yang tebal di antaranya sehingga seperti minyak dan air yang tidak menyatu. Sementara itu, para aktor akademisi yang menjadi mesin kohesi masih terus saja menjadi juru kampanye masing-masing asal dialek dengan membuat berbagai perangkat pengesahan perbedaan, seperti kamus dan wacana lainnya yang saling membedakan.

Keadaan ini akhirnya, lagi-lagi membuat pembuat kebijakan politik seperti macan ompong yang hampir mati lemas karena dilempar ke sana dan ke mari dengan berbagai wacana perbedaan. Demikian juga wacana pemilihan dialek Lampung campuran (saya menolak istilah "Lampung cadang" karena ini mendiskreditkan kelompok masyarakat Lampung yang menggunakan kombinasi dialek nyo dan api) dinilai sebagai ide yang ideosinkratik karena tidak taat dengan kemurnian kelampungan.

Wacana dan realitas pertarungan elite di atas mau tidak mau, akhirnya, menimbulkan efek yang tidak sederhana di ranah pengajaran bahasa Lampung. Mengapa saya bisa mengatakan demikian? Ini karena perkembangan pengajaran bahasa Lampung masih stagnan dengan pengajaran aksara Lampung yang buat saya secara pribadi tidak ada gunanya secara praktis. Coba jawab pertanyaan ini, teks mana yang ditulis dengan aksara Lampung yang bukunya diterbitkan akhir-akhir ini? Pasti jawabannya tidak ada. Lantas, mengapa ini yang masih diajarkan di sekolah-sekolah?

Lagi-lagi, saya katakan bahwa ternyata kita masih antiperbedaan. Mengapa demikian? Karena kita masih bersembunyi di balik aksara yang diajarkan dengan berpura-pura mengaku Lampung itu satu dan sama sehingga apa yang menyatukan saja yang diajarkan. Nah, yang menyatukan berbagai dialek Lampung ini adalah aksara Lampung, makanya kita menjunjung sangat pengajaran aksara ini.

Apa yang sebenarnya terjadi saat ini ialah masih bertahannya borok-borok Orde Baru yang menekan homogenitas, yang sama sekali tidak berkontribusi baik bagi perkembangan pengajaran bahasa Lampung yang lebih komunikatif dan berfungsi sebagaimana layaknya bahasa. Kita lebih senang dengan bermimpi bahwa mengajarkan aksara bahasa Lampung akan kekal, padahal di dunia nyata aksara ini tidak lagi berguna karena alfabet Romawi lebih bisa dipahami oleh generasi muda Lampung yang notabene menjadi penerus eksistensi bahasa Lampung.

Saya memang ingin mengundang polemik melalui tulisan ini supaya ada pemecahan bagi kemandekan pengajaran bahasa Lampung yang masih tarik menarik mengenai perbedaan. Tidak bisakah kita duduk bersama dan saling berdiskusi untuk masa depan bahasa Lampung yang katanya menjadi ciri bangsa ini? n

Sumber : Lampost 10 Februari 2010

MASYARAKAT ADAT dan KEBANGSAAN

Masyarakat Adat dan Kebangsaan

TERNYATA tidaklah mudah menata ulang identitas suatu bangsa, terlebih ketika jejak historis bagaimana dan di mana hulu kebangsaan itu muncul makin kabur dan sayup. Rumitnya lagi, di tengah itu semua selalu muncul keinginan untuk menata ulang kesadaran ihwal sebuah bangsa dengan identitas yang berhulu dari apa yang sesungguhnya telah lama ada, setelah berbagai pilihan dilakukan dan ternyata tak pernah bisa menjawab kekinian. Alih-alih memberi jawaban pada identitas, berbagai pilihan itu justru membuat bangsa ini mengalienasi sejarah dirinya sendiri. Bangsa ini akhirnya hidup dalam identitas yang tak berakar sekaligus tak berpucuk.


Pilgrim 2009--charcoal, pensil, akrilik di atas kanvas karya Ibnu Thalha. (SALIHARA)


Kembali menoleh pada masyarakat adat demi memaknai identitas kebangsaan mungkin tak ubahnya sebuah tamsil ihwal ziarah waktu yang jauh dan tak mudah. Cara pandang terhadap masyarakat adat senantiasa dibebani oleh cara pandang tentang masa lalu yang kolot dan lapuk, sistem nilai yang irasional, dan anggapan ketidakmampuan mereka mengikuti perubahan. Belum lagi kebijakan politik negara yang melabeli mereka sebagai suku terasing.

Oleh karena itulah, menoleh kembali pada masyarakat adat demi memaknai identitas kebangsaan sesungguhnya mengharuskan banyak orang mengenali identitas masyarakat adat itu sendiri seraya melepaskan godaan untuk mendefinisikan mereka menurut definisi tertentu yang selama ini diimani. Termasuk dalam mengimani waktu. Spirit dan filosofi waktu dalam sistem nilai masyarakat adat mestilah disendirikan dari bagaimana modernitas selama ini mengajarkannya. Dan inilah yang dimaknai oleh W.S. Rendra dengan ungkapannya, "Kemarin dan esok adalah hari ini". Waktu dalam ruang yang mengalir menjadi identitas kebersatuan.

Membaca kembali masyarakat adat demi menata ulang kesadaran ihwal identitas kebangsaan ini mengemuka dalam seminar di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Rabu (28/10), hasil kerja sama panitia dengan berbagai pihak, termasuk H.U. Pikiran Rakyat. Seminar ini mengawali serangkaian program dari event Bandung Mengenang Rendra yang berlangsung hingga 16 November 2009. Seminar bertajuk "Hukum Adat dalam Perspektif Kebangsaan" ini menemukan momentum yang tepat dalam konteks peringatan Sumpah Pemuda.

