Sunday, April 4, 2010

A M A N DESAK PEMERINTAH DUKUNG HAK MASYARAKAT ADAT DI PBB


[JAKARTA] Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendesak pemerintah untuk mendukung, dan menandatangani Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada Sidang Umum PBB bulan September 2007.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, saat menyambut perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia (The International Day of The World's Indigenous Peoples), di Jakarta, Kamis (9/8).

Menurut Abdon, AMAN merasa kecewa melihat sikap mendua yang ditunjukkan Indonesia di hadapan dunia internasional dalam memberikan persetujuan terhadap draft Deklarasi PBB tersebut.

Lebih lanjut, pada sidang pertama Dewan HAM PBB di Jenewa, pada 26 Juli 2006, pemerintah Indonesia menyatakan menerima dan mendukung pengadopsian deklarasi ini oleh Dewan HAM.

"Sikap ini merupakan kejutan positif di tengah beratnya perjuangan untuk memperoleh hak-hak masyarakat adat di PBB, khususnya di Indonesia. Waktu itu, AMAN sampai diberi ucapan selamat dari beberapa perwakilan masyarakat adat dari berbagai negara," kata Abdon.

Sayangnya, kata dia, gebrakan positif tersebut luntur seiring dengan perubahan sikap pemerintah Indonesia yang mendukung resolusi Namibia yang disampaikan dalam Sidang Umum PBB pada 28 Desember 2006. Resolusi yang diusung Namibia intinya meminta perubahan total pada pasal-pasal yang terdapat dalam draft deklarasi tersebut.

"Saat itu dilakukan voting dan ternyata delegasi Indonesia menyatakan setuju dengan Resolusi Namibia. Padahal resolusi itu menuntut agar draft yang telah dikaji selama lebih dari 22 tahun di PBB ini dikaji kembali," ungkapnya.

Abdon juga mengingatkan bahwa dalam kata sambutannya pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia tahun 2006 di Taman Mini Indonesia Indah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan bahwa pemerintah menyadari bahwa masyarakat hukum adat, sering berada dalam posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-hak tradisional mereka, di tengah-tengah kekuatan modal dalam mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam. Pemerintah tentu harus berpihak kepada kelompok yang lemah.

"Ada ambiguitas dalam bersikap antara presiden dan utusan pemerintah Indonesia di PBB. Padahal draft deklarasi merupakan salah satu kunci bagi upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan sejati terhadap hak-hak masyarakat adat. Pengakuan sejati yang juga akan berdampak pa- da pencarian solusi alternatif untuk menyelesaikan berbagai persoalan kebangsaan yang saat ini mengitari bumi Nusantara ini," imbuhnya.

Menurut Abdon, pengakuan yang sejati terhadap hak-hak masyarakat adat merupakan solusi bagi bangsa Indonesia yang terus bergolak. Berbagai permasalahan yang muncul dan bermuara pada hak adat telah berkembang dan terus mengancam kebersamaan kita sebagai bangsa yang berdaulat.

"Beberapa waktu lalu terjadi keributan di Ambon karena pengibaran bendera RMS lewat sebuah pertunjukan seni, di Papua juga begitu dan di Aceh bendera GAM dijadikan bendera partai politik, semua itu terjadi lantaran tidak tuntasnya pengakuan terhadap masyarakat adat, sehingga muncul ketidakpuasan dari masyarakat adat terhadap pemerintah," jelasnya.

Melihat perjalanan panjang penderitaan masyarakat adat sebagai akibat dari kolonialisasi, eksploitasi, penyingkiran dan pemaksaan nilai-nilai, Abdon berharap pemerintah Indonesia dapat mengadopsi deklarasi tersebut. Sehingga dari deklarasi PBB itu dapat dibuat payung hukum yang akan melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Abdon mengatakan masyarakat adat di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan kelompok-kelompok masyarakat adat di negara-negara lain. Perampasan hak atas tanah dan sumber daya alam dan pencurian atas hak kekayaan intelektual masyarakat adat masih terus berlangsung.

"Hak politik komunitas adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri, serta menentukan jalan pembangunan yang sesuai dengan kapasitas pranata adat setempat juga masih terus mendapat tantangan yang besar dalam struktur Negara Kesatuan Republik Indonesia," tandasnya. [Y-6]

Sumber: Suara Pembaruan, 13 Agustus 2007

No comments:

Post a Comment