Sunday, April 4, 2010

PERUBAHAN BUDAYA DAN RAGAM HIAS TRADISIONAL



Tidak ada budaya asli, tidak ada budaya yang tak berubah, dan tidak ada budaya yang tak terpengaruhi oleh budaya yang lain. Adalah suatu kenyataan bahwa setiap kebudayaan selalu mengalami proses perubahan. Ada kebudayaan yang cepat sekali perubahannya yaitu kebudayaan modern. Akan tetapi ada pula kebudayaan yang lambat sekali perubahannya, yaitu kebudayaan bersahaja atau sederhana. Proses yang mendorong terjadinya perubahan kebudayaan diantaranya adalah akulturasi (bentuk saling mempengaruhi dalam kebudayaan, pengaruh pada suatu kebudayaan oleh kebudayaan lain yang terjadi apabila pendukung-pendukung dari kedua kebudayaan yang jauh berbeda itu berhubungan lama).



Tergantung kepada intensitas terjadinya kontak kontak budaya, yaitu akulturasi dengan budaya yang berdekatan. Proses akulturasi ini banyak terjadi seperti halnya pada kebudayaan Indonesia, karena masyarakat Indonesia umumnya mengagumi hal hal yang datang dari luar. Tetapi perubahanpun terjadi adalah akibat perkembangan pemikiran para intelektual pendukung budaya tersebut.



Bangsa Indonesia sangat kaya akan budaya warisan nenek moyang yang bernilai tinggi, Koentjoroningrat menggolongkan wujud budaya dalam bentuk-bentuk tertentu, diantaranya berupa nilai-nilai, aktivitas dan benda-benda hasil karya manusia. Salah satu kebudayaan yang diciptakan manusia adalah ragam hias. Ragam hias sebenarnya telah dikenal sejak zaman prasejarah. Biasanya ragam hias ditampilkan sesuai dengan fungsinya pada berbagai material seperti kayu, tembikar, batu dan kain tenun.
Ragam hias yang sudah berkembang di Indonesia sejak zaman prasejarah adalah bentuk geometris, manusia, tumbuhan dan binatang. Ragam hias tersebut berkembang hingga sekarang dan pada setiap periode memiliki gaya tersendiri. Ragam hias prasejarah mulai muncul pada masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, salah satunya berupa lukisan binatang di dinding-dinding gua di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di Leang Pattae.

Van Heekeren menemukan lukisan seekor babi rusa yang sedang melompat dengan panah dibagian ujungnya. Lukisan ini dimaksudkan sebagai suatu pengharapan agar mereka berhasil didalam usahanya berburu dalam hutan. Babi rusa tadi digambarkan dengan garis-garis berwarna merah.

Variasi baik bentuk maupun jenis ragam hias bertambah pada masa klasik yang dilatarbelakangi oleh agama Hindu dan Budha, yaitu pada abad ke-4 atau ke-5. Pada waktu itu ragam hias berkembang bergaya naturalis (unsur yang digambarkan sesuai dengan kenyataan, unsur yang dimaksud terdiri atas manusia, bentuk bangunan, binatang serta tumbuhan), dan stiliran (penggambaran bentuk-bentuk binatang atau figurative bersifat lambang atau kiasan makna yang dibentuk dari rangkaian ragam hias sulur-suluran jenis tumbuh-tumbuhan yang menjalar dengan sulurnya pada batang pohon lain). Ragam hias tersebut dipergunakan untuk menghias candid an artefak lain seperti benda dari logam dan gerabah.


Pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia, sekitar abad ke-11, ragam hias yang berkembang biasanya digambarkan dalam bentuk stiliran terutama ragam hias binatang. Pada masa ini hiasan stiliran lebih intensif digunakan untuk mensiasati adanya pendapat ulama dalam ajaran Islam yang melarang membuat hiasan berbentuk mahluk bernyawa. Larangan didasarkan pada penafsiran hadits nabi yang melarang melukis mahluk yang bernyawa. Semakin kuatnya pengaruh Islam di Indonesia, variasi bentuk dalam ragam hias menjadi semakin subur terutama dalam menggambarkan bentuk realis menjadi dekoratif serta bentuk naturalis menjadi stiliran.

Perkembangan ragam hias yang tersebar di berbagai daerah dan kepulauan di Indonesia ternyata mendapat pengaruh baik dalam aspek bahan, teknis pembuatan, motif hias, kepercayaan dan pandangan hidup dari beberapa bangsa luar antara lain Cina, Arab, India dan Eropa. Ragam hias dari Cina yang banyak mempengaruhi perkembangan ragam hias di Indonesia antara lain meander atau banji yaitu berbentuk garis-garis lekuk-lekuk atau garis-garis berkelok-kelok kemudian ular berkaki, hiasan spiral atau pilin berbentuk hurup “S” dan swastika atau hiasan kait.


Selain itu, unsur kebudayaan lain yang ragam hiasnya banyak diserap dalam ragam hias hasil budaya Indonesia adalah kebudayaan Dong Son. Kebudayaan Dong Son datang dari Dong Son di Annan Utara, dikenal dengan kebudayaan perunggunya yang indah dengan seni hias yang menarik berupa meander, pilin berganda, dan tumpal. Ragam hias itu diterapkan pada benda-benda dari perunggu misalnya nekara dan kapak sepatu atau kapak corong.

Ragam hias geometris yang telah berkembang sejak masa prasejarah terus eksis dan sangat dominan pada waktu pengaruh Islam berkembang. Jenis ragam hias ini adalah segitiga, segiempat, lingkaran, garis horizontal dan garis vertical. Selain itu ada pula ragam hias bentuk patra, yaitu tumbuhan merambat atau sulur daun.



Tidak sedikit perkembangan yang dialami oleh ragam Indonesia setelah masuknya Islam, bukan saja terdapat dalam bentuk kaligrafi dan ornamen bangunan bagunan masjid kuno di Indonesia, tetapi juga hiasan yang terdapat pada bangunan rumah tempat tinggal, dan serta berbagai peralatan rumah tangga. Ketika Islam melarang membuat gambar tiga dimensi dari makhluk yang bernyawa, memang abstrak dari makhluk bernyawa menjadi gagasan para seniman.

sekali lagi ini semua akan berkembang ditangan para intelektual dari sebuah bangsa atau komunitas tertentu yang mampu memproduk nilai budaya, serta benda benda budaya lainnya. Cepat ataupunj lambat maka perubahan pastui akan terjadi.
Berbagai sumber.

No comments:

Post a Comment