Perbincangan pun melepaskan dirinya dari batasan-batasan persoalan hukum adat, meluas hingga persoalan-persoalan sejarah, bahasa, demokratisasi, pluralisme, dengan sejumlah persinggungannya ke berbagai pemikiran. Dari mulai pelacakan ke dalam biografi pemikiran Rendra tentang masyarakat adat, pemaknaan spirit masyarakat adat yang tidak melulu bersandar pada masa lampau, hingga kemungkinan memformulasikan desa adat dalam masyarakat kontemporer di tengah revolusi teknologi komunikasi.

**

SEMINAR yang menghadirkan pembicara Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat (Aman) dan budayawan Taufik Rahzen ini berlangsung dalam suasana lesehan di ruang serba putih di tengah karya-karya lukisan Hanafi yang sedang dipamerkan. Dipandu Aat Suratin, berbagai pandangan mengemuka dan menawarkan sejumlah pemikiran ihwal masyarakat adat dan hubungannya dengan kesadaran identitas kebangsaan, seraya menegaskan kembali posisi sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai bagian dari potensi budaya lokal yang akhir-akhir ini banyak kembali ditoleh setelah berbagai ideologi politik, ekonomi, dan budaya ternyata malah membuat bangsa ini makin kehilangan identitas dan harga dirinya.

Abdon Nababan banyak mengurai ihwal masyarakat adat, serta apa yang membedakan mereka dengan komunitas masyarakat di luar dirinya. Abdon menolak asumsi bahwa hukum adat bisa menjadi representasi pemahaman perihal masyarakat adat. Baginya hukum adat hanyalah salah satu subsistem yang termaktub dalam sistem nilai masyarakat adat. Di bagian lain uraian Abdon menarik karena ia memberi sejumlah penjelasan perihal proses tergerusnya komunitas adat yang dimulai ketika munculnya konsep negara, dari mulai kerajaan dan kesultanan hingga negara modern hari ini. Konsep kuasa negara semacam ini tak hanya meniadakan komunitas adat, tetapi juga mengaburkan batasan antara pengertian bangsa, negara, dan pemerintah. Pengaburan ini makin membuat komunitas adat termarginalkan, termasuk dalam konteks kebangsaan. Ini menjadi sebuah ironi sebab lahirnya kesadaran kebangsaan sebagai suatu identitas di negeri ini tidaklah bisa disendirikan dari masyarakat adat.

"Sumpah Pemuda yang kita digaungkan selalu hanya menyangkut tiga poin, padahal kalau kita periksa seluruh dokumen keputusan Kongres Pemuda tahun 1928 di bawahnya ada beberapa poin yang salah satunya adalah soal hukum adat, landasan dari semua kebersamaan kita sebagai bangsa itu adalah hukum adat. Itulah yang selalu dibicarakan oleh Rendra. Sumpah Pemuda tidak diurus oleh bangsa ini secara utuh, termasuk didalamnya hukum adat," kata Abdon, seraya menegaskan bagaimana pendekatan terhadap masyarakat adat bisa menjadi ruang yang reflektif untuk menata ulang kesadaran identitas kita sebagai sebuah bangsa.

Taufik Rahzen melihat bahwa peristiwa Sumpah Pemuda bukanlah peristiwa yang berhubungan dengan konsep kenegaraan, melainkan esensi yang lebih menekan pada identitas kebangsaan. Adanya kesatuan tanah dan air merupakan sumbangan penting masyarakat adat terhadap identitas kebersamaan sebagai suatu bangsa. Termasuk juga bagaimana mereka menyerahkan hak-hak kebahasaan mereka pada bahasa Melayu.

"Kelahiran kesadaran suatu bangsa di Indonesia menjadi unik karena ia bukan hasil dari suatu ideologi, agama, atau yang dibentuk oleh negara. Tetapi dari keyakinan bahwa kita memiliki satu bahasa dan tanah air yang sama," ujarnya.

Secara menarik Taufik Rahzen mengurai perjalanan masyarakat adat dalam membangun peradaban di Nusantara dan hubungannya dengan sistem simbol, sampai kemudian terbentuknya sekelompok elite yang menguasai bahasa dan aksara penandaan, yang secara perlahan mengalienasikan komunitas adat dari organisasi pembagian kekuasaan bernama negara (kerajaan dan kesultanan).

Kompleksitas seluruh sistem kebudayaan di Nusantara, kata dia, berawal dari sistem simbol yang telah ada sejak 1000 SM. Mulai abad ke-4 sampai abad ke-13 aksara yang menyimpan pengetahuan dan sistem hukum hanya dimiliki oleh kalangan elite Brahmana dan masyarakat tidak boleh masuk ke dalamnya. Itulah yang membangun kebudayaan kerajaan seperti Pajajaran, Majapahit, dan Sriwijaya. "Soalnya sekarang bagaimana mengintegrasikan pengaruh yang hidup dari masyarakat adat ke dalam sebuah sistem kesadaran bersama seperti sekarang?" ujarnya.

**

PERBINCANGAN dalam seminar kemudian lebih mengerucut pada bagaimana sebenarnya mentransformasikan kesadaran sistem nilai masyarakat adat dalam konteks kekinian. Sejumlah penanggap mencoba menggiring cara pandang lebih jauh terhadap posisi masyarakat adat, termasuk mempertanyakan kemampuan dinamika perubahan mereka. Terhadap hal ini, Abdon Nababan menolak jika masyarakat adat dibaca sebagai komunitas yang statis. Dalam pandangannya, bentuk dinamika masyarakat adat tidaklah bisa diukur dari definisi umum karena hal itu berhubungan dengan bentuk pilihan sosial mereka. "Masyarakat adat tidak pernah tidak siap dalam kehidupan demokrasi. Tetapi demokrasi mereka bukanlah demokrasi representatif, melainkan deliberatif yang lebih menekan pada musyawarah. Satu orang saja tidak setuju, maka musyawarah akan terus berlangsung. Maka soalnya apakah mereka yang tidak siap, atau jangan-jangan kita sendiri yang tidak siap memahami mereka," ujar Abdon.

Menanggapi perihal hubungan masyarakat adat dan otonomi daerah (otda), Abdon merasa pesimistis bahwa otda akan memberi kontribusi positif pada masayarakat adat. Ia menenggarai tak lama lagi UU Otda akan dibagi menjadi tiga, yang salah satunya mengatur desa. Di sinilah ia berharap bahwa desa akan menjadi ruang yang leluasa untuk mengintegrasikan nilai-nilai masyarakat adat.

Bersambung dengan ide ihwal desa adat, Taufik Rahzen justru lebih menariknya ke dalam fenomena masyarakat kontemporer yang bersandar pada revolusi teknologi informasi. Dalam fenomena itu desa adat yang dimaksud Abdon tidak melulu bersandar pada desa adat dalam pengertian lama.

Desa adat yang baru, kata dia, bisa muncul di jejaring sosial Facebook atau Twitter. Di dalamnya ada etik, aturan, dan pemangku. Masyarakat desa adat yang disampaikan Abdon bisa diterapkan dalam situasi kontemporer sekarang. Kita sedang menuju ke sana, di mana sandaran menuju ke suatu etik tidak hanya dari masa lampau, tetapi juga di masa depan.

Seminar ini akhirnya memang meninggalkan jejak pemikiran betapa masyarakat adat haruslah diletakkan dalam konteks masa depan untuk menjawab situasi kekinian. Rendra menjadi tempat pertemuan ketika banyak orang percaya bahwa kemarin, esok, adalah hari ini. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 1 November 2009

KOMUNITAS ADAT TERPENCIL MENINGKAT

[JAKARTA] Indonesia, termasuk negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, dibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Namun, jumlah komunitas adat terpencil (KAT) justru meningkat tajam.

Data dari Departemen Sosial menyebutkan, jumlah KAT tahun 2004 sebanyak 205.029 kepala keluarga (KK), yang tersebar di 211 kabupaten di 27 provinsi. Namun, tahun 2009 ini, populasinya meningkat tajam, menjadi 229.479 KK, yang tersebar di 2.650 lokasi, 2.037 desa, 852 kecamatan, 246 kabupaten yang ada di 30 provinsi.

Melihat kenyataan itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, saat membuka sarasehan nasional "Masyarakat Adat dan Pekan Bakti KAT," di Jakarta, Senin (12/10), mengaku sedih dan prihatin dengan kondisi tersebut. "Saya sedih, jumlahnya meningkat terus meningkat, dan bukannya berkurang. Nanti dikira kita menelantarkan komunitas itu," katanya.

Menurut Bachtiar, Departemen Sosial tidak mampu berjalan sendiri untuk meningkatkan taraf hidup, sekaligus membuka isolasi komunitas adat tersebut, tanpa dukungan semua pihak, khususnya kalangan swasta. [E-7]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 13 Oktober 2009

600.000 MASYARAKAT ADAT MASIH TERTINGGAL

[JAKARTA] Sekitar 600.000 atau 146.000 kepala keluarga (KK) di masyarakat adat terpencil (MAT) yang tersebar di 30 provinsi di Indonesia, masih dalam kondisi tertinggal.

Ketertinggalan masyarakat adat tersebut tidak hanya dari sisi ekonomi atau karena kemiskinan, tetapi juga karena tidak adanya akses untuk menjangkau pelayan publik, seperti pendidikan dan kesehatan.

Demikian Sekretaris Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial, Hartono Laras, saat peringatan Hari Keluarga Nasional bidang Kesejahteraan Sosial, di Sukabumi, Jawa Barat, Senin (13/7).

Dia mengatakan, tahun 2006 jumlah masyarakat adat terpencil sebanyak 229 KK atau 1,1 juta jiwa, dan pada tahun 2009 jumlahnya berkurang 78.000 jiwa, dan saat ini sedang diberdayakan 10.000 jiwa lagi. "Di semua provinsi ada, kecuali DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Lampung," katanya.

Menurut Hartono, tahun 2010 di Pulau Jawa, ditargetkan hanya ada satu wilayah yang masih memiliki masyarakat adat terpencil yakni Banten. Untuk mencapai target tersebut, tambahnya, masyarakat diberikan bantuan, yakni dengan membuka isolasi, antara lain mendirikan sekolah dan fasilitas kesehatan agar pelayanan sosial dapat dirasakan.


Program BLT

Sekretaris Jenderal Departemen Sosial, Chazali Situmorang, menyampaikan, program bantuan langsung tunai (BLT) yang telah dihentikan pemerintah, ada kemungkinan dilakukan kembali. "Tergantung harga minyak," katanya.

Dia mengatakan, melihat tren harga minyak dunia yang terus naik, diperkirakan BLT akan kembali diluncurkan, karena kemampuan atau daya beli masyarakat berkurang.
Ketika ditanya, rencana pemerintah menambah jumlah rumah tangga sasaran (RTS) untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Chazali menyampaikan, penambahan itu belum ada, karena sejatinya jumlah penerima BLT sama dengan penerima PKH.

Direktur Jaminan Kesejahteraan Sosial, Akifah Elansari, menegaskan, hingga tahun 2010 tidak ada penambahan RTS untuk PKH. Saat ini, jumlah PKH tahun 2009 sebanyak 720.000 RTS, sedangkan target tahun depan sebanyak 1 juta RTS.

Menurut Akifah, tidak bertambahnya RTS tahun 2010 disebabkan anggaran untuk program tersebut tidak berubah yakni Rp 1,1 triliun. "Hambatannya ada di direktorat jenderal anggaran. Saya tidak tahu kenapa, padahal semua pihak sudah setuju termasuk DPR," ujarnya. [E-7]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 14 Juli 2009

MASYARAKAT ADAT MAMPU MENCEGAH KERUSAKAN LINGKUNGAN



[JAKARTA] Masyarakat adat diyakini mampu memberikan kontribusi positif dalam pembangunan sekaligus menjaga dan memelihara lingkungan. Andil masyarakat adat sangat besar itu harus juga disertai dengan pemberdayaan khususnya sektor pendidikan dan ekonomi.

Teras Narang (Dok SP)

Hal itu disampaikan Ketua Umum Majelis Adat Dayak Nasional, Teras Narang, saat mengukuhkan Dewan Adat Dayak DKI Jakarta, di Jakarta, Senin (6/7). Menurut dia, kualitas masyarakat adat untuk ikut serta memberi sumbangsih pada bangsa tidak perlu diragukan karena memiliki kearifan-kearifan lokal yang sangat prolingkungan.

"Banyak pandangan yang salah mengenai masyarakat adat. Sebenarnya kita mampu, tetapi persoalannya tidak pernah diberi kesempatan," katanya.

Menurut dia, di Kalimantan Tengah, peran pemuka adat, yang dikenal damang sangat besar dalam ikut menentukan arah pembangunan. Mengenai banyaknya masyarakat adat Dayak yang masih termarginalkan karena pembangunan khususnya karena pembukaan hutan, Teras yang juga adalah Gubernur Kalimantan Tengah mengatakan, pihaknya masih melakukan inventarisasi masyarakat adat di sekitar wilayah hutan industri.

Pemberdayaan masyarakat, kata Teras, tidak hanya dilakukan di sektor lingkungan, tetapi juga di berbagai bidang yakni, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga sumber daya manusia yang dimiliki semakin lama semakin baik. "Kuncinya persatuan, kesatuan dan kebersamaan," ujarnya.

Sebelumnya, kontribusi masyarakat adat khususnya Dayak dalam memelihara hutan telah diakui oleh pemerintah. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2009, pemerintah memberikan penghargaan berupa Kalpataru kepada Masyarakat Adat Dayak Wehea yang berhasil memelihara dan melakukan konservasi di Hutan Lindung Wehea, Kalimantan Timur. [E-7]

Sumber: Suara Pembaruan, Selasa, 7 Juli 2009

HAPUSKAN DISKRIMINASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT

KOMUNITAS ADAT


JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat adat di Indonesia masih terus-menerus menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial sampai sekarang. Saat ini, empat hak masyarakat adat akan tetap menjadi perjuangan dan tuntutan.

Penderitaan panjang dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat di Indonesia salah satunya bermuara dari tersingkirkannya masyarakat adat dalam proses-proses politik pembuatan kebijakan publik.

Kebijakan pembangunan yang ada saat ini justru menimbulkan beragam konflik dan berdampak secara ekologis yang merugikan masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya.

Demikian benang merah yang terungkap dalam dialog bertema ”Menggagas Mekanisme Nasional untuk Mencapai Pengakuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi dan Kebebasan Dasar Masyarakat Adat di Indonesia” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam memperingati satu dekade kebangkitan masyarakat adat Nusantara, Senin (16/3) di Jakarta.

Empat tuntutan

Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengatakan, yang dituntut terus-menerus masyarakat adat ada empat hak, yaitu pengembalian hak atas tanah dan wilayah, hak perjuangan memulihkan identitas budaya dan sistem atas kepercayaan (agama asli), hak mengurus diri sendiri berdasarkan kelembagaan adat, dan yang terakhir hak diakuinya hukum adat.

”Tuntutan inilah yang menjadi dasar terbentuknya AMAN. Sebagaimana juga terjadi di seluruh dunia, perjuangan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat adat di Indonesia terus berlangsung, baik dari pemimpin masyarakat adat sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan pemajuan hak-hak asasi masyarakat adat,” katanya.

Kekayaan masyarakat adat

Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, perusakan lingkungan dan ketidakadilan sudah dialami masyarakat adat sejak lama.

Sumber daya mineral, hutan, air, dan laut yang menjadi kekayaan masyarakat adat dirampas dengan berbagai cara, antara lain melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.

”Sejak berdirinya AMAN, terjadi perubahan-perubahan signifikan terhadap keberadaan masyarakat adat. Terjadi revisi undang-undang kehutanan sampai dengan undang-undang daerah pesisir. Di tingkat nasional ada beberapa kebijakan sektoral yang mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat,” katanya.

”Sebagian kebijakan sektoral lainnya masih tetap menegaskan keberadaan hak-hak masyarakat adat ini sebagai hak asal-usul yang masih hidup dalam masyarakat, khususnya yang menyangkut hak atas tanah, wilayah adat, dan sumber daya alam,” ujarnya menjelaskan.

James Anaya dari The UN Special Rapporteur on the Situation of Human Rights and Fundamental Freedoms of Indigenous Peoples mengatakan, advokasi yang dilakukan masyarakat adat selama lebih kurang 23 tahun di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membuahkan hasil dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.

”Sebagai salah satu standar minimum internasional untuk perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM masyarakat adat, deklarasi ini memberi penegasan bahwa masyarakat adat memiliki hak kolektif, antara lain yang terpenting adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual, hak atas free, prior, and informed consent (FPIC) dan hak atas penentuan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka sendiri,” katanya. (NAL)

Sumber: Kompas, Selasa, 17 Maret 2009

INDIKASI ASAK BAGI KEKAYAAN ADAT

Hak Intelektual

MIRANDA RISANG AYU

Cerita dari Jahab

Akhir tahun 2005. Seorang pemangku Adat masyarakat Dayak Benuaq di Jahab, Kalimantan Timur, menuturkan sebuah cerita sakral, bahwa bagi mereka, kayu-kayu hutan Kalimantan ternyata adalah leluhur dan tetangga yang harus selalu diperlakukan dengan hormat.

Namun, semua sudah berubah. Dengan secarik surat izin, para pendatang dari luar pulau dan bahkan luar negeri dapat menggunduli hutannya hingga akar dalam hitungan hari.

”Leluhur dan tetangga kami mati. Rumah Lamin kami berganti bedeng dan kami sulit membuat ukir-ukiran lagi. Orang-orang asing datang membuat obat dari kekayaan hutan dan tradisi kami di belakangkan. Kadang, kamilah justru yang dituduh sebagai perusak hutan atau pencuri kayu perusahaan.”



Cerita dari Amazon

Tahun 1986. Loren Miller memperoleh Paten dari Kantor Paten Amerika Serikat (AS) sebagai inventor varietas tanaman yang kabarnya dapat menjadi obat antikanker dan psikoterapi bernama tradisional Da Vine. Lucunya, Miller sebetulnya hanya ”menemukan” varietas itu dibudidayakan di satu kebun seorang anggota komunitas Amazon di Amerika Latin. Da Vine bagi masyarakat tradisional itu adalah tanaman sakral untuk obat bernama Ayahuascha.

Begitu tahu bahwa tanaman sakral mereka dipatenkan pihak luar, perwakilan masyarakat Amazon itu segera memohon agar Paten itu ditinjau ulang. Sayangnya, karena tidak ada bukti tertulis, upaya hukum untuk mencabut Paten itu gagal. Paten itu habis masa berlakunya tahun 2003.

Pertanyaan kritis

Adakah subsistem perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang bisa membuat sebuah produk tetap lekat dengan tanah asalnya? Adakah HKI yang berpihak kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat adat atau komunitas lokal?

Sejauh ini, hak-hak kebudayaan yang mengurusi perlindungan nilai-nilai ekonomi produk-produk budaya adalah HKI. Menurut versi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), HKI merupakan sistem besar berdasarkan Perjanjian Internasional tentang Aspek-aspek HKI yang Terkait dengan Perdagangan (TRIPS). Sistem ini terdiri dari sub-subsistem Hak Cipta, Paten, Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Tata-Letak Sirkuit Terpadu, dan Indikasi Geografis.

Sayangnya, ketujuh subsistem itu punya dua karakter khas. Pertama, sebagai produk WTO, mereka justru cenderung mendukung ide perdagangan bebas, yang ingin membuat barang dan jasa mengalir bebas melintasi batas-batas negara, dan bukannya diam dalam satu wilayah negara. Kedua, sesuai dengan sejarah pemberian Paten di Eropa pasca-Abad Pencerahan, yang dilindungi adalah produk-produk budaya modern, dengan cara pembuktian modern yang mesti tertulis, dan pemegang hak perorangan. Padahal, bukti produk-produk warisan tradisi bersifat lisan. Kepemilikannya pun komunal.

Kabar baiknya, pengembangan perlindungan hukum di tingkat nasional negara anggota WTO tetap terbuka, selama semua isi TRIPS sudah diakomodasi. Maka, dengan cerdas Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia telah menambahkan pewayangan, kaligrafi, dan seni terapan batik sebagai obyek perlindungan.

Selain itu, ditentukan bahwa Negara memegang Hak Cipta atas obyek-obyek yang tidak diketahui penciptanya untuk kepentingan pencipta itu dan ahli warisnya, dengan perlindungan tanpa batas waktu. Pakar Hak Cipta, Eddy Damian, dan pakar perlindungan Folklor, Agus Sarjono, juga telah mengemukakan pentingnya pendataan kekayaan tradisi sebagai upaya preventif.

Namun, bagaimana dengan produk-produk budaya warisan tradisi yang sudah telanjur disahkan oleh sistem HKI WTO sebagai hak pihak-pihak asing?

Perlindungan HKI lain

Sebetulnya, perlindungan HKI lain bisa dicari dalam perjanjian-perjanjian internasional yang bukan dibuat WTO, tetapi Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Sebagai badan khusus PBB, WIPO selalu berusaha mengimbangi corak hukum WTO yang sering cenderung berpihak kepada kepentingan segelintir negara maju.

Perlindungan Indikasi Asal dalam Konvensi Paris versi WIPO, misalnya, adalah perlindungan terhadap tanda, nama atau indikasi yang menunjukkan asal suatu barang yang sebenarnya. Konvensi Paris melarang setiap barang beredar di pasar global memakai tempat asal yang salah atau menyesatkan.

Dalam hukum nasional Indonesia, Indikasi Asal sebetulnya juga telah diatur dalam Undang-Undang Merek. Di situ disebutkan bahwa Indikasi Asal adalah Indikasi Geografis, tetapi belum terdaftar. Sayangnya, karena masih merupakan bagian dari Merek, sering terjadi salah paham, bahwa menghubungkan perlindungan Indikasi Asal dengan obyek Paten, Hak Varietas Tanaman atau karya-karya seni tradisional obyek Hak Cipta dianggap sudah ”salah” dari awal. Selain itu, karena pengaturannya hanya satu ayat, Indikasi Asal kesannya tidak penting.

Padahal, perlindungan Indikasi Asal bisa dipakai juga untuk memperkuat perlindungan sub- sistem HKI lainnya. Sebagai bagian dari Indikasi Geografis dalam arti luas, Indikasi Asal justru menghargai sejarah dan akar budaya setempat, termasuk tradisi pembuatannya, di samping faktor lingkungan dominan, seperti keadaan tanah dan iklim. Perlindungannya tidak mengenal batas waktu selama kualitasnya terjaga. Selain itu, kepemilikannya dipegang oleh kelompok masyarakat produsen yang tinggal dalam suatu kesatuan wilayah atau klaster.

Menariknya, kepemilikan bersama atas suatu Indikasi Asal amat mungkin. Misalnya, Indikasi Asal Batik Indonesia tentu merupakan milik bersama dari kelompok produsen batik-batik Jawa dan Palembang.

Belajar dari kasus Amazon

Belajar dari kegagalan Masyarakat Amazon, klaim atas Da Vine tidak cukup mengandalkan klaim satu subsistem HKI saja, misalnya Paten. Jika saja perlindungan Indikasi Asal juga turut dipakai, mungkin ceritanya akan lain. Klaim, menurut Indikasi Asal, bisa lewat nama Amerika Latinnya: Da Vine, yang mengindikasikan asalnya.

Pembuktian bahwa pengolahan Da Vine memiliki akar kultural yang panjang dalam tradisi masyarakat Amazon pun bisa dilakukan melalui banyak alat bukti. India telah melakukan upaya ini bagi beberapa strain Beras Basmati melawan pengusaha AS. Yunani juga melakukannya bagi keju Feta melawan pengusaha di beberapa negara Komunitas Eropa. Meski kontroversial, mereka berhasil.

Bagi masyarakat Dayak, tes kelayakan untuk memastikan hak mereka atas produk-produk Kayu Kalimantan bisa dilakukan. Misalnya, apakah produk - produk Kayu Kalimantan sudah punya reputasi tertentu, memiliki akar sejarah budaya lokal yang panjang, memiliki komunitas pemangku, memiliki cara-cara pembuatan tradisional tertentu, dan memiliki kesatuan wilayah produksi. Jika ya, produk- produk Kayu Kalimantan bisa menjadi HKI bersama komunitas-komunitas Dayak dengan binaan pemda setempat.

Produk-produk hasil hutan, pertanian, hingga kerajinan dan ekspresi seni tradisional yang reputasinya mencuat karena tempat asalnya, juga bisa dicoba dengan perlindungan penguat ini. Tinggal pemihakan dan keberanian dari pihak berwenang yang menentukan.

* Miranda Risang Ayu, PhD. Pemerhati masalah Hak-hak Kebudayaan. Pengajar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Oktober 2008

HaKI TIDAK LINDUNGI KEKAYAAN BUDAYA

HaKI tidak Lindungi Kekayaan Budaya

JAKARTA (MI): Kelahiran perundang-undangan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), yakni UU No 19/2002 lebih disebabkan kebutuhan Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan perdagangan dan ekonomi global. Hal ini berakibat rezim HaKI yang ada tak bisa melindungi kekayaan budaya masyarakat.

Hal itu dikemukakan Agus Sardjono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar tetap dalam Ilmu Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) di Balai Sidang, UI, Depok, Jawa Barat, kemarin.

Menurutnya, penyusunan dan pemberlakuan perundangan-undangan HaKI di Indonesia merupakan tindakan transplantasi hukum asing berdasarkan konvensi Bern, konvensi Paris, dan lainnya ke dalam hukum nasional. "Transplantasi hukum HaKI ke dalam sistem hukum Indonesia, jika tidak cocok, bisa merusak sistem hukum Indonesia secara keseluruhan," terangnya.

Ia mengungkapkan, Rezim WTO dan Trade Related to Intellectual Properties (TRIPS) berbeda dengan konsepsi masyarakat tradisional di banyak negara, karena rezim intellectual property rights (IPR atau rezim HKI) selalu berusaha membuat kepemilikan pribadi terjadi atas berbagai penemuan atau kekayaan masyarakat lokal, sementara masyarakat lokal yang memiliki kekayaan budaya yang tak terhingga lebih banyak menganut konsepsi kepemilikan komunal atau sosial. "Itu berakibat rezim HaKI yang ada ini tak bisa melindungi kekayaan budaya masyarakat tersebut," ungkapnya.

Tradisional dan Barat

Pandangan masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan rezim HAKI, pada hakikatnya mencerminkan perbedaan pandangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat Barat. "Masyarakat Barat melihat dari sudut pandang teori pembangunan yang memandang sumber daya yang ada di muka bumi ini sebagai sesuatu yang dapat dieksploitasi. Sebaliknya masyarakat tradisional memandang manusia hanyalah merupakan kustodian atau perantara dari sumber daya yang terdapat di bumi ini," ungkapnya.

Guna menjembatani dua kepentingan itu, Agus dalam penelitiannya mencoba melihat sejumlah peluang yang bisa dikembangkan dalam bidang ini. Ia mengusulkan adanya benefit sharing (pembagian kegunaan), yang dibedakan dengan konsep profit sharing (pembagian keuntungan keuangan) yang melulu masalah uang.

Dengan benefit sharing, ia mengusulkan para peneliti asing atau perusahaan besar (apakah itu lokal ataupun asing) yang hendak memanfaatkan kekayaan masyarakat tradisional harus mengikat perjanjian agar masyarakat pun mendapat keuntungan dari kekayaan tradisional tersebut. (Eri/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 28 Februari 2008

BERDAYAKAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL

Depsos akan Berdayakan Komunitas Adat Terpencil

JAKARTA (MI): Departemen Sosial menargetkan 12.935 keluarga dari Komunitas Adat Terpencil (KAT) yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara bisa diberdayakan dengan baik tahun ini. Pada 2007, Depsos melalui Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil telah memberdayakan 12.300 keluarga KAT.

KAT kini masih terdapat di 30 provinsi. Populasi KAT yang sudah diberdayakan sebanyak 64.788 keluarga, sedang diberdayakan sebanyak 14.805 keluarga, dan yang belum diberdayakan sebanyak 146.797 keluarga.

"Kami sudah mendata komunitas adat terpencil di seluruh Indonesia. Mereka tersebar di 30 provinsi, 236 kabupaten, 825 kecamatan, 2.038 desa, dan 2.628 lokasi," kata Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Hartono Laras kepada Media Indonesia, kemarin.

Menurut Hartono, Depsos akan mengembangkan tiga pola pendekatan dalam pemberdayaan KAT yaitu pemberdayaan dari tempat asal, pengembangan usaha melalui stimulus, dan pemberdayaan di tempat baru atau dipindahkan. "Dalam menghadapi KAT, kami tidak bisa main asal pindah. Ini bahaya. Sebab, keberadaan mereka dilindungi UUD 45," ujarnya.

Ia menjelaskan pada masalah KAT, terdapat dua bagian penting. Pertama, masalah internal menyangkut terbatasnya akses pelayanan sosial dasar, terpencil, terisolasi, sulit dijangkau, dan jalur terbatas. Selain itu, ekonominya masih subsisten bahkan rawan pangan, teknologi sederhana, belum mengenal budi daya, sumber terbatas, dan menurunnya kualitas lingkungan.

Kedua, masalah eksternal menyangkut kesenjangan sosial, ekonomi, budaya, dan wilayah. Daya serap pemberdayaan dan populasi terbatas, perhatian pemerintah daerah kurang proporsional, peran masyarakat dan LSM bidang pemberdayaan KAT terbatas, serta sosialisasi keberadaan dan pemberdayaan KAT masih terbatas. (CS/H-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 25 Februari 2008

WARGA MINANG DITANTANG TUNJUKKAN KEARIFAN BUDAYA

PIDATO KEBUDAYAAN



Padang, Kompas - Masyarakat Minangkabau yang dikenal memiliki kearifan budaya yang luhur ditantang untuk menampilkan kebudayaan itu demi memecahkan persoalan bangsa yang kompleks. Persoalan korupsi, perbedaan antara kata dan tingkah laku, serta perkembangan mentalitas menerabas ingin cepat kaya juga ditantang untuk dipecahkan dengan kearifan lokal.

Demikian salah satu isi pidato kebudayaan Prof Dr Ahmad Syafi’i Maarif, Sabtu (29/12) di Taman Budaya Padang, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatera Barat.

Menurut dia, masyarakat Minangkabau mempunyai sejumlah ungkapan yang sarat makna, mulai dari berbagai petatah-petitih hingga gurindam. Namun, berbagai produk kearifan budaya ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengatasi persoalan bangsa, seperti sulitnya mencari orang jujur, amanah, dan dipercaya.

Persoalan ini, lanjut Syafi’i, juga pernah diulas antropolog Koentjaraningrat dalam penelitiannya tahun 1970. Hasil penelitian itu antara lain mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia, terutama usahawan, ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa memerhatikan proses. "Persoalan ini terus berlangsung hingga sekarang," kata Syafi’i, kelahiran Sumpur Kudus, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, itu.

Syafi’i melihat belum ada keberanian untuk bersikap melawan sifat yang sudah mengurat-akar di masyarakat secara umum. "Minangkabau, negeri elok, sudah lama menantikan anak-anaknya agar berani menyimpang dari pola umum yang korup, yang sedang melilit batang tubuh Indonesia sekarang, tetapi alangkah sukarnya," kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.

Kendati sulit, Syafi’i mengatakan, perlawanan harus tetap dilakukan. Salah satu yang dibutuhkan adalah ada stamina spiritual yang tidak boleh kendur.

Kultur berdebat

Di sisi lain, Syafi’i juga melihat historis kekuatan masyarakat Minangkabau, yang terletak pada kemampuan berdebat, bahkan di forum dunia dalam upaya membela martabat bangsa dari segala pelecehan dan pencibiran. Sayangnya, kemampuan diplomasi itu semakin luntur.

"Kita tidak lagi memiliki kemampuan diplomasi yang tangguh, seperti dulu diperlihatkan Agus Salim, Hatta, Sjahrir, Soedjatmoko, Adam Malik, Roem, LN Palar, Mochtar Kusumaatmadja, dan nama-nama lain. Orang Minang yang dikenal jago bersilat lidah dan terkenal dengan bidal ’takilek ikan dalam aie, alah tantu jantan batinonyo’ atau ’alun takilek alah tabayang’ (terlintas ikan dalam air, sudah tentu jantan betinanya, atau belum terlihat sudah terbayang) merupakan modal utama untuk berdebat dengan penuh percaya diri," katanya.

Menurut Syafi’i, kearifan lokal yang dikawinkan dengan unsur budaya rantau inilah yang melahirkan diplomat-diplomat andal untuk bersilat lidah di forum internasional. (ART/NAL)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Desember 2007

A M A N DESAK PEMERINTAH DUKUNG HAK MASYARAKAT ADAT DI PBB


[JAKARTA] Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah untuk mendukung, dan menandatangani Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada Sidang Umum PBB bulan September 2007.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, saat menyambut perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia (The International Day of The World's Indigenous Peoples), di Jakarta, Kamis (9/8).

Menurut Abdon, AMAN merasa kecewa melihat sikap mendua yang ditunjukkan Indonesia di hadapan dunia internasional dalam memberikan persetujuan terhadap draft Deklarasi PBB tersebut.

Lebih lanjut, pada sidang pertama Dewan HAM PBB di Jenewa, pada 26 Juli 2006, pemerintah Indonesia menyatakan menerima dan mendukung pengadopsian deklarasi ini oleh Dewan HAM.

"Sikap ini merupakan kejutan positif di tengah beratnya perjuangan untuk memperoleh hak-hak masyarakat adat di PBB, khususnya di Indonesia. Waktu itu, AMAN sampai diberi ucapan selamat dari beberapa perwakilan masyarakat adat dari berbagai negara," kata Abdon.

Sayangnya, kata dia, gebrakan positif tersebut luntur seiring dengan perubahan sikap pemerintah Indonesia yang mendukung resolusi Namibia yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada 28 Desember 2006. Resolusi yang diusung Namibia intinya meminta perubahan total pada pasal-pasal yang terdapat dalam draft deklarasi tersebut.

"Saat itu dilakukan voting dan ternyata delegasi Indonesia menyatakan setuju dengan Resolusi Namibia. Padahal resolusi itu menuntut agar draft yang telah dikaji selama lebih dari 22 tahun di PBB ini dikaji kembali," ungkapnya.

Abdon juga mengingatkan bahwa dalam kata sambutannya pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia tahun 2006 di Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan bahwa pemerintah menyadari bahwa masyarakat hukum adat, sering berada dalam posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak tradisional mereka, di tengah-tengah kekuatan modal dalam mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam. Pemerintah tentu harus berpihak kepada kelompok yang lemah.

"Ada ambiguitas dalam bersikap antara presiden dan utusan pemerintah Indonesia di PBB. Padahal draft deklarasi merupakan salah satu kunci bagi upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan sejati terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengakuan sejati yang juga akan berdampak pa- da pencarian solusi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan yang saat ini mengitari bumi Nusantara ini," imbuhnya.

Menurut Abdon, pengakuan yang sejati terhadap hak-hak masyarakat adat merupakan solusi bagi bangsa Indonesia yang terus bergolak. Berbagai permasalahan yang muncul dan bermuara pada hak adat telah berkembang dan terus mengancam kebersamaan kita sebagai bangsa yang berdaulat.

"Beberapa waktu lalu terjadi keributan di Ambon karena pengibaran bendera RMS lewat sebuah pertunjukan seni, di Papua juga begitu dan di Aceh bendera GAM dijadikan bendera partai politik, semua itu terjadi lantaran tidak tuntasnya pengakuan terhadap masyarakat adat, sehingga muncul ketidakpuasan dari masyarakat adat terhadap pemerintah," jelasnya.

Melihat perjalanan panjang penderitaan masyarakat adat sebagai akibat dari kolonialisasi, eksploitasi, penyingkiran dan pemaksaan nilai-nilai, Abdon berharap pemerintah Indonesia dapat mengadopsi deklarasi tersebut. Sehingga dari deklarasi PBB itu dapat dibuat payung hukum yang akan melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Abdon mengatakan masyarakat adat di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan kelompok-kelompok masyarakat adat di negara-negara lain. Perampasan hak atas tanah dan sumber daya alam dan pencurian atas hak kekayaan intelektual masyarakat adat masih terus berlangsung.

"Hak politik komunitas adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri, serta menentukan jalan pembangunan yang sesuai dengan kapasitas pranata adat setempat juga masih terus mendapat tantangan yang besar dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia," tandasnya. [Y-6]

Sumber: Suara Pembaruan, 13 Agustus 2007

Seni Tradisi : PANTUN BUHUN, PESAN LELUHUR UNTUK WARGA ADAT BANTEN KIFUL.

Seni Tradisi: Pantun Buhun, Pesan Leluhur untuk Warga Adat Banten Kidul
Sukabumi, Kompas - Seni tradisional pantun buhun selama 639 tahun bertahan di Kesatuan Adat Banten Kidul yang kini berkedudukan di Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pantun buhun merupakan seni bertutur seperti bernyanyi diiringi kecapi, mengisahkan masa lalu kerajaan-cikal bakal warga adat untuk mengingatkan kearifan dan kebesarannya.

Pantun buhun itu dipentaskan setelah upacara adat seren taun, pekan lalu. Adat Kasepuhan Banten Kidul mengenal tiga jenis cerita dalam pantun buhun, yakni munding jalingan, badak pamalang, dan prengong jaya.

Penutur pantun buhun, Ki Radi (65), mengatakan, cerita mengenai kejayaan dan kearifan itu diharapkan bisa mengingatkan para warga adat mengenai kehidupan mereka sekarang, masih sesuai ajaran atau tradisi leluhur atau sudah menyimpang. Kendati tak diundangkan, mereka masih memegang teguh tradisi itu.

Di antaranya adalah mengolah lahan sawah sekali setahun, tidak memperjualbelikan gabah dan beras, melainkan menyimpan gabah di leuit (lumbung).

Kepala Adat Encup Sucipta atau Abah Anom mengatakan, tradisi itu tak disertai penjelasan rinci apa maknanya. Namun, rupanya ajaran adat itu hendak mengarahkan warga agar arif memperlakukan lahan dan mengatur persediaan beras. Dengan melakukan ajaran itu, ternyata para warga adat selama ini tak pernah kekurangan pangan, padahal mereka hanya menanam padi sekali dalam setahun. (aha)

Sumber: Kompas, Senin, 13 Agustus 2007

MASYARAKAT ADAT MASIH TERMARJINALISASI

NILAI NILAI KEARIFAN LOKAL IKUT TERGERUS

Jakarta, Kompas - Masyarakat adat masih termarjinalisasi dan belum mendapatkan pengakuan. Padahal, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dinilai akan dapat menekan konflik.

Hal itu dikemukakan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan sehubungan peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia tepat pada Kamis, 9 Agustus 2007. Dalam acara itu hadir pula sejumlah wakil masyarakat adat, di antaranya dari pedalaman Kalimantan, Gunung Kidul, Tondano, dan Luwu Utara.

Abdon mengatakan, terdapat tiga persoalan besar yang dihadapi oleh masyarakat adat. Pertama, berlangsungnya kolonisasi di wilayah masyarakat adat dan sangat sarat berbagai kepentingan. Kedua, masyarakat adat juga mengalami eksploitasi sumber daya alam, mengingat sumber kekayaan seperti hutan dan bahan tambang berada dalam wilayah tanah adat. Ketiga, masyarakat adat mengalami pemaksaan nilai-nilai. Ada nilai-nilai global yang merampas nilai-nilai mereka. Masyarakat adat, misalnya, dipaksa untuk menyangkal kepercayaan yang dianut sejak lama dan memilih satu dari lima agama yang diakui di Indonesia

Rasyid, dari Masyarakat Adat Seko di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mengatakan, sebelum Republik Indonesia terbentuk masyarakat Seko hidup di pinggir kawasan hutan yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Namun, setelah kawasan itu ditetapkan menjadi hutan lindung masyarakat tidak punya akses ke hutan.

"Padahal, kami melihat banyak pengusaha besar mendapatkan hak pengelolaan atas hutan di berbagai tempat," ujarnya.

Masyarakat adat Dayak Benoa di pedalaman Kalimantan juga merasakan adanya diskriminasi, terutama dalam menjalankan ritual spiritual mereka. "Kami sulit mengurus kartu tanda penduduk karena kepercayaan kami, yakni kaharingan, tidak termasuk dalam lima agama yang harus diisi dalam kartu tanda penduduk," ujarnya.

Abdon meyakini, menguatnya isu desentralisasi dan menguatnya etnosentrisme di berbagai wilayah adalah bagian dari persoalan krisis identitas yang berpangkal dari pemberlakuan model kebijakan. Negara sebagai fasilitator pembangunan kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat, merampas hak ulayat, serta menggerus nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi anutan masyarakat adat. (INE)

Sumber: Kompas, Jumat, 10 Agustus 2